Monday, April 23, 2012

Lirik Lagu Rihanna Take A Bow

oh, how about a round of applause, yeah
a standing ovation
oh, yeah
yeah, yeah, yeah, yeah

you look so dumb right now
standing outside my house
trying to apologize
you're so ugly when you cry
please, just cut it out

[chorus:]
don't tell me you're sorry cause you're not
baby when i know you're only sorry you got caught
but you put on quite a show
really had me going
but now it's time to go
curtain's finally closing
that was quite a show
very entertaining
but it's over now (but it's over now)
go on and take a bow

grab your clothes and get gone (get gone)
you better hurry up
before the sprinklers come on (come on)
talking' bout'
girl, i love you, you're the one
this just looks like a re-run
please, what else is on (on)

[chorus]

[bridge]
oh, and the award for
the best liar goes to you (goes to you)
for making me believe (that you)
that you could be faithful to me
let's hear your speech, oh

how about a round of applause
a standing ovation

but you put on quite a show
really had me going
now it's time to go
curtain's finally closing
that was quite a show
very entertaining
but it's over now (but it's over now)
go on and take a bow
but it's over now
readmore »»  

Lirik Lagu Rihanna Medley

and i hate how much i love you boy
i can't stand how much i need you
you look so dumb right now
standin' outside my house
tryin' to apologize
you're so ugly when you cry
please, just cut it out
so how come when I reach out my fingers
it feels like more than distance between us
i don't wanna do this anymore
i don't wanna be the reason why
just watch me cry
that's alright
every time i walk out the door
i see him die a little more inside
i love the way you lie
i love the way you lie
and i hate how much i love you boy
i can't stand how much i need you
not everybody knows how to work my body
knows how to make me want it
boy you stay up on it
and you have my heart
and we'll never be worlds apart
maybe in magazines
but you'll still be my star
you got that something
that keeps me so off balance
baby you're a challenge
let's explore your talent
because
when the sun shines, we'll shine together
told you i'll be here forever
said i'll always be your friend
took an oath i'ma stick it out till the end
now that's raining more than ever
know that we'll still have each other
you can stand under my umbrella
you can stand under my umbrella
ella ella ella eh eh eh
under my umbrella
ella ella ella eh eh eh
in this california king bed
we're ten thousand miles apart
i don't wanna do this anymore
i don't wanna be the reason why
just watch me cry
that's alright
every time i walk out the door
i see him die a little more inside
i love the way you lie
i love the way you lie
when the sun shines, we'll shine together
told you i'll be here forever
said i'll always be your friend
took an oath i'ma stick it out till the end
like i'm the only girl in the world
like i'm the only girl in the world
you can stand under my umbrella
you can stand under my umbrella
in this california king bed
we're ten thousand miles apart
readmore »»  

Tuesday, April 03, 2012

Autumn In Paris


Ruangan itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Tara Dupont duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan di lipat ke depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia melirik jam tangan dan mendesah. Jam tujuh lewat.
Lima belas menit kemudian Tara dan Élisesudah berada dalam lift kaca yang membawa ereka turun ke lantai dasar. Tara berdiri membelakangi pintu lift dan menikmati pemandangan malam kota Paris yang terbentang di depan mata.  Mereka sudah tiba di lantai dasar. Tara keluar dari lift dan melambaikan tangan kepada temannya. Tara menunggu sampai pintu lift menutup dan membalikkan badan. Ia baru melangkah ketika melihat seorang laki-laki berdiridi dekat meja resepsionis di lobi gedung. Laki-laki itu melihat Tara berjalan terburu-buru kea rah pintu utama.
“Mademoiselle Dupont”
Tara mendengar panggilan laki-laki itu, tapi pura-pura tidak mendengar. Ia keluar dari gedung dan melangkah cepat ke tempat mobilnya diparkir, berusaha keras mengabaikan bunyi langkah kaki yang menyusulnya.
“Madeoiselle Dupont, tunggu sebentar.”
Ketika hampir sampai di tempat parkir Mercedes biru kecilnya, Tara mengeluarkan kunci mobil. Terdengar bunyi pip dua kali tanda pintu sudah terbuka dan ia cepat-cepat masuk. Ia baru akan menutup pintu ketika gerakannya tertahan.
“Bisa tunggu sebentar, Mademoiselle? Kenapa buru-buru?”
“Mau apa?” Tanya Tara dengan nada sama sekali tidak ramah. Ia menatap lawan bicaranya dengan tatapan yang dia harap berkesan tajam dan menusuk.
“Aku sedang bertanya-tanya apakah kau manu menemamiku makan malam. Aku yang traktir, tentu saja. Kau boleh memilih restorannya.”
Tara berusaha terlihat tidak peduli, tapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berseru, “Brengsek kau, Sebastien Geraudeau! Kemana saja kau selama ini? Kenapa tidak meneleponku?”

Di Paris ada satu bistro kecil tidak terkenal yang menjadi kesukaan Tara karena menyajikan masakan Indonesia, khususnya sate kambing kesukaannya.
“Jadi, kemana sajakau seminggu terakhir ini? Kalau kau masih ingat, waktu itu kau berjanji menjemputku di bandara. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli ponsel? Untuk menelepon?”
“Baiklah, aku minta maaf. Aku minta maaf karena tidak bisa menjemputmu di bandara. Aku juga minta maaf karena tidak menghubungimu.”
“Kau kemana saja seminggu terakhir ini?”
“Tokyo.”
“Tokyo? Jepang?”
“Waktu itu ayahku sedang ada di Tokyo untuk urusan kerja. Hari Sabtulalu, hari kau kembali ke Paris, aku mendapat telepon yang mengabarkan ayahku tiba-tiba jatuh pingsan di tengah rapat.”
“Oh.”
“karena ayahku harus beristirahat beberapa hari di rumah sakit, aku harus melanjutkan pekerjaannya. Aku tidak punya waktu luang untuk menelepon. Ditambah lagi perbedaan waktu yang besar antara Jepang dan Prancis. Aku tidak bisa menemukan waktu yang cocok untuk meneleponmu.”
“Dimana yahmu sekarang?”
“Sudah sehat dan kembali bekerja seperti biasa. Ayahku itu tipe orang yang tidak bisa diam. Bagaimana kabar ibumu?”
“Mama? Seperti biasa. Masih sibuk mendesain perhiasan dan aksesoris.”
“Belum menikah lagi?”
“Belum. Sepertinya Mama tidak berniat menikah lagi. Sama seperti Papa, kurasa.”
“Ada kabar baru apa lagi dari Indonesia?”
“Aku bertemu sepupuku.”
“Sepupumu yang mana?”
“Yang tinggal di Korea. Aku baru tahu ternyata pacarnya artis. Ngomong-ngomong soal pacar, bagaimana dengan Jepang? Kau bertemu gadis Jepang cantik di sana?”
“Ah, aku hampir lupa memberitahumu.”
“Apa?”
“Aku punya teman di Jepang. Namanya Tatsuya Fujisawa. Dia juga arsitek dan dia akan bergabung dalam proyek pembangunan hotel ini. Arsitek Jepang yang sebelumnya bertanggung jawab dalam proyek ini mendadak menarik diri dari pekerjaan ini. Karena itu perusahaan pihak Jepang mengusulkan agar Tatsuya yang menggantikannya. Tetapi ketika aku dan ayahku bermaksud menemuinya di Tokyo, kami diberitahu dia sedang berada di Paris. Aku berhasil menguhunginya dan berjanji akan meneleponnya lagi kalau sudah kembali ke Paris. Jadi tadi aku meneleponnya dan memintanya datang ke sini.”
“Ke sini? Aksudmu sekarang?”
Sebastien mengangguk. “Ya. Kau tidak keberatan, bukan? Kau pasti akan menyukainya. Dia orang yang menyenangkan.”
Keberata? Tentu saja Tara keberatan dan ia mengatakannya langsung kepada Sebastien. “Kenapa kau tidak menemuinya besok atau hari lain? Hari ini aku sedang tidak ingin berkenalan dengan orang asing.”
“Tatsuya bisa berbicara bahasa Prancis. Sangat lancar. Kau tidak usah cemas.”
“Kau kira aku keberatan dengan orang yang tidak bisa berbahasa Prancis? Kau yang selalu merasa semua orang di dunia ini harus bisa berbahasa Prancis. Tapi masalahnya bukan itu. Aku hanya… Ah, sudahlah! Lupakan saja.”
“Tapi kupikir…” Sebastien baru saja akan menjelaskan ketika ponselnya berbunyi. “Halo? Oh, kau sudah sampai?”
Sebastien berpaling ke arah pintu dan Tara dengan enggan mengikuti arah pandanganya. Ia melihat sosok pria berwajah Asia memasuki bistro sepi itu sambil memandang sekeliling ruangan. Sebastien melambaikan tangan. Pria itu melihatnya dan tersenyum.
“Aku akan berkenalan dengannya, tapi tidak akan lama. Hari ini aku sedang tidak ingin basa-basi. Aku capek.”
Sebastien tidak menjawab karena temannya sudah tiba di meja mereka.
“Sebastien, apa kabar? Senang bertemu lagi.”
“Aku juga senang bertemu denganmu lagi. Kenalkan, ini temanku Tara Dupont.”
Tara mengalihkan pandangan dan mendapati Sebastien sedang menatapnya.
“Tara, ini Tatsuya Fujisawa. Teman baikku dari Jepang.”
Tara memaksakan seulas senyum dan menyambut uluran tangan Tatsuya. “Halo.” sapa Tara pendek. Seperti yang sudah dikatakannya tadi, ia tidak berniat basa-basi.
“Panggil aku Tatsuya saja. Senang bertemu denganmu Tara.”
“Kuharap aku tidak mengganggu acara kalian.”
“Tidak, tidak,” sahut Sebastien cepat, sebelum Tara sempat beraksi. Kau tidak tersesat kan? Bistro ini memang agak terpencil.”
Tatsuya menggeleng. “Sopir taksiku hebat.”
“Duduklah. Kau sudah makan? Kuharap kau tidak keberatan makan makanan Indonesia. Tara ini penggemar fanatik sate kambing.”
“Oh ya? Aku bersedia mencoba makanan apapun. Aku bukan orang pemilih soal makanan.”
“Dia juga penyiar radio,” Sebastien melanjutkan, seolah sedang membanggakan anak kesayangannya. Tiba-tiba Sebastien menjentikkan jari dan menatap Tara. “Kalian punya acara yang membacakan surat-surat dari pendengar, kan?”
Tara tidak menyahut, hanya mengerjapkan matanya dan mengangguk acuh tak acuh.
Sebastien menoleh ke arah Tatsuya dan menepuk bahu temannya. “Dengar, bukankah kau punya cerita bagus? Kau bisa menulis surat ke acara itu.”
Tatsuya tertawa kecil dan menggeleng-geleng.
“Apa? Cerita apa?” Tanya Tara.
“Dia belum menjelaskan detil ceritanya, tapi tadi ketika dia meneleponku, katanya dia bertemu gadis Prancis yang membuatnya terpesona,” sahut Sebastien. “Begitu datang dari Jepang langsung tertarik dengan gadis Prancis. Hebat sekali.”
Tatsuya tersenyum malu. “Dia melebih-lebihkan,” katanya pada Tara. “Aku tidak bilang begitu.”
“Jangan hiraukan Sebastien. Kalau kau punya cerita menarik, silakan tulis surat ke acara kami. Siapa tahu kami akan membacakannya saat siaran.”
Tara merogih tas tangannya dan mengeluarkan ponsel. “Maaf, aku tidak bisa tinggal lebih lama. Ada urusan mendadak. Aku harus pulang sekarang.”
“Kenapa buru-buru?” tanya Sebastien bingung.
Tara mengenakan kembali jaket dan syalnya sambil berdiri. “Aku akan meneleponmu lagi nanti, Sebastien.” Ia menoleh ke arah Tatsuya, mengulurkan tangan dan tersenyum singkat. “Senang berkenalan denganmu. Aku minta maaf karena tidak bisa mengobrol lebih lama. Mungkin lain kali.”
Tatsuya menyambut uluran tanganya dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.” Tara merangkul Sebastien dan menempelkan pipinya di pipi Sebastien dengan cepat, setelah itu ia melambai kepada Tatsuya dan keluar dari restoran.

Singkat ceritanya, Élise, teman Tara yang sama-sama menjadi penyiar mendapat surat dari sesorang yang bernama Monsieur Fujitatsu. Monsieur Fujitatsu bercerita tentang hari pertamanya datang ke Paris. Tiba-tiba ponsel Tara berbunyi, dari Sebastien. Sebastien mengatakan bahwa dia tidak bisa menemani Tara makan siang hari ini karena ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Karena Tara penasaran, akhirnya Tara bertanya kepada Sebastien tentang kemungkinan Tatsuya sudah mengirim surat ke radionya. Namun, Sebastien kurang tahu akan hal itu. Lalu Tara mematikan ponsel itu. Ia berpikir, saat ini ia tidak ingin makan sendirian, lalu Tara menelepon Papanya. Tapi ternyata Papanya juga tidak menemani Tara makan siang. Terpaksa Tara makan siang sendiri.

Karena satu jam lagi ia harus siaran, Tara memilih makansiang di brasserie yang paling dekat ke stasiun radio. Ia memilih meja kosong di pojok dan memandang berkeliling mencari pelayan. Ia mengangkat sebelah tangan ke arah pelayan yang sedang mengantarkan pesanan laki-laki berambut hitam yang menempati meja di sana. Tiba-tiba Tara ingat. Tatsuya Fujisawa! Laki-laki itu Tatsuya Fujisawa.
“Permisi,” katanya ragu-ragu.
“laki-laki itu mengangkat wajah dan menatapnya dengan bingung. “Ya.”
“Tatsuya Fujisawa, bukan?”
“Benar, saya sendiri,” jawab Tatsuya. Raut wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi apapun.
“Masih ingat padaku? Aku Tara Dupont, teman Sebastien Giraudeau. Kita pernah bertemu sekitar dua minggu yang lalu.”
“Oh, benar. Tara,” katanya sambil tersenyum lebar. “Apa kabar?”
“Makan siang sendirian? Atau sedang menunggu seseorang?”
Tatsuya meggeleng. “Tidak, aku memang sendirian.bagaimana denganmu?”
“Aku juga sendirian.”
“Kalau begitu, silakan bergabung saja denganku.”
“Terima kasih. Aku baru saja datang ketika aku melihatmu. Jadi kuputuskan untuk menyapamu karena sewaktu pertama kali bertemu kita belum sempat bicara banyak.”
“Tidak apa-apa.”
“Kata Sebastien kau sudah pulang ke Tokyo?”
“Memang benar, tapi kemarin aku kembali lagi ke sini. Aku pulang ke Tokyo hanya untuk mengurus pekerjaanku yang tertinggal.”
“Ngomong-ngomong ada yang ingin aku tanyakan. Apakah kau menulis surat ke stasiun radio kami?”
“Kalian sudah menerimanya?”
Tara tertawa. “Sudahkudga! Fujitatsu itu kau?”
“Aku tidak pandai bercerita, tapi Sebastien berhasil membujukku. Cerita yang konyol, bukan?”
“Tidak, ceritamu bagus. Temanku malah sudah membacakannya saat siaran hari ini. Aku penasaran sekali karena nama Fujitatsu kedengarannya tidak asing.”
“Kalau tidak salah, kau sendiri juga penyiar, bukan?”
“Benar.”
“Kau menikmati pekerjaanmu?”’
“tara mengangguk lalu tersenyum. “Kata Sebastien, menjadi penyiar radio memang cocok untukku karena aku ini cerewet sekali.”
“Sepertinya Sebastien benar.”
“Lalu bagaimana?”
“Bagaimana apa?”
“Kau ingin mencari gadis itu?” Tanya tara langsung.
“tatsuya tertawa. “Tidak.”
“Tidak?” Tara mengerutkan kening.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kenapa harus?”
“Lalu apa rencanamu?”
“Tidak ada rencana apa-apa.”
“Aneh.”
“Tidak aneh.”
“Biarkan aku bertanya satu hal.”
“Rupanya kau penasaran sekali dengan ceritaku.”
“Aku memang mudah oenasaran. Itu salah satu kelemahanku. Kata Sebastien aku bisa berbahaya bagi umum kalau aku sedang penasaran.”
“Aku yakin Sebastien pasti benar.”
“Asal kau tahu saja, kau benar-benar mebuatku penasaran. Maka dari itu, jawab saja pertanyaanku. Setelah ini aku tidak akan bertanya-tanya lagi.”
“Baiklah. Tanya saja.”
“Kau ingin bertemu gadis itu lagi?”
Tatsuya mengangkat alisnya, berpikir-pikir, lalu menunduk kembali menyantap makanannya. “Tentu saja.”
“Tapi kenapa kau tidak mau mencarinya?”
Tatsuya tersenyum. “Tadi kau bilang hanya akan menanyakan satu pertanyaan.”
“Ada rencana khusus akhir pekan ini?”
“Aku berencana berkeliling kota. Aku sudah berkali-kali datang ke Paris, tapi sama sekali belum sempat melihat-lihat. Kau mau jadi pemanduku?”
“Tidak masalah.”
“Kalau begitu, besok jam sepuluh pagi kita bertemu di sini.”
“Oke,” jawab Tara tanpa berpikir.
“Oh, ajak Sebastien juga,” tambah Tatsuya.
“Tapi Sebastien sedang ada di Nice. Aku tidak tahu kapan dia akan pulang.”
“Ya sudah. Tidak apa-apa. Jadi, sampai ketemu besok jam sepuluh.”
“Oke.”

Tatsuya melirik jam tangannya, lalu memandang ke luar jendela, memerhatikan orang-orang yang berlalulalang. Gadis itu sudah terlambat tujuh belas menit.
“Maaf, aku terlambat.”
Tatsuya mengangkat wajah dan melihat Tara berdiri di samping meja dengan wajah memerah dan napas terengah-engah.
“Sudah lama?” tanya gadis itu lagi sambil tersenyum lebar. Ia cepat-cepat merapikan rambutnya dan menjatuhkan diri di kursi di depan Tatsuya.
“Lumayan lama.”
“Maafkan aku. Sebenarnya aku sudah memasang beker, tapi ternyata tidak berguna. Akhirnya aku bangun kesiangan dan aku harus pergi menjemput ayahku dulu karena mobilnya rusak, lalu…”
“Tatsuya?”
Tatsuya menoleh ke arah Tara. Gadis itu sedang mengamatinya dengna tatapan heran.
“Kau sakit? Wajahmu kelihatan pucat,” kata Tara.
“Aku tidak apa-apa. Aku ke belakang sebentar.”
“Oh, oke,” gumam Tara, masih agak bingung.
Tatsuya keluar dari toilet dan berjalan kembali ke mejanya, namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Matahari terarah pada Tara yang duduk menunggu di sana. Gadis itu tidak menyadari kedatangannya karena posisi duduk yang sedikit miring dan memunggunginya. Gadis itu sedang duduk bersandar dengan kaki disilangkan dan memandang ke luar jendela.
Gadis itu.. posisis duduknya.. kaca jendela besar… sinar matahari menyinarinya…
Benar-benar aneh-tapi menyenangkan-melihat gadis itu duduk di sana dan melihat ke luar jendela. Posisi duduknya sekarang mengingatkan Tatsuya pada saat pertama kali ia bertemu dengan gadis itu di bandara Charles de Gaulle. Gadis yang membuatnya merasa tertarik.
“Maaf, perutku sedang bermasalah,” kata laki-laki itu sambil memegangi perut dengan sebelah tangan.
“Sekarang sudah baikan?”
Tatsuya mengangguk.
“Jadi, sekarang kita mau kemana?”
“Sudah lama aku ingin melihat-lihat museum yang ada di sini. Museum apa yang menarik?”
“Museum? Ada Louvre, Musée Rodin, Musée d´Orsay… eh, dan lain-lain. Mau ke mana dulu?
“Hari ini aku ingin mulai dengan Musée Rodin.”
“Tapi yang paling terkenal itu Louvre. Kau yakin tidak mau memulai dari sanaa? Ada lukisan Mona Lisa dan.. eh, sebagainya.”
“Aku punya banyak waktu. Kita punya banyak waktu. Memang banya tempat yang ingin kukunjungi dan hari ini aku ingin melihat karya Rodin. Ayo.”

Gadis itu kelihatan bosan. Tatsuya melirik Tara yang sedang memandangi sebuah patung karya Rodin tanpa ekspresi.
“Bosan?” tanya Tatsuya.
Tara tersenyum dan melipat kedua lengannya di meja. “Mm, sedikit. Tapi aku sudah terbiasa. Sebastien sering mengajakku kalau ada pameran arsitektur, sedangkan aku buta soal arsitektur.”
Tatsuya tertawa kecil. “Kalau begitu, setelah makan siang, kita ke temat lain yang lebih menarik. Bagaimana? Ada saran?”
“Bagaimana kalau ke Jardin du Luxembourg? Atau kau mau belanja? Kita bisa ke Boulevard Saint-Germain atau rue de Grenelle. Tidak, laki-laki tidak suka berbelanja.. Ah, benar! Aku harus menunjukkan tepat kesukaanku! Sudah pernah melihat kota Paris dari ketinggian?”
Tatsuya menggeleng.
“Sebastien dan aku suka sekali melihat pemandangan kota Paris dari puncak Arc de Triomphe. Benar-benar menakjubkan! Banyak orang lebih suka melihat kota Paris dari puncak Eiffel, tapi menurutku pemandangan dari puncak Arc de Triomphe adalah yang terbaik. Bisa membuatmu sulit bernapas.
“Aku paling suka berada di tempat yang tinggi, karena aku akan merasa.. mm, bagaimana mengatakannya, ya? Rasanya begitu jauh dari peradaban. Kau mengerti maksudku? Rasanya seperti meninggalkan beban di tanah dan kita melayang bebas. Aku dan Sebastien suka ke sana kalau sedang stress. Aku jamin, setengah jam di sana perasaanmu langsung jauh lebih baik. Kita akan ke sana malam nanti karena pemandangan malam kota Paris lebih indah. Kau sungguh-sungguh belum pernah lihat-lihat kota Paris?”
“Begitulah.” Tatsuya berusaha menahan senyum. Gadis ini sanggup bercerita terus kalau memang diperlukan. Gadis yang menarik.
“Aneh.. Sudah berapa kali kau datang ke Paris?”
Tatsuya mendongak dan berpikir-pikir. “Wah, aku tidak ingat.”
“Aneh sekali kalau datang ke Paris dan tidak berkeliling. Kau selalu datang untuk urusan kerja?”
Tatsuya ragu sejenak. “Tidak juga,” jawabnya.
“Lalu kau datang untuk apa? Tidak mungkin untuk berlibur karena kau bilang kau bahkan tidak berkeliling dan melihat-lihat kota.”
Tatsuya menunduk dan bergumam, “Mencari seseorang.”
“Apa?”
Tatsuya mengangkat wajah dan mengulangi, “Aku ke sini untuk mencari seseorang.”
“Siapa? Kau mencari siapa?”
“Ceritanya panjang. Lain kali saja kuceritakan.
Ia merasa lengannya disiku pelan. Ia menoleh dan melihat tara sedang menatapnya dengan alis berkerut.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Tidak ada,” Tatsuya berbohong.
“Kau tahu, Sebastien juga sering begitu.”
“Sering bagaimana?”
Tara mendongak. Senyumnya masih menghiasi bibirnya. Sepertinya memikirkan Sebastien saja ia bisa tersenyum. “Aku selalu tahu kalau Sebastien sedang banyak pikiran. Alisnya akan berkerut dan dia lebih banyak diam. Kalau ditanya apa yang sedang dipikirkannya, dia hanya akan menjawab ‘tidak ada apa-apa’ dengan nada berat. Sama seperti yang kau lakukan tadi.”
Tatsuya mengangkat alisnya dan ikut tersenyum. Gadis itu punya senyum yang menular.
“Taman yang indah,” komentar Tatsuya memgalihkan pembicaraan.
“Aku dan Sebastien suka ke sini. Kadang-kadang kalau kami berdua punya waktu senggang, kami akan duduk-duduk dan mengobrol tanpa tujuan.”
Tatsuya memandang gadis itu dengan bimbang.
“Ah! Itu ada bangku kosong. Ayo kita duduk di sana.”
Tatsuya membiarkan dirinya ditarik ke arah bangku kosong tidak jauh dari sana. Tara menyandarkan tubuhnya, mendongak, memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam, dan mengembuskannya.
“Hari yang indah sekali. Lihat daun-daun sudah mulai berwarna cokelat. Bagus sekali bukan?”
Tatsuya memandang gadis itu sambil tersenyum samar.
“Kami-Sebastien dan aku, maksudku- suka sekali musim gugur. Kau tahu bagian mana yang paling menyenangkan?”
Tatsuya menggeleng, masih tetap memandangi gadis itu.
“Aku paling suka merasakan angin musim gugur di wajahku. Membuat ujung hidung dan kedua pipiku terasa dingin,” kata Tara sambil tertawa. Ia menyentuh ujung hidung dan pipinya untuk menegaskan kata-katanya.
Tatsuya menimbang-nimbang sesaat, lalu berkata, “Ada yang ingin kutanyakan. Apakah kau dan Sebastien..?”
Tara mengangkat alisnya, menunggunya melanjutkan.
“Kau tahu maksudku. Apakah kau dan Sebastien.. pacaran?”
Tara mengerjap-ngerjapkan matanya lalu tertawa terbahak-bahak. “Oh astaga! Tidak,” jawabnya ketika tawanya mereda. “Tidak, kami tidak pacaran. Kenapa bertanya seperti itu?”
Tatsuya mengangkat bahu. “Kau selalu menyebut-nyebut namanya. Sebastien juga sering membicarakan dirimu.”
Tara menatapnya lurus-lurus. Matanya berbinar-binar. “Sebastien sering membicarakan aku?”
“Ya. Kau menyukainya?”
“Dia teman yang baik. Hei,aku baru sadar warna matamu abu-abu. Sama seperti aku. Kau lihat? Mataku juga abu-abu.”
Tatsuya menatap mata kelabu gadis yang duduk di sampingnya itu dan tersenyum. Mata kelabu yang bersinar ramah, hangat, dan ekspresif. Mata yang dengan mudah mencerminkan apa yang sdang dirasakan pemiliknya. Mata yang bisa dipercaya.
“Lensa kontak, bukan? Aku tahu lensa kontak berwarna sangat digandrungi anak-anak muda Jepang.”
“Kau sendiri memakai lensa kontak?”
“Enak saja. Ini warna asli mataku.”
“Ah, benar. Sebastien pernah bilang ayahmu orang Prancis.”
“Ya. Ibuku orang Indonesia. Selain warna mataku, aku memang lebih mirip ibuku.”
“Oh, Indonesia?”
“Kenapa?”
“Aku punya kenalan yang bisa berbahsa Indonesia di Tokyo.”
“Oh ya?”
“Dia tetanggaku. Apartemennya tepat di sebelah apartemenku. Gadis manis yang pendiam, tapi bisa berubah segalak singa kalau perlu. Kadang-kadang dia suka mengomel dalam bahasa Indonesia.”
“Kau mengerti apa yang dikatakannya?”
“Hanya beberapa kata. Aku suka bertanya apa yang diomelkannya.”
“Aku jadi ingin belajar bahasa Jepang.”
“Kau ingin belajar bahasa Jepang? Kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa. Aku memang suka belajar bahasa asing. Kalau tidak salah, dalam bahasa Jepang kau harus menambahkan kata san pada nama orang, bukan?”
“Kalau kau sudah mengenalnya dengan baik, kau oleh memakai kata chan.”
“Tatsuya-san? Atau Fujisawa-san?” tanya Tara tidak pasti.
“Dua-duanya boleh, Tara-chan.”
“Hei, kau tahu, aku suka caramu menyebut namaku. Sebastien tidak pernah menyebut namaku dengan benar.
Tiba-tiba ponsel gadis itu bordering.
“Alló?” kata Tara setelah meempelkan ponsel ke telinganya. Tatsuya bisa melihat perubahan ekspresinya. Matanya berkilat-kilat dan senyumnya melebar.
Telepon dari Sebastien, piker Tatsuya tanpa bisa dicegah.
“Sebastien!” seru gadis itu gembira.
Tatsuya memalingkan wajah. Benar, bukan?
“Kau sudah sampai?.. Belum?.. Tentu saja, aku bisa menjemputmu.. Kau bawa oleh-oleh untukku?.. Wah, kau memang baik sekali!.. Oke, sampai jumpa!”
Tara menutup ponselya. Ia masih tersenyum sendiri.
“Sebastien pulang hari ini?” tanya Tatsuya basa-basi.
“Aku mau menjemputnya. Oh ya, maaf. Aku tidak bisa menemanimu ke Arc de Triomphe malam ini.”
“Tidak apa-apa. Kita bisa pergi lain kali.”
“Mau kuantar pulang?”
Tatsuya menggeleng. “Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku ingin ke tempat lain dulu. Kau pergi saja.”
“Baiklah,” kata gadis itu sambil tersenyum. “Aku pergi dulu. Terima kasih karena sudah mentraktiku makan siang. Lain kali giliranku.”
“Terima kasih karena sudaah menemainiku hari ini.”
Tara melambaikan tangan. “Sampai jumpa.”
“Sampai ketemu lagi, Tara-chan.”

Singkat cerita, Monsieur Fujitatsu mengirimkan sebuah cerita lagi ke stasiun radio. Monsieur Fujitatsu bercerita bahwa tadi dia bertemu dengan seorang gadis dan mengajaknya ke sebuah museum, tapi ternyata gadis itu bosan setengah mati. Lalu, Monsieur Fujitatsu tidak akan mengajaknya ke museum lagi.

“Mau makan di mana?” tanya Sebastien.
Taramemindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan dengan kening berkerut. “Di mana ya?”
“Mau makan pasta?”
“Boleh saja. Sudah lama aku tidak makan pasta. Di tempat biasa?”
“Ya. Oh, ya. Kau tidak keberatan aku ajak Tatsuya sekalian, kan?”
“Tentu saja tidak. Ajak saja.”
“Bagus. Kita ketemu di sana saja, ya?”
Sebenarnya ketika ia pergi mejemput Sebastien di bandara, suasana hati Tara masih bagus sekali. Melihat sosok Sebastien yang keluar dari pintu kedatangan di bandara saja hatinya langsung melonjak dan ia segera melambai-lambai dengan gembira. Suasana hati Tara mulai berubah ketika mereka sudah berada di dalam mobil dan ia bertanya tentang perjalanan Sebastien ke Nice.
“Bagaimana Nice?” tanyanya sementara mereka meninggalkan bandara.
“Semuanya baik-baik saja. Aku juga bertemu seorang gadis di sana.”
“Lagi-lagi,” Tara mendesah.
“Tunggu dulu. Ini tidak seperti sebelumya.”
“Apa bedanya?”
“Gadis ini berbeda. Aku benar-benar suka padaanya.”
Mobil sempat oleng begitu Tara mendengar kata-kata Sebastien.
“Ya Tuhan! Hati-hati, Tara. Kau hampir menabrak mobil di sebelahmu!” seru Sebastien memperingatkan.
“Berbeda? Berbeda bagaimana? Bukankah semua gadis sama saja bagimu?”
“Aku serius. Juliette berbeda.”
“Ih, alasan usang,” gumam Tara.
“Sungguh. Tara, apakah menurutmu aku sedang jatuh cinta? Kautahu, ternyata dia juga tinggal di Paris. Dia pergi ke Nice karena urusan kerja, sama seperti aku. Katanya dia akan kembali ke Paris dalam beberapa hari ini. Akan kukenalkan padamu nanti.”
“Itu konyol”
“Apanya?”
“Segala tetek-bengek tentang jatuh cinta itu. Memangnya orang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Aku tahu kau tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi aku percaya.”
Tara mendengus meremehkan.
“Tara, kenapa kau mengebut begitu? Pelan-pelan saja.”
“Aku sedang buru-buru. Kau kira aku orang yang tidak punya kerjaan?”
“Jadi, apa yang terjadi selama aku di Nice? Akhir pekanmu menyenangkan?”
“Tidak lebih baik daripada akhir pekanmu,” sahutnya dengan nada ketus yang sama.
“Kok tiba-tiba marah?”
“Aku tidak marah,” tukas Tara, walaupun nada suranya jelas-jelas marah.
“Baiklah. Walaupun aku tidak tahu apa kesalahanku, aku minta maaf,” katanya tulus, berharap dengan begitu kekesalan Tara akan mereda.
“Kau tidak tahu kesalahanmu, tidak perlu minta maaf!”
“Hari ini kau aneh sekali, Tara Dupont. Kau sedang ada masalah?”
Perhatian dalam suara Sebastien membuat amarah Tara agak reda. Ia menggeleng.
“Kau tahu kau selalu bisa bercerita padaku kalau ada masalah. Akan kuberi pelajaran siapa pun yang mengganggumu.”

Sebastien sudah menunggnya ketika Tara sampai di restoran Italia itu. Tara heran melihat Sebastien duduk sendirian.
“Di mana Tatsuya?”
Sebastien mengangkat wajah dari menu yang sedang dibacanya. Ia tersenyum lebar, lalu berdiri dari kursinya. Ia menunggu Tara menarik kursi dan duduk, baru duduk kembali.
“Di mana Tatsuya?”
“Dia tidak bisa ikut.”
“Oh?”
“Tadi aku sudah menelepon untuk mengajaknya, tapi katanya dia ada urusan lain. Akhir-akhir ini kami semua memang sibuk sekali karena proyek hotel itu, apalagi Tatsuya yang harus dengan cepat mepelajari semuanya dari awal karena dia bergabung di tengah-tengah proyek yang sedang berjalan. Hari ini aku bahkan belum sempat bertemu dengannya. Aku juga tidak melihatnya sepanjang hari kemarin.”
“Sebentar,” gumam Sebastien.
Sebastien buru-buru menempelkan ponsel ke telinga. “Juliette? Kau sudah kembali ke Paris?” tentu saja aku punya waktu sekarang.”
Tara melotot. Apa katanya?”
“Oke, aku akan ke sana sekarang. Sampai jumpa.”
Sebastien menutup ponsel dan memandang Tara.
Tara balas memandang Sebastien. Ia tidak mau bertanya karena ia takut mendengar jawaban Sebastien.
“Tara, maafkan aku. Kau ingat Juliette? Gadis yang pernah kuceritakan padamu?”
Sebastien meneruskan, “Ternyata dia sudah kembali ke Paris. Dia menelepon dan mengajakku makan siang.”
“Sekarang? Bukankah kita sedang makan siang?”
“Maaf, aku akan mentraktirmu lain kali. Oke? Sekarang aku harus pergi.”

Alló?
Alló, Tara-chan. Kuharap kau tidak sedang sibuk.”
“Tatsuya! Bagaimana kau bisa tahu nomor teleonku?”
“Tadi aku menelepon ke stasiun radio dan katanya kau sedang siaran, jadi aku sekalian meminta nomor ponselmu. Aku ingin minta maaf karena tidak bisa ikut makan siang bersamamu dan Sebastien tadi.”
“Tidak apa-apa. Tadi kami juga tidak jadi makan siang. Sebastien punya rencana lain.”
“Kedengarannya kau sedang kesal.”
“Tidak, aku tidak kesal.”
“Ya sudah. Sebenarnya aku ingin mengajak kalian makan malam. Aku menelepon Sebastien, tapi katanya dia tidak bisa.”
“Jangan hiraukan dia. Aku bisa menemanimu makan mala. Di mana?”
“Di tempatku. Aku akan memasak udon.”
“Kau bisa masak?”
“Tentu saja. Kenapa tidak?”
“Bisa dimakan?”
Tara mendengar Tatsuya tertawa. “Semua temanku suka makan masakanku,” sahutnya.
“Baiklah, aku akan datang. Berikan alamat rumahmu.”
“Kau benar-benar pintar memasak.”
Tatsuya menoleh ke arah gadis yang duduk di sampingnya. Tara balas menatapnya sambil tersenyum lebar. “Terima kasih,” kata Tatsuya.
“Aku kenyang sekali.”
Mereka berdua baru selesai makan dan sedang duduk-duduk di sofa panjang dan memandang ke luar jendela. Tara yang memaksa Tatsuya menggeser sofa ke depan jendela agar mereka bisa duduk dan makan sambil memandangi sungai Seine di bawah sana.
“Apartemenmu bagus,” kata Tara sambil bangkit dan berjalan berkeliling ruangan.
“Disewa oleh perusahaan.”
“Ini foto siapa?”
Tatsuya menoleh dan melihat Tara sudah berdiri di dekat televisi dan memerhatikan foro seorang wanita yang ada di atas televisi. Ia bangkut dan menghampiri gadis itu.
“Cantik,” gumam Tara sambil mengamati wanita berambut hitam panjang sebahu di dalam foto.
“Tentu saja. Ini almarhumah ibuku.”
“Oh?” Taramengangkat wajah dan menatap Tatsuya. “Kalau boleh tahu, kapan..”
“Musim gugur tahun lalu. Kanker.”
“Oh,” gumam gadis itu agak kaget. “Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa,” kata Tatsuya sambil mengembalikan foto itu ke atas televisi. Kemudian ia tersenyum. “Karena itulah aku tidak suka musim gugur.”
Tara membalas senyumannya.
“Kau ingat aku pernah bilang aku sedang mencari seseorang?”
Tara menoleh ke arahnya, menunggu melanjutkan.
Tatsuya menarik napas dan menatap Tara. “Aku sedang mencari cinta pertama ibuku.”
“Sebelum bertemu dengan ayahku, ibuku pernah jatuh cinta dengan seorang pria Prancis.. Cinta pertamanya. Karena itu ibuku memintaku mencarinya.”
“Kau tahu kenapa ibumu memintamu mencari cinta pertamanya?” tanya Tara.
“Untuk menyerahkan surat yang ditulis ibuku kepadanya.”
“Lalu kenapa kau lesu begitu? Apakahkau merasa ibumu mengkhianatimu dan ayahmu? Karena ibumu memintamu mencari cinta pertamanya?”
“Sedikit, kurasa.”
“Kau anak yang baik. Sungguh.”
Tatsuya tertawa kecil.
“Jadi kau sudah menemukan orang itu?”
Tatsuya mengangguk.
“Benarkah?”
“Aku belum beetemu muka dengannya. Aku sudah punya nomor tekeponnya, hanya saja aku belum berani menghubunginya.”
“Kenapa?”
“Karena aku masih bingung dengan apa yang harus kukatakan padanya. Bagaimana reaksinya begitu bertemu denganku? Apakah dia masih ingat pada ibuku? Banyak yang harus kupersiapkan sebelum aku bertemu dengannya nanti.”
“Tapi kau tahu cepat atau lambat kau tetap harus menghadapinya,” kata Tara mengingatkan.
“Ya, aku tahu. Dan aku akan memberitahumu bila aku sudah bertemu dengannya.”
“Oke. Aah… pemandangan Sungai Seine dari sini indah sekali.”
“Ngomong-ngomong, kau tahu, kau sekarang punya banyak penggemar?” Tanya tara tiba-tiba.
“Maksudmu?”
“Para pendengar kami sangat tertarik dengan ­e-mail yang kaukirimkan, termasuk temanku, Élise, yang juga penyiar acara Je me souviens.. Cerita-ceritamu membuat mereka penasaran.”
“Oh ya?”
“Monsieur Fujitatsu mebuat acara ini semakin popular. Inbox e-mail kami kebanjiran surat yang menanyakan tentang si’laki-laki misterius yang romantic.”
Tatsuya tertawa kecil.
“Terutama mereka penasaran sekali dengan gadis di bandara itu,” tambah Tara.
“Kau juga penasaran,” sela Tatsuya sambil tersenyum.
“Baiklah, aku juga. Maukah kau menulis surat ke acara itu?”
“Kau mau aku bercerita tentang gadis yang kutemui di bandara waktu itu?” tanya Tatsuya.
“Tentang apa saja.”
“Akan kukabulkan keinginanmu kalau kau mau pergi jalan denganku kapan-kapan.”
Mata Tara membesar dan ia tersenyum. “Kau mengajakku kecan?”
“Sepertinya begitu.”
Kemudia gadis itu tertawa. Saat itu Tatsuya baru menyadari ia sangat suka melihat Tara Dupont tertawa.

“Tara-chan, kau punya waktu?.. Senetar saja.. Ya, sekarang.. Aku ingin bertemu denganmu.”
“Ayah kandungmu?” Mata Tara terbelalak. Ia mengibaskan-ngibaskan tangan, lalu bertanya sekali lagi, “Kau tadi bilang, ayah kandungmu?”
“Mm-hmm,” sahut Tatsuya.
“Apa yang kaurasakan sekarang?”
“Aku lega semua sudah selesai.”
“Ayah kandungmu itu.. orang baik?”
“Mm.. Kelihatannya begitu.”
Tara terdiam. Ia belum pernah menemui masalah seperti ini sebelumnya, jadi tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur ataupun mendukung Tatsuya. Tiba-tiba pundaknya terasa berat. Ia menoleh dan melihat kepala Tatsuya bersandar di pundaknya. Ia terkesiap dan wajahnya memanas.
“Tatsuya, kau sedang apa?”
“Sebentar saja. Aku capek sekali.”
Tara pun berhenti bergerak-gerak. Ia bahkan menahan napas dan berusaha meredakan debar jantungnya yang semakin cepat, takut Tatsuya mendengarnya.
“Aku baru tahu sekarang kenapa ibuku selalu memaksaku belajar bahsa Prancis sejak kecil. Ternyata Ibu ingin aku bisa bertemu dengan ayahku suatu hari nanti.”
Beberapa saat kemudian Tatsuya mengangkat kepala dan menatap Tara samabil tersenyum. “Lega sekali karena masalahku sudah selesai. Bagaimana kalau kita merayakannya malam ini?”
“Ah benar! Kau pernah janji mau memasak kari. Malam ini. Oke?”
Tatsuya tergelak. Ia mengulurkan sebelah tangan dan menyentuh kepala Tara. “Oke.”
Saat itu Tara hanya bisa tercengang. Sesaat ketika Tatsuya membelai kepalanya, ia tidak bisa merakasak degup jantungnya sendiri.

“Hei, dia tampan,” bisik Élise di dekat Tara. “Tangkapan yang bagus.”
“Tangkapan? Memangnya dia ikan?” tukas Tara lirih.
“Kau beruntung. Kalau aku belum punya Oliver, sudah kurebut dia darimu.”
Tara tertawa. Ia memerhatikan temannya meneguk bir yang tersisa di botol sampai habis.
“Sepertinya bukan cuma aku yang punya pikiran merebut Tatsuya darimu,” kata Élise tiba-tiba.
Tara menoleh dengan cepat ke arah Tatsuya dan melihat Juliette sedang berbicara dengan laki-laki itu. Wajahnya dekat sekali dengan Tatsuya. Sesekali wanita itu tersenyum lebar dan mempertontonksn barisan giginya yang putih dan rapi. Sebastien asyik mengobrol denga Oliver sehingga tidak terlalu memerhatikan pacarnya yang duduk di sampingnya sedang verusaha selingkuh.. dan semakin lama semakin dekat denga Tatsuya.
“Tatsuya, kau mau ke bar? Aku ikut!”
Tara mengikuti Tatsuya ke bar yang ramai.
“Ternyata kau baik sekali,” komentar Tara dengan nada sinis.
“Hm? Baik bagaimana?”
“Kenapa kau harus mengambilkan minuman untuknya?”
Karena tidak terdengar jawaban, Tara melirik Tatsuya sekilas dan mendapati laki-laki itu sedang menatapnya sambil tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum?”
“Tara Dupont,” panggil Tatsuya. “Coba pandang aku.”
Karena Tatsuya memanggilnya dengan lembut, Tara tidak punya pilihan lain selain berpaling dengan enggan dan memandang Tatsuya.
“Kau cemburu?” tanya laki-laki itu. Senyumnya makin lebar.
“Tidak,” tukas Tara.
Tatsuya tertawa kecil. Ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Tara. Jantung Tara langsung meloncat tidaka beraturan.
“Aku menawarinya minum lagi sebagai alasan untuk menyingkir dari sana,” kata Tatsuya sambil menatap mata Tara.
“Sungguh?”
Tatsuya mengangguk.
“Kau tidak tertarik padanya?”
Tatsuya menggeleng.
“Sedikitpun tidak?”
Tatsuya berpikir sejenak. “Yah.. Dia memang cantik sekali,” gumamnya.
Tara mengerutkan kening.
“Tapi tidak, dia bukan tipeku. Makanya kau tidak perlu cemas. Kau tahu, kulitmu bisa cepat keriput kalau kau berkerut seperti itu terus.”

“Kenapa kalian berdua lama sekali?” protes Sebastien ketika Tara dan Tatsuya kembali ke meja. “Hanya mengambil minuman.”
Pesta minuman kembali dilanjutkan. Malam semakin larut dan suasana semakin meriah. Tatsuya merasa gembira. Inilah pertama kalinya ia merasa bebas sejak menginjakkan kakinya di Paris.
Tapi perasaan itu ternyata tidak bertahan lama.
Ketika mereka asyik mengobrol, tiba-tiba Tara menyelutuk, ”Lho, Papa! Papa!”
Semuaa orang menoleh, termasuk Tatsuya. Dan saat itulah kegembiraannya sirna tak berbekas.
Tara bangkit darikursi dan menyongsong seorang pria tinggi berambut cokelat yang menghampiri meja mereka. Kening Tatsuya berkerut begitu melihat sosok pria yang terasa tidak asing itu.
“Papa,” seru Tara gembira sambil merentangkan kedua tangannya.
“Victoria, ma chérie,” kata pria itu dan merangkul Tara.
Saat itulah Tatsuya melihat wajah pria itu denga n jelas dan darahnya mendadak membeku.
Papa..? Victoria..?
Tara menarik lengan pria itu ke meja mereka dan berkata pada teman-teman dengan nada bangga, “Teman-teman, bagi kalian yang belum pernah melihat ayahku, ini dia, pemilik kelab yang keren ini.”
Tatsuya duduk mematung. Matanya terbelalak menatap pria di hadapannya. Dunia seakan hening seketika. Ia tidak bisa mendengar suara di sekitarnya, tidak bisa merasakan jantungnya berdebar, tidak bisa merasakan darahnya mengalir di dalam tubuhnya. Ia bahkan tidak bisa menghirup udara.
Ayah tara tersenyum ramah dan mengamati wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja bundar itu, sampai pandangannya terhenti pada Tatsuya dan ekspresinya berubah. Heran.. dan terkejut.
Tatsuya bisa merasakan kekagetan di mata pria itu. Tatsuya meahaminya. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama.

Tatsuya menjulurkan tangannya yang tiba-tiba saja teramat sangat berat. Ketika Jean-Daniel Dupont menjabat tangannya, tangan pria itu terasa dingin. Ataukah tangannya sendiri yang dingin?
“Apa kabar Monsieur?” guman Tatsuya.
Jean-Daniel Dupont juga menggumamkan sesuatu, tapi Tatsuya tidak mendengar jelas.
“Kau teman Victoria?” Terdengar pertanyaan yang lebih jelas dari pria itu.
Tatsuya tidak menjawab. Ia bingung harus menjawab apa.
Melihat kedua laki-laki itu berpandangan dalam diam, tara juga ikut diam, lalu seakan menyadari sesuatu, ia menoleh ke arah Tatsuya dan berkata, “Kau pasti bingung kenapa ayahku memanggilku Victoria. Nama lengkapku Victoria Dupont. Memang nama yang lebih mirip nama Inggris bukan Prancis, karena ibuku yang memeriku nama. Semua orang memanggilku Tara, hanya ayahu yang masih suka memanggilku Victoria.”
Tatsuya masih belum menemukan suaranya kembali.
“Monsieur, silakan bergabung bersama kami,” Élise menawarkan.
Entah bagaimana caranya, Jean-Daniel Dupont berhasih menyunggingkan senyum ramah yang agak kaku dan menggeleng. “Tidak usah. Kalian anak-anak muda saja yang bersenang-senang. Aku hanya mampir untuk melihat-lihat keadaan kelab. Silakan, silakan..”
“Oh ya, waktu itu Papa bilang ada yang ingin Papa bicarakan denganku,” Tara mengingatkan. “Kata Papa itu masalah penting.
Tubuh Tatsuya menegang. Ia bisa menebak apa yang ingin dibicarakan Jean-Daniel Dupont dengan purtinya. Pasti tentang putra yang baru ditemuinya. Ia menahan napas menunggu jawaban Jean-Daniel Dupont.
“Tidak apa-apa, ma chérie,” sahut ayahnya. Matanya bertemu dengan mata Tatsuya. “Tidak terlalu penting. Lain kali saja kita bicarakan.”
Tara mengangkat alisnya. “Lho?”
Tepat pada saat itu Élise berkata ingin menambah minuman. Tatsuya mengambil kesempatan itu dan menawarkan diri untuk mengambilkan minuman untuknya. Ia perlu menyingkir dari sana untuk sementara. Supaya ia bisa bernapas kembali. Ketika ia berjalan pergi, ia sempat mendenga ucapan Jean-Daniel Dupont kepada putrinya.
“Bisa ikut Papa sebentar, Victoria?” tanya ayahnya dengan nada mendesak.

Apa yang akan dibicarakan Jean-Daniel Dupont dengan Tara?
Mengapa Jean-Daniel Dupont terlihat begitu panik?
Siapakah sebenarnya Jean-Daniel Dupont dalam hidup Tatsuya?
Mengapa saat bertemu, keduanya begitu kaget?
Apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hubungan Tara dan Tatsuya? Apakah baik-baik saja? Atau malah sebaliknya?

Temukan kisah selengkapnya hanya dengan membaca buku Autumn In Paris.

readmore »»