Humm… ini buku emang bagus, keren, dan apa lah terserah (speechless kalo ngebahas buku ini). Ini rekor aku baca buku dengan 313 lembar memerlukan waktu 5 jam (hebat gak…. #sombong. Oke oke forget it). Aku pengeeen bisa kayak Keiko, atau Han Soon-He (baca juga Summer in Seoul). Aaah udah ah, langsung aja aku ceritain…. (dan ini engga sama persis seperti di buku. Kak Ilana Tan, maafkan aku jika suatu saat kau membaca ini dan mendapati aku sedikit mengganti versi asli cerita ini. #ngarep banget dibaca. hahaha)
Musim dingin sudah tiba dan menyelimuti kota Tokyo. Angin bertiup agak kencang malam ini. Ishida Keiko mengibaskan rambut panjangnya ke belakang agar tidak menghalangi pandangan sementara ia bergegas menyusuri jalan kecil dan sepi yang mengarah ke gedung apartemennya.
“Hei…”
Keiko terlompat kaget dan berputar cepat. Begitu mengenali wanita itu sebagai Sato Haruka, tetangganya yang tinggal di apartemen lantai bawah, Keiko menghembuskan napas lega.
“Haruka Oneesan, kau membuatku terkejut setengah mati”
“Kau terlalu gampang terkejut.”
“Oneesan tahu aku selalu merasa waswas kalau berjalan sendirian di jalan sepi, dan aku punya alasan bagus untuk itu.”
“Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Ayo, cepat. Aku sudah hampir beku.”
Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan gedung apartemen mereka. Gedung itu hanya bangunan tua tingkat dua dan berukuran kecil. Tidak ada lift, hanya ada tangga yang tidak terlalu lebar. Walaupun gedung itu sudah tua, kondisi apartemen di sana sama sekali tidak buruk. Ruangannya cukup luas kalau dibandingkan dengan apartemen lain pada umumnya, fasilitasnya memadai, dan biaya sewanya termasuk murah. Tidak mungin menemukan apartemen seperti itu di pusat kota Tokyo.
Setiap apartemen di sana memiliki susunan yang sama: dapur, ruang duduk yang mengarah ke balkon sempit yang berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian, satu bilik kecil khusus kloset, satu7 kamarmandi kecil yang dilengkapi dengan mesin pemanas air, dan dua kamar tidur yang juga berukuran kecil. Ketika mereka tiba di depan pintu apartemen 102, Haruka berbalik menghadap Keiko. “Oh ya, apakah kau sudah tahu penyewa baru apartemen 201 sudah datang?”
“Benarkah?”
“Aku sendiri belum pernah melihat orang baru itu, tapi Tomoyuki melihatnya tadi pagi.”
“Laki-laki?”
“Kata Tomoyuki, orang itu datang sendirian dan langsung masuk ke apartemen 201. Tidak keluar lagi sejak saat itu.”
“Oh…”
“Baiklah, aku harus masuk dan member makan adikku yang manja itu. Selamat malam, Keiko.”
“Selamat malam.”
Ketika mencapai pintu apartemennya, ia menoleh dan menatap pintu apartemen 201, tetapi ia tidak mendengar suara apa pun dari balik pintu. Tiba-tiba pikiran buruk melintas dalam benak Keiko. Bagaimana kalau penyewa baru itu jatuh sakit? Keiko menggigil memikirkan kemungkinan itu. Tapi…
Keiko maju selangkah mendekati pintu 201 dengan ragu-ragu. Ia menyapu poninya yang terpotong rapi dari kening dan menarik napas panjang. Kemudian ia membulatkan tekad, menempelkan telinga kanannya ke pintu dengan hati hati, namun tidak terdengar apa apa. Ia memutar kepalanya dan kali ini telinga kirinya yang ditempelkan ke pintu. Mendadak pintu itu berayun terbuka dengan satu gerakan cepat, membuat kepalanya yang masih menempel di daun pintu kehilangan sandaran dan tubuhnya jatuh ke depan.
“Aduh, aduh, aduh… kepalaku, aduh, pantatku…” Keiko mengerang sambil mengusap sisi kepalanya, sama sekali tidak sadar bahwa ia mengerang dalam bahasa ibunya.
Laki-laki bertubuh tinggi yang berdiri di sana terlihat berantakan. Rambutnya yang gelap awut-awitan, sweter hitam dan celana jins yang dikenakannya juga kelihatan lusuh. Keiko tidak bisa menebak umur laki-laki itu karena penampilannya sungguh kacau dan sepertinya ia belum bercukur hari ini. Keiko juga tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan orang ini.
“Kau tidak apa-apa?” Kazuto mendapati dirinya bersuara. Suaranya terdengar serak di telinganya sendiri. Dan ia mengatakannya dalam bahasa Jepang. Apakah gadis itu mengerti?
“Ada apa? Apa yang terjadi?”
“Suara apa itu?”
“Siapa yang berteriak?”
“Ada pencuri? Pencuri?”
“Keiko-chan? Kaukah itu?”
“Keiko Oneesan?”
“Tomoyuki! Ayo, kita naik.”
“Mana tongkat bisbolku?”
“Pakai dulu jaketmu.”
“Jaketku?”
“Bu, kau tunggu di sini saja.”
“Hati-hati!”
Dalam sekejap mata, tiga orang bermunculan di depan Kazuto. Ia hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata memandangi dua pria dan satu wanita yang menyerbu koridor sempit di lantai dua itu.
“Keiko, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”
“Oh, Haruka Oneesan. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
Si pemuda kurus dan berambut gondrong membantu Keiko berdiri dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain masih mencengkeram tongkat bisbol dengan erat. Ia menatap Kazuto yang masih tertegun. “Anda siapa? Keiko Oneesan, apakah orang ini macam-macam terhadapmu?”
“Sabar Tomoyuki,” sela orang tua berambut putih yang berdiri di samping pemuda yang mengacungkan tongkat bisbol. “Tolong perkenalkan dirimu, Anak muda.”
“Nama saya Nishimura Kazuto. Saya baru pindah ke apartemen ini.”
“oh? Si orang baru?” Tanya pemuda yang tadi dipanggil Tomoyuki. “Tadi pagi aku melihatmu datang.”
“saya baru tiba di Tokyo dengan pesawat tadi pagi. Karena tidak enak badan saya langsung tertidur begitu tiba di apartemen. Saya minta maaf Karena tidak sempat memperkenalkan diri lebih awal.”
“lalu aa yang terjadi di sini?” Si Kakek tua kembali bertanya sambil memandang Kazuto dan Keiko bergantian.
“Kakek, itu…. Itu, ehm…. Maksudku, aku hanya khawatir, Aku dengar dari Haruka Oneesan, sudah ada yang menempati apartemen 201 dan orang itu belum keluar dari kamar sejak tadi pagi. Dan aku tidak mendengar suara apa pun dari dalam. Jadi kupikir…. Mungkin orang itu sakit, atau eh, jatuh pingsan. Lalu ketika aku sedang mencoba mendengarkan suara dari balik pintu, orang- eh, Nishimura-san tiba-tiba membuka pintu dan membuatku terkejut. Dan aku terjatuh. Begitulah.”
“Ya ampun, Keiko. Kau membuat kami kaget sekali tadi,” kata Haruka sambil mengguncang lengan Keiko.
“Maafkan aku,” gumam Keiko.
“Sebaiknya kita saling memperkenalkan diri, Namaku Sato Tomoyuki dan ini kakakku, Sato Haruka.” Kata Tomoyuki.
“Kami tinggal di bawah, di apartemen 102,” Haruka menambahkan.
Kazuto membungkuk dan meyambut uluran tangan kakak-beradik Sato. “Mohon bantuannya.”
“Anak-anak ini biasa memanggilku Kakek Osawa. Aku tinggal bersama istriku di bawah.” Si kakek memperkenalkan diri sambil tersenyum lebar.
“Namaku Ishida Keiko. Salam kenal. Aku minta maaf soal… soal kejadian tadi.”
“Tidak usah dipikirkan. Aku juga minta maaf karena membuatmu terkejut.”
“Selamat bergabung bersama kami, Nishimura-san, jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu-ragu mengatakannya.”
“Moshimoshi? Tomoyuki-kun, ada apa?”
“Keiko Oneesan, punya waktu mala mini?”
“Memangnya ada apa malam ini?”
“Haruka Oneechan, aku dan Kazuto Oniisan mau pergi minum-minum mala mini. Anggap saja sebagai pesta kecil-kecilan menyambut tetangga baru. Sebelum itu kita akan makan malam bersama di tempat Kakek dan Nenek Osawa. Jadi bagaimana? Oneesan bisa ikut?”
“Mala mini tidak bisa. Seorang rekan kerjaku berualng tahun dan dia mengajak kami pergi makan malam dan karaoke. Aku sudah janji akan ikut.”
“Oh?” Suara Tomoyuki terdengar agak kecewa.
“Maaf Tomoyuki-kun, aku harus kembali bekerja sekarang. Kalian saja yang pergi hari ini. Mungkin aku akan ikut lain kali. Maaf ya?”
Sambil bersenandung pelan, ia menyusuri jalan kecil yang agak menanjak menuju gedung apartemennya, Jalan kecil itu sepi dan hanya diterangi lampu jalan yang remang-remang. Lalu ia mendengar suara itu. Suara langkah kali di belakangnya. Keiko terkesiap pelan dan menelaan ludah. Ia berusaha menenangkan diri. Mungkin ia salah dengar. Keiko tetap berjalan-walaupun langkahnya tanpa sadar semakin cepat-dan memasang telinga. Benar! Ad orang di belakangya! Ini dia! Gedung apartemennya sudah terlihat. Keiko lega sekali. Ia nyaris berlari, tapi kakinya terlalu kaku untuk bergerak lebih cepat lagi. Tiba-tiba….
“Hei…” terdengar suara rendah seorang lelaki di belakangnya dan Keiko merasa bahunya dipegang. Kepanikannya meledak ia berputar dengan cepat sambil mengayunkan tas tagannya ke arah orang itu. Ia juga tidak lupa menjerit. Tas tangannya mengenai sisi tubuh orang itu dengan bunyi gedebuk keras. Keiko mengayunkan tas tangannya sekali lagi dan…
“Tunggu sebentar…. Ini aku. Ini aku!”
“Nishimura-sah? Astaga, kenapa kau mengendap-endap begitu?”
“Aku tidak mengendap-endap. Bukankah tadi aku memanggilmu? Justru kau yang langsung menghamtamku dengan tas. Ngomong-ngomong, kau sudah boleh menurunkan tasmu itu.”
“Tapi kau tadi memang mengendap-endap. Kau tadi membuatku ketakutan. Kukira kau perampok. Atu penguntit. Atau… semacam itu.”
“Penguntit?”
“Ya. Memangnya kenapa? Banyak penguntit di Tokyo, kau tahu?”
Mereka tiba di gedung apartemen dan berjalan menaiki tangga. Ketika Keiko sudah sampai di depan pintu apartemennya, ia berbalik menghadap Kazuto yang ada di belakangnya. “Bahumu… tidak sakit?”
Kazuto menggerak-gerakkan bahunya sejenak, lalu tersenyum lebar. “Kurasa tidak apa-apa. Aku tidak akan lumpuh walaupun tadi kau menghajarku keras sekali dengan tasmu yang berat itu. Apa isisny? Batu?”
Keiko tersenyum malu dan mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.
Alis Kazuto terangkat. “Oh, Les miserablés,”
Tanpa sadar, Keiko banyak bercerita tetang saudara kembarnya, Naomi kepada Kazuto. “Ada lagi yang harus kuketahui?”
“Tidak ada. Maafkan aku karena sudah terlalu banyak bicara. Dingin sekali, sebaiknya aku masuk sekarang. Kalau begitu, selamat malam.”
“Selamat malam.”
Kazuto mengamati kepergian pamannya sejenak, lalu berbalik dan berjalan kearah yang berlawanan. Ia menyusuri Omotesando sambil mencari inspirasi, sesekali membidik dan memotret objek-objek yang dianggapnya menarik. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Lensaa kameranya menangkap sosok seorang wanita. Kazuto mengangkat kepala dari kamera untuk melihat dengan mata kepala sendiri, seakan tidak mempercayai lensa kameranya.
Tanpa sadar seulas senyum tersungging di wajah Kazuto. Tidak salah lagi, gadis itu Ishida Keiko. Dan tidak salah lagi, Keiko sedang melamun. Ia pasti sedang melamun karena sama sekali tidak menyadari Kazuto yang berdiri tidak jauh di sampingnya, hanya dipisahkan oleh jendela kaca besar.
Ia mengangkat kameranya dan membidik. Keiko masih bergeming, sibuk dengan pikirannya sendiri, tidak menyadari dunia sekelilingnya, dan tidak menyadari bahwa Kazuto sedang memotretnya. Ia juga tidak menyadari setelah itu Kazuto tetap memandanginya.
“Nishimura-san, sedang apa di sini?”
“Mencari inspirasi. Kenapa kau duduk sendirian di dalam?”
“Tadi aku bersama Haruka Oneesan. Dia memintaku menemaninya berbelanja keperluan Natal. Lalu dia harus kembali ke salon untuk bekerja. Kau mau kemana?”
“Kau sendiri mau kemana?”
“Aku? Sekarang aku mau membeli bahan makanan. Persediaan di rumah sudah habis.”
“Kalau begitu, aku ikut denganmu,”
“Untuk apa?”
“Karena aku sedang tidak punya kesibukan. Kenapa? Kau ada janji dengan orang lain?”
“Tidak. Baiklah, kau boleh ikut.”
“Makan apa ya malam ini? Spageti? Atau kari? Hmm…..”
“kari saja. Aku sudah bosan dengan makanan Barat. Kita makan makanan Jepang saja mala mini.”
“Kita? Memangnya aku pernah mengajakmu makan bersama?”
“Kau akan mengajakku makan malam di tempatmu, bukan? Kau tahu, sebenarnya aku sama sekali tidak bisa memasak dan sejak kemarin aku belum menikmati makanan yang sesungguhnya. Begini saja, bagaimana kalau sebagai gantinya siang ini kutraktir makan? Ok?”
“Kurasa cukup adil.”
Tepat pada saat itu lampu tanda menyeberang menyala dan kerumunan besar orang mulai menyeberang jalan. Keiko tahu mereka harus berjalan dengan cepat namun hati-hati dalam lautan manusia yang berjalan hilir mudik ini. Ia ingin memperingatkan Kazuto. Ia menoleh, tapi Kazuto tidak ada disampingnya. Ia menoleh ke kanak-kiri. Tidak ada. Dengan segera ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Sebelum Keiko menggumamkan permintaan maaf, seseorang yang berjalan dari arah berlawanan menyenggol bahunya. Keiko terdorong mundur beberapa langkah dan nyaris terjatuh kalau punggungnya tidak tertahan sesuatu.
“Sebenarnya kau orang Tokyo atau bukan? Menyeberang jalan saja tidak bisa.”
“Tadi aku sedang mencarimu.”
“Dari tadi aku di belakangmu.”
“Jangan tiba-tiba menghilang seperti itu. Membuat orang lain bingung. Apalagi di tengah jalan.”
“Baiklah, maafkan aku. Lain kali aku akan menempel terus padamu.”
Lagu Fly High-nya Hamasaki Ayumi terdengar nyaring. Nada dering ponsel Keiko. Ia cepat-cepat menjawab. “Moshimoshi?”
“Keiko-chan!”
“Kazuto-san?”
“Keiko-chan, sedang apa?”
“Tidak sedang apa-apa.”
“Apa yang terjadi dengan suaramu?”
“Hanya sedikit flu. Ada apa menelepon? Ah, aku tahu. Setiap kali mau meminta bantuan kau selalu memanggilku Keiko-chan.”
“Bingo! Walaupun baru bertetangga dua minggu, ternyata kita sudah isa saling memahai. Aku senang sekali.”
“Baiklah, ada apa?”
“Keiko-chan, kau tahu sekarang sedang hujan?”
“Ya”
“Aku baru turun dari bus dan sekarang sedang duduk menunggu di halte bus.”
“Lalu?”
“Hujannya deras sekali.”
“Lalu?”
“Bukankah sudah jelas? Aku tidak membawa payug dan aku sudah kedinginan. Aku bosan menunggu hujan berhenti. Ditabah lagi hujannya tidak mau berhenti-berhenti. Jadi, kau bisa menjemputku?”
“Menjemputmu?”
“Mengantarkan payung untukku. Bisa? Tolong? Aku bersedia menemanimu sepanjang Hari Natal… oh, kau akan pulang ke Kyoto pada Hari Natal, ya? Kalau begitu aku akan menemanimu sepanjang malam Natal minggu epan kalau kau mau mengantarkan payung untukku.”
“Tunggu di sana. Aku akan datang.”
“Aku sudah datang.”
“kau benar-benar datang! Kau baik sekali. Sungguh!”
“Memangnya kau piker aku tidak akan datang?”
“Aku tahu kalau kau benar-benar ingin menghabiskan malam Natal bersamaku,” gurau Kazuto.
“Terserah apa yang kau pikirkan.”
Tiba-tiba kazuto memegang siku Keiko dan menariknya menepi ketika sebuah mobil melewati mereka. Keiko agak heran mendpat perlakuan seperti itu dari Kazuto. Lebih heran lagi ketika ia menyadari laki-laki itu secara tidak mencolok telah bertukar posisi dengannya, sehingga kini Keiko berjalan di bagian dalam jalan dan Kazuto berjalan di sebelah luar. Tapi semua sopan santun itu tidak terlalu berarti kalau seorang laki-laki tidak bis melakukan satu hal yang paling penting. Keiko mendongak menatap Kazuto sambil tersenyum manis. “Ngomong-ngomong, Kazuto-san, kau bisa memasang bola lampu?”
“Lihat? Tinggal diputar begini saja. Kau benar benar harus belajar. Masa pekerjaan segampang ini tidak bisa dilakukan? Harus menunggu orang lain melakukannya untukmu?”
“Aku takut kesetrum.”
“Tidak akan kesetrum kalau kau berhati-hati. Nah, selesai. Coba nyalakan.”
“Kazuto-san, sebenarnya kau bisa memasang bola lampu atau tidak?”
“Sepertinya ini bukan masalah bola lampu yang rusak. Ada masalah dengan kabel listrikmu.”
“Lalu?”
“kalau memang itu masalanya, aku tidak bisa membantu.”
“Ha?”
“Aku bukan tukang listrik. Sebainya, kau memberitahu Kakek Osawa dan menelepon tukang listrik besok. Biar mereka yang memeriksa kerusakannya.”
“Tapi…. Tapi…”
“Kenapa?”
“Bagaimana denganku?”
“Bagaimana denganmu?”
“Itu… Aku tidak suka gelap. Tidak peduli ada yang menemani atau tidak, pokoknya aku tidak suka gelap.”
“Jadi aku tidak bisa mengajakmu nonton film di bioskop ya?”
“Apa?”
“Di bioskop, kan gelap”
“Aah, itu. Tapi itu berbeda.”
“Berbeda bagaimana? Sama sama gelap.”
“kalau di bioskop perhatianku sepenuhnya tertuju ke film yang diputar dan aku tidak merasa gugup.”
“Berarti kau mau kalau kuajak nonton?”
“Tentu saja. Kalau kau yang bayar.”
“baiklah, jadi bagaimana sekarang? Kau tidak mau tetap disini. Mau menunggu di tempatku?”
“Ya”
Ini bukan pertama kalinya Keiko masuk ke apartemen 201 setelah ditempati Kazuto.
“Kau juga bekerja sebagai fotografer sewaktu tinggal di U.S?”
“Ya”
“Kau senang di sana?”
“Tentu.”
“Lalu sekarang kau ingin bekerja di Tokyo? Kenapa?”
“Menjadi fotografer itu bisa dimana saja. Tidak harus terikat di satu tempat, bukan? Aku ingin mencari suasana baru dan menurutku Tokyo kota yang sangat menarik.”
“Suasana baru? Orang yang membutuhkan perubahan suasana biasanya ingin melupakan sesuatu. Bukankah begitu? Aku jadi ingin tahu apa yang ingin kaulupakan. Atau siapa”
Kazuto tidak langsung menjawab pertanyaa Keiko karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa saat kemudian ia menoleh dan mendapati gadis itu tengah berbaring di sofa dengan mata terpejam. Tanpa suara Kazuto pergi ke kamar tidur dan keluar dengan membawa selimut tebal. Ia menyelimuti Keiko dengan hati-hati, lalu berdiri di sana dan menunggu. Setelah beberapa saat ia mengeluarkan ponsel dan berjalan kembali ke kamar tidur untuk menelepon ibunya.
Karena flu Keiko tidak kunjung sembuh, Keiko memutuskan untuk pergi ke dokter. Keiko harus menunggu 45 menit sebelum namanya dipanggil untuk diperiksa. Saat sedang asyik menghitung uang, tiba-tiba ia menabrak seseorang yang berjalan terburu-buru ke arah meja perawat. Dan uang logam yang Keiko pegang berhamburan di lantai. Lau, seorang perawat memanggil dokter itu, “Kitano Sensei, ada telepon untukmu.” Mata Keiko melebar dan ia terpana. Keiko memberanikan diri untuk bertanya kepada Kitano Sensei dimana dia bersekolah dulu. Dan Keiko senang Kitano menyebutkan nama SD-nya. Akhirnya mereka berkenalan lagi.
Kazuto sedang melamun sambil memandang layar laptop yang silih berganti menampilkan foto yang sama, foto wanita itu. Tiba tiba lamunannya buyar ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Tangannya otomatis menurunkan layar laptopnya, lalu bangkit dan berjalan keluar.
“Halo” kata Keiko dengan senyum lebar.
“Oh, halo. Kau sudah pulang?”
“Ya, aku diizinkan pulang cepat karena flu. Biarkan aku masuk dulu. Dingin sekali di koridor ini. Hari ini kita tidak jadi makan gado-gado. Tadi aku bertemu Nenek Osawa di bawah. Beliau masak shabushabu dan kita disuruh ikut makan bersama. Dan ngomong-ngomong, kau punya sake? Persediaan sake Kakek sudah habis. Aku disuruh minta opadamu, makanya langsung ke sini begitu pulang.”
Laptop yang setengah tertutup di meja menarik perhatiannya. Keiko iseng-iseng menegakkan layar laptop dan melihat apayang sedang dikerjakan laki-laki itu sebelum ia membunyikan bel pintu. Foto seorang wanita berambut panjang sebahu terpampang jelas di layar.
“Ketemu… hanya ada satu botol. Tidak apa apa, bukan?”
“Tentu” kata Keiko tergagap. Ia melirik laptop di meja dengan pandangan bersalah.
Kazuto mengikuti arah pandang Keiko dan melihat layar laptopnya sudah terangkat. “Kau sudah melihatnya, ya?”
“Sipa wanita itu?”
“Wanita yang pernah kusukai.”
“Oh”
“Tapi dia lebih menyukai sahabatku.”
“Oh…?”
“Mereka akan menikah. Ya, karena itulah aku datang je Tokyo. Konyol sekali bukan?”
“Entahlah. Lalu bagaimana sekarang?”
“Semenjak aku datang ke Tokyo, aku jarang memikirkannya. Dan akhir-akhir ini aku hampir tidak pernah memikirkannya.”
“Bukankah itu bagus?”
“Ya, kurasa itu bagus”
Kazuto melihat kaki Keiko yang diperban dan bertanya kakinya kenapa. Dan Keiko menceritakan pertemuannya dengan Kitano pada Kazuto. Karena tidak tega melihat Keiko kesusahan berjalan, akhirnya Kazuto menyerahkan botol sake pada Keiko dan Kazuto menyuruh Keiko menaiki punggungnya. Tepat pada saat itu pintu apartemen 101 terbuka dan Sato Haruka berdiri di sana sambil memandangi mereka dengan mata lebar dan alis terangkat heran. Keiko tiba-tiba meminta Kazuto menurunkannya. Kazuto menurutinya, walaupun ia tidak mengerti kenapa sikap Keiko tiba-tiba berubah. Mereka langsung masuk ke apartmenen 101. Sementara para wanita sibuk di dapur, para pria duduk mengobrol di ruang duduk. Kakek Osawa sedang bercerita tentang masa mudanya dulu ketika ia masih bekerja sebagai petugas keamanan di sekolah menengah, salah satu topic yang paling disenanginya. Karena makanan sudah datang, mereka menyantapnya langsung.
Setelah makan malam, Kazuto kembali menggendong Keiko sampai di depan pintu apartemennya. Kazuto menebak bahwa gadis itu sedang gembira karena saat Kazuto mengatakan bahwa Keiko bertambah berat, Keiko tidak marah.
“Keiko…. Jangan lupa matikan semua lampu saa kau tidur nanti.”
“Kau tahu aku tidak suka gelap.”
“Coba saja dan kau akan lihat nanti.”
“lihat apa?”
“Kalau kau tidak mencoba kau tidak akan tahu, bukan?” kata Kazuto sambil tersenyum lalu masuk ke apartemennya meninggalkan Keiko yang kebingungan.
Keiko masuk ke dalam apartemennya sambil mengangkat telepon dari ibunya. Dua jam kemudian, ketika ia keluar dari kamar mandi setelah mencuci muka, bersiap siap tidur, Keiko baru teringat kata-kata Kazuto tadi untuk mematikan lampu saat tidur. Lalu ia berjalan ke sakelar lampu. Sebelah tangannya memengang dinding supaya ia tidak merasa tersesat dan tangan yang satu lagi menggapai sakelar. Dengan satu jentikan, lampu kamar tidurnya pun padam. Seketika itu juga Keiko mengerjap-ngerjapkan mata dan terkesiap. Langit-langit kamar tidurnya bertabur bintang! Bintang-bintang besar dan kecil memancarkan nyala kuning kehijauan yang samar.
Kemudian Keiko teringat foto yang dikirimkan oleh Kazuto ke pnselnya adalah foto langit-langit kamarnya. Keiko teringat tulisan yang tertera di bawah foto yang dikirimkan Kazuto tadi siang : Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang bisa dilihat sewaktu gelap? Kemudian ia meraih ponsel dan menekan beberapa tombol. Setelah menunggu sesaat, hubungannya tersambung. “Kazuto-san? Kau apakan langit-langitku?” ia berhenti sejenak, lalu tersenyum. “Indah sekali. Terima kasih.”
Saat sedang berjalan, Kazuto bertemu denga Tomoyuki. Lalu mereka berjalana bersama menuju apartemen. Saat itu, Tomoyuki melihat Keiko bersama dengan seseorang. Tiba-tiba Kazuto menawari Tomoyuki untuk menemaninya minum. Setelah minum, mereka beranjak pulang. Di tengah jalan, Tomoyuki melihat kakaknya, Haruka sedang digoda oleh laki-laki. Tomoyuki langsung menolong kakaknya dan menghajar lelaki itu. Tetapi lelaki itu masih bisa bangun dan menghajar Tomoyuki. Melihat kejadian itu, Kazuto membantu Tomoyuki dan perkelahian pun tidak dapat terhindar.
Keiko mendengar suara-suara di luar. Ia segera mematikan televise dan bangkit dari lantai. Mungkin itu Haruka sudah pulang. Atau mungkin Kazuto? Keiko membuka pintu dan melongokkan kepala ke luar. “Ada apa, Oneesan?”
“Tadi ada orang sinting yang menggangguku dijalan. Tomoyuki langsung meninju orang itu. Tapi orang itu balas meninju Tomoyuki. Setelah itu Kazuto-san beraksi.”
“Kau juga dipukul? Bagaimana bisa?” Tanya Keiko kepada Kazuto.
Keiko mengikuti Kazuto naik ke atas. Keiko masuk ke apartemen Kazuto dan melihat Kazuto dengan kening berkerut. “Kenapa? Ada sesuatu di wajahku?” Tanya Kazuto.
“Sudut bibirmu mulai membiru. Biarkuambilkan obat.” Tetapi pergelangan tangannya ditahan Kazuto.
“Tidak perlu repot-repot. Aku juga ounya obat. Kepalaku sakit kalau kau mondar mandir. Duduk saja yang manis.”
Keiko menurut. Ia duduk di sampibg Kazuto di sofa dan menatap wajah Kazuto untuk mencari luka lain. “Kau terluka di mana lagi? Kepala? Kau bilang kepalamu sakit.”
“Kepalaku tidak terluka. Hanya pusing sedikit.”
“Tangan?”
“Tidak.”
“Kaki?”
“Kaki?”
“Tidak.”
“Badanmu?”
“Keiko-chan, aku baik-baik saja. Sungguh! Atau kau mau aku membuka baju untuk meyakinkanmu?”
“Kalau begitu, istirahatlah. Samapi jumpa besok.”
Sudah tiga hari ini Keiko tidak bertemu dengan Kazuto. Terakhir kali mereka bertemu adalah malam di apartemen Kazuto, ketika Keiko bercerita Kitano Akira mengajaknya pergi menonton pertunjukan balet. Setelah itu Keiko tidak melihatnya lagi. Tentu saja Keiko sudah berusaha menghubungi ponsel Kazuto, tetapi benda itu ternyata tidak diaktifkan. Awalnya ia merasa jengkel karena Kazuto pergi tanpa berkata apa apa. Kemudian kejengkelennya berubah menjadi kecemasan.
Kazuto berdiri di depan pintu apartemen Keiko. Napasnya agak terengah. Ia tidak tahu apakah gadis itu ada di dalam atau tidak. Rasanya aneh kalau sekarang ia tiba-tiba mengetuk pintu apartemen Keiko. Akhirnya setelah berpikir beberapa saat, Kazuto mendapat gagasan. Ia mengeluarkan kunci apartemennya sendiri dari saku jaket dengan berisik, lalu berjalan ke pintu apartemennya 201. Ia memasukkan kunci ke lubang kunci dan memutarnya dengan suara keras.
“Kazuto-san?”
“Oh, Keiko-chan. Hai. Ada apa denganmu?”
“”Ada apa denganku?! Kau masih berani bertanya ada apa denganku? Kemana saja kau selama ini? Menghilang begitu saja tanpa bilang-bilang. Bahkan ponsel juga tidak bisa dihubungi. Kau tahu pikiranku suka melantur ke mana-mana. Aku mengira kau tergeletak tidak sadarkan diri di selokan entah di mana karena bru dirampok. Atau kau bisa saja mengalai kecelakaan lalu lintas dan sekarang sedang koma. Atau… atau… Kenapa senyum-senyum?”
“Kau tidak kedinginan?”
“Tidak juga”
“Masuklah, lalu kau boleh melanjutkan omelanmu. Bagaimana?”
“Ke mana saja kau tiga hari ini?”
“Kobe. Menjenguk kakekku.”
“Kobe? Kenapa ponselmu dimatika?”
“Ponselku rusak. Sekarang sedang diperbaiki. Kenapa meneleponku?”
“Tidak apa-apa. Untuk emastikan kau baik-baik saja. Karena kau pergi tanpa bilang-bilang padaku.”
“Sejak kapan kita pacaran?”
“Itu… Lalu.. kenapa kau pulang secepat ini? Kenapa tidak merayakan Natal bersama kakekmu?”
“Aku juga ingin menghabiskan Natal di sana. Di sini sepi sekali, tidak ada yang menemaniu. Kau juga akan pergi dengan dokter itu. Tapi ternyata kakekku akan berangkat ke New York malam ini. Ngomong-ngomong, kenapa kau belum bersiap-siap?”
“Kencannya batal. Ada pasien yang sedang gawat, jadi dia harus tetap di rumah sakit.”
“ohh…”
“Ini akan menjadi Natal yang paling menyedihkan dalam hidupku. Semua orang pergi dengan pacar mereka, bersenang-senang menyambut Natal. Lalu aku?”
“Kau mau pergi kencan denganku malam ini?”
“Apa?”
“Kau mau oergi kencan denganku malam ini? Bukankah kita tidak punya acara?”
“Kencan?”
“Ya. Kau tahu, pergi makan malam dan semacamnya. Itu dinamakan kencan, bukan?”
“Oke! Oke! Kita akan kemana?”
“Ah, itu akan menjadi kejutan. Sekarang, kau hanya perlu bersiap-siap. Satu jam lagi aku akan menjemputmu.”
“Menjemput, kau memuatnya terdengar begitu romantic, padahal aku hanya tinggal di seberang apartemenmu. Kau hanya perlu berjalan lima langkah dari pintumu ke pintuku. Tapi aku suka laki-laki yang sopan dan pernuh perhatian seperti itu.”
‘Keiko-chan”
“Mm”
“Bergati-hatilah”
“Hati-hati? Terhadap apa?”
“Setelah kencan ini, kau mungkin akan jatuh cinta padaku.”
“Tenang saja. Tidak akan terjadi.”
“Sungguh, kau tidak perlu membawaku ke tempat seperti ini.”
“Tapi melihat wajahmu sekarang, sepertinya pilihanku benar.”
Keiko memandang sekelilingnya dengan kagum. Restoran itu bagus dengan interior bergayapedesaan Inggris yang nyaman dan hangat. Pohon Natal besar penuh hiasan diletakkan di sudut ruangan. Lagu Natal lembut mengalun di udara.
“Kazuto-san, kau yang traktir, bukan?”
“Tenang saja, aku punya kartu diskon di sini.”
“Aku suka sekali tempat ini. Sangat romantic. Lihat, orang-orang yang datang ke sini semuanya berpasangan.”
“Kudengar restoran ini memang dijalankan dengan konsep seperti itu. Pemiliknya memang berjiwa romantic walaupun sampai sekarang belum menikah.”
“Kau kenal dengan pemiliknya?”
“Oh, tidak. Aku hanya pernah mendengar gossip tentang dia. Kalau kau datang ke sini pada hari Valentine, kemungkinanan besar kau akan melihat seorang pria berlutut di hadapan kekasihnya sambil mengacungkan cincin berlian.”
“Aku ingin sekali melihatnya. Kazuto-san, kartu diskonmu itu berlaku sampai kapan?”
“Kartu diskon? Memangnya kenapa?”
“Masalahnya bukan berlaku sampai kapan. Kartu diskonku hanya bisa dipakai pada malam Natal, lalu… malam Tahun Baru, lalu….”
“Tahu Baru nanti aku ada di Kyoto. Hmm… Bagaimana dengan Hari Valentine?”
“Hari Valentine?”
“Kaubilang restoran ini dibuat dengan konsep romantic. Jadi kupikir kartu diskonmu bisa dipakai pada Hari Valentine. Benar?”
“Kurasa begitu.”
“Kazuto-san, kau mau mengajakku ke sini lagi pada Hari Valentine nanti?”
“Kenapa? Jangan katakana kau ingin aku melamarmu di sini pada Hari Valentine.”
“Aku tidak berani memimpikannya. Hanya saja kita harus memanfaatkan kartu diskonmu, bukan? Lagi pula siapa tahu aku bisa menjadi saksi lamaran pernikahan. Bagaimana? Oke? Kau akan mengajakku ke sini lagi?”
“Oke, aku akan mengajakmu ke sini lagi. Dengan satu syarat.”
“ Apa syaratnya?”
“Aku ingin kau menemaniku ke suatu acara tanggal sepuluh Januari nanti.”
“Acara apa?”
“Reuni SMP-ku. Acaranya tidak berlebihan. Aku harus hadir dan aku sedang tidak ingin pergi sendiri.”
“Aah, aku mengerti. Kalau acaranya ternyata membosanka, setidaknya masih ada aku yang bisa kauajak bicara. Bukankah begitu yang kaupikirkan?”
“Seperti itulah. Bagaimana? Setuju?”
“Setuju.”
“Tanggal sepuluh Januari.”
“Tidak masalah.”
“Kau tidak akan membuat janji lain pada hari itu?”
“Tidak akan.”
“Walaupun si dokter cinta mengajakmu keluar?”
“Dokter cinta siapa?”
“Cinta pertamamu itu.”
“Ooh…. Baiklah.”
“Kalau begitu aku akan mengajakmu ke sini lagi pada Hari Valentine nanti.”
“Kau memang tetangga yang paling baik sedunia.”
“Tentu saja. Sebaiknya kita cepat makan, karena kita harus pergi ke tempat lain setelah ini. Dan kita tidak boleh terlambat.”
“Kita mau ke mana lagi?”
“Itu kejutan”
“Astaga, kita akan pergi ke sini?”
“Ya. Bukankah kau ingi sekali menonton pertunjukan ini?”
“Ya. Tapi, katanya tiket pertunjukannya sudah habis terjual. Bagaimana kau bisa mendapatkannya?”
“Itu… rahasia. Tapi aku berhasil membuatmu terkesan, bukan?”
“Baiklah, kuakui kau berhasil. Kau membuatku terkesan. Aku memang sangat ingin menonton pertunjukan ini.”
“Kita masuk sekarang.”
“Ayo!”
Tidak diragukan lagi, malam ini adalah salah satu malam paling menyenangkan dalam hidup Keiko. Pertunjukan balet Swan Lake yang sangat ingin ditontonnya itu sama sekali tidak mengecewakan. Malah melebihi harapannya.
“Bagaimana pendapatmu?” Tanya Keiko pada Kazuto.
“Dulu aku tidak pernah benar-benar tertarik pada balet. Tapi ternyata pertunjukan yang ini bagus. Sangat bagus, malah. Lihat, salju! Salju pada malam Natal. Bagus sekali, bukan? Aku jadi ingin melakukan sesuatu.”
“Apa?”
“Ice skating”
“Ice skating?”
“Kau bisa?”
“Aku terlahir ahli meluncur di atas es.”
“Ternyata kau memang jago meluncur.”
“Tentu saja. Kau sendiri juga lumayan.”
“Baiklah, kau bisa meluncur. Tapi apakah kau bisa berdansa di atas es?”
“Berdansa di atas es? Aku belum pernah mencobanya.”
“Bagaimana kalau kita mencobanya sekarang? Kau bisa berdansa waltz?”
“Sedikit-sedikit. Kau sungguh mau kita berdansa waltz di sini? Di depan orang-orang ini?”
“Mereka boleh mengikuti kita kalau mau. Nah, pegang tanganku. Posisi waltz.”
“Astaga, jangan sampai kaulepaskan aku. Aku bisa jatuh dan mempermalukan diriku sendiri.”
“Aku tidak akan melepaskanmu. Dan juga aku tidak akan membiarkanmu mempermalukan dirimu sendiri. Tidak di depan orang-orang ini.”
“Terima kasih karena sudah mengantarku. Keretaku akan datang sebentar lagi. Kau tidak perlu menungguku.”
“Tidak apa-apa. Jam berapa kau akan tiba di Kyoto?”
“Dari sini ke Kyoto hanya butuh sekitar dua jam dua puluh menit. Pokoknya hari belum gelap kalau aku tiba di Kyoto. Kenapa?”
“Telepon aku kalau sudah sampai.”
“Oke. Tapi kenapa aku harus meneleponmu?”
“Supaya aku tahu kau sudah tiba dengan selamat.”
“Untuk apa? Aku bukan anak kecil lagi, kau tahu? Lagi pula, bukankah ponselmu sedang diperbaiki?”
“Ah, benar. Kalau begitu, biar aku yang meneleponmu nanti.”
“Oh, aku harus segera pergi.”
“Keiko-chan”
“Ada apa?”
“Keiko-chan, ada yang ingin kutanyakan padamu.”
“Ya?”
“Kau bisa melupakan Kitano Akira?”
“Apa?”
“Kau bisa melupakannya? Dan mulai benar benar… benar benar melihatku? Kau tidak perlu mengatakan apa-apa sekarang. Aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat. Sebenarnya ada hal lain yang ingin ku katakana padamu. Mengenai ingatana masa kecilmu. Tapi akan kuceritakan nati saat kau kembali. Saat kau kembali nanti, aku aka nada di sini.”
Kazuto terlalu sibuk memikirkan masalah ini sampai tidak menyadari keberadaan mobil hitam di belakangnya. Sebenarnya mobil hitam itu sudah mengikutinya sejak Kazuto berangkat dari apartemen tadi siang untuk mengantarkan Keiko ke stasiun. Ketika Kazuto membelokkan mobil ke jalan yang sepi yang merupakan jalan pintas ke apartemen pamannya, mobil hitam yang selama ini menjaga jarak di belakangnya langsung melesat maju melewati mobil Kazuto dan berhenti di depannya.
Ternyata pria yang mengganggu Sato Haruka di tengah jalan malam itu. Kazuto memang sempat meninjunya dan sekarang ia ingin membalas dendam? Kazuto memandang berkeliling, mengamati anak buah pria itu, mempertimbangkan kelemahan situasinya saat itu. Ia tidak yakin bisa mengalahkan lima orang yang bertampang garang itu. Tetapi bagaimanapun juga ia harus mencobanya. Tidak ada jalan lain. Pria itu melambaikan tangannya dan kelima anak buahnya bergerak maju menyerang Kazuto. Kazuto sempat menghindar dari beberapa tinju yang melayang ke arahnya dan sempat meninju rahang beberapa orang pria. Tetapi mereka terlalu banyak dan terlalu ganas. Sementara Kazuto sibuk menghindar, ia tidak menyadari salah satu dari pria itu mengambil tongkat bisbol dari dalam mobil dan menghampirinya dari belakang. Kazuto berputar dan terkejut melihat tongkat bisbol yang diayunkan ke arahnya. Hal terakhir yang terlintas dalam benaknya adalah ia harus menelepon Keiko sore itu. Lalu kepalanya serasa meledak, diikuti percikan cahaya yang menyilaukan, lalu segalanya berubah gelap.
Lalu, apa yang terjadi pada Kazuto setelah ia diserang oleh anggota yakuza? Apakah dia akan selamat? Atau….
Lantas, mengapa Kazuto tidak menelepon Keiko? Sudah lewat seminggu tidak ada kabar dari Kazuto, dan itu membuat Keiko semakin khawatir. Apakah Kazuto baik-baik saja?
Bagaimana permintaan Kazuto pada Keiko untuk menemaninya menghadiri reuni SMP-nya?
No comments:
Post a Comment