Tuesday, January 22, 2013

Sinopsis Nice Guy Episode 14




Maru panik saat melihat tempat tidur Eun Gi kosong. Ia mencoba bertanya pada suster, tapi sia-sia. Ia bertambah panik dan mencari sampai ke luar rumah sakit. Betapa leganya ia menemukan Eun Gi tertidur di bangku taman.
Ia menepuk-nepuk pipi Eun Gi, tapi Eun Gi tak segera bangun, malah meringkuk kedinginan. Buru-buru Maru melepas jasnya dan menyampirkan ke badan Eun Gi. Akhirnya Eun Gi membuka mata, membuat Maru lega.
“Apa yang harus kulakukan kalau kau keluar tanpa memberitahukanku sedikitpun? Apa kau tahu betapa khawatirnya aku?” tanya Maru mengeluarkan perasaannya.
Eun Gi hanya menatap tanpa menjawab, membuat Maru menjadi kesal. Apa Eun Gi tak mendengar apa yang sedang ia katakan?
“Kalau kau terus melakukannya..” Maru menghentikan kata-katanya, sadar kalau ucapannya terlalu keras. Dan kali ini suaranya melembut, “Tidak, maafkan aku. Lebih baik kita ke dalam saja, karena kau akan kedinginan.”
Maru menarik Eun Gi untuk bangkit, tapi Eun Gi malah mendorongnya, “Siapa kau?”
Maru sedikit kaget, tapi ia tetap berusaha meraih pundak Eun Gi. Tapi Eun Gi malah menampar tangannya dan bertanya, “Aku tanya siapa kau?”
Kali ini Maru benar-benar kaget. Apalagi saat Eun Gi berdiri dan membuang jasnya ke tanah, langsung pergi meninggalkannya.
Eun Gi berjalan dan menatap sekitarnya dengan pandangan seperti pertama kalinya ia melewati  tempat itu. Maru mengejarnya dan mencoba menghentikannya. Tapi dengan tajam, Eun Gi menyuruhnya untuk minggir dan lagi-lagi menepis tangan Maru.
Namun kali ini Maru kembali menarik tangan Eun Gi, menyuruhnya untuk tak main-main dengannya. Tapi Eun Gi memang tak main-main. Ia menatap garang pada Maru dan melepaskan tangannya dengan kasar.
Sekretaris Hyun menemui dokter Seo dan dengan panik ia bertanya, apa gerangan yang sedang terjadi pada Eun Gi.
Tanpa menyadari kalau Maru mengikutinya dari belakang, Eun Gi menyusuri jalan dengan pandangan bingung bercampur ketakutan. Tak memakai jaket dan hanya memakai sandal rumah, ia memandangi satu per satu barang yang ia lewati. Pada saat itu terdengar suara dokter Seo yang menjelaskan,
Dokter Seo: “Kadang kala, karena kejutan yang sangat mendadak, pasien akan kehilangan seluruh ingatan setelah kecelakaan. Ini adalah cara pasien untuk melindungi dirinya sendiri dari ketakutan dan luka yang mungkin dialami.”
Sekretaris Hyun : “Apakah itu berarti ada kemungkinan ia tak akan mengenali kami lagi?”
Lampu untuk penyeberang berganti merah, dan Eun Gi berdiri di pinggir jalan. Ia tak menyeberang bukan karena lampu itu merah, tapi karena banyak mobil yang masih melaju kencang di hadapannya. Lampu masih merah, tapi sudah tak ada mobil yang melintas di hadapannya. Jadi ia mulai melangkahkan kaki..
Dokter Seo : “Anggap saja ini adalah ujian kecil untuk menemukan ingatannya kembali. Jika ia mampu melewati ujian ini, maka, seperti kotak pandora, seluruh ingatannya akan keluar semua.”
.. dan ada mobil yang melaju kencang, siap menyambarnya. Eun Gi tak sempat mundur. Tapi tubuhnya ditarik oleh seseorang.
Ia berbalik dan mengerutkan kening, memandang Maru bingung. Kali ini ia tak marah, tapi ragu-ragu. Ia bertanya, “Apa.. kau.. mengenalku?”
Maru menggandeng tangan Eun Gi yang ragu saat memasuki kamarnya sendiri. Ia semakin ragu dan menghentikan langkahnya. Tapi Maru menariknya lembut dan membawanya ke meja belajar.
Ia melihat foto yang ditunjukkan Maru. Foto kencan pertamanya saat mereka ada di Aomori.
Tapi Eun Gi malah membanting foto itu, “Bohong!” Suara bantingan itu membangunkan Choco yang sudah tertidur. Tapi ia tak peduli.
Ia menatap Maru dan berkata lebih keras lagi kalau semuanya ini bohong. Ia mulai melempar isi mejanya, menjatuhkan lampu belajar hingga Choco kaget dan ketakutan. 
Buru-buru Maru menahan Eun Gi dan menenangkannya. Tapi Eun Gi tak mau dan malah meronta-ronta, hingga Maru harus memeluknya. Tapi Eun Gi masih meronta-ronta dan menjerit, “Bohong! Semuanya bohong!”
Choco semakin ketakutan melihat Eun Gi yang tantrum seperti itu. Masih memeluk Eun Gi, Maru menyuruh Choco untuk segera turun ke bawah sekarang. Teriakan histeris Eun Gi semakin mejadi-jadi semakin memberontak.
Tapi Maru tak mau melepaskan Eun Gi. Ia membiarkan Eun Gi menjerit-jerit, tapi ia tetap mendekap Eun Gi erat, hingga akhirnya Eun Gi kelelahan dan pingsan. 
Eun Gi lemas dan hampir terjatuh, namun Maru menahannya dan ia duduk sambil masih memeluk Eun Gi. Ia mengamati Eun Gi yang bernafas teratur, yang berarti gadis malang itu tidak pingsan, tapi tertidur.
Di bawah, Jae Gil menenangkan Choco yang menangis karena takut setengah mati melihat sikap Eun Gi tadi. Jae Gil curiga bagaimana semua ini dapat terjadi, karena sebelumnya Eun Gi baik-baik saja.
Jae Hee minum anggur (lagi?) di rumahnya. Ia teringat kata-kata Min Young yang berniat mencopot Eun Gi sebagai pewaris Taesan. Namun ia tak terlihat gembira.
Ia malah teringat tatapan Maru yang mendorongnya dan mengusirnya dari rumah saat Eun Gi pingsan. Ia mendesah, seolah tak percaya mendapat perlakuan seperti itu.
Pagi datang. Choco tertidur di sofa tempat Jae Gil biasanya tidur, dan Jae Gil tidur di lantai, menemani Choco. Sementara Maru tidur dengan posisi yang sama dengan malam sebelumnya, memangku dan memeluk Eun Gi.
Saat Maru mencuci muka, Jae Gil memberitahukan tentang kedatangan Jae Hee. Ia sudah melarang Jae Hee masuk dan menyuruh Choco untuk berjaga di depan.
Choco berdiri di teras rumah dengan cemberut. Tak merasa terusik dengan sambutan Choco, Jae Hee mengeluarkan senyum andalannya dan malah memuji Choco yang sekarang sudah besar padahal dulu saat mereka bertemu, Choco masih bayi. Choco tak terpengaruh. Dengan ketus ia melarang Jae Hee untuk masuk ke rumah.
Jae Hee mencoba membujuk Choco mengatakan kalau dia tidaklah jahat. Tentu saja Choco hanya tertawa sinis, “Kalau kau bukan orang jahat, apa semua orang jahat di dunia ini sudah mati? Dasar pengkhianat.”
Jae Hee tak marah dikatai sepert itu. Ia malah bertanya apakah ia masih dianggap pengkhianat?
Astaga.. menurut elo?
Tentu saja Choco membeberkan semua kesalahan Jae Hee, dari meninggalkan kakaknya hingga menikahi seorang chaebol. “Semua keinginannmu sudah tercapai. Kau pasti sangat bahagia sekarang.”
Jae Hee termangu mendengar pernyataan Choco. Ia seperti berkata pada diri sendiri, “Kupikir jika semua keinginanku terpenuhi, aku akan bahagia. Tapi..”
Maru keluar dan Jae Hee menatap pria itu, “..Ternyata aku tak sebahagia yang kupikirkan. Kurasa aku merasakan hal ini karena kakakmu tak ada di sampingku.”
Choco tak bersimpati dengan Jae Hee, malah mengatainya ‘Heol’ (Whor*?). Maru menyuruh Choco untuk masuk, dan Choco meminta Maru untuk tak berlama-lama di depan rumah, “Kak, dia sudah bukan orang yang kita kenal. Sekarang ia sudah menjadi tante-tante yang aneh.”
Setelah Choco masuk, Maru langsung mendorong Jae Hee ke tembok. Bukankah Maru sudah menyuruh Jae Hee untuk pergi?
Walau terkejut, Jae Hee mencoba untuk tak panik dan berkata kalau bagaimanapun juga ia adalah ibu Eun Gi. Ia berhak menemui putrinya.
“Apa yang kau katakan pada Eun Gi?” tanya Maru geram. “Apa yang kau katakan padanya hingga ia pingsan!”
“Aku menceritakan tentangmu. Bukan sesuatu yang baru,” Jae Hee menepis tangan Maru yang mencengkeram lengannya. Seharusnya ia yang bertanya pada Maru, bukan Maru yang bertanya padanya. “Aku tak tahu apa yang menakutkan dari ceritaku hingga ia pingsan.” 
Tak menghiraukan kalau Jae Hee adalah seorang wanita, Maru mendorong Jae Hee ke tembok dan kali ini mencengkeram kerah bajunya dan mengancam, “Jika kau membuat ulah lagi pada Eun Gi, kau akan melihat apa yang Kang Maru mampu lakukan," ia mendorong Jae Hee sekali lagi, “dan sampai sejauh mana aku akan melakukannya.”
“Cinta itu bukan hanya tentang kesetiaan. Juga bukan rasa kasihan. Hanya karena kau ingin semuanya kembali normal, bukan berarti kau harus mencintainya. Cinta adalah..,” dengan lebih lembut Jae Hee berkata, “adalah apa yang kau berikan padaku. Itu adalah cinta, kan?”                                                                   
Maru tertegun dan melepaskan cengkeramannya. Jae Hee mengakui kalau ia menyesal telah meninggalkan cinta itu. Dan karena alasan itulah yang membuat ia ada di sini. Tak peduli apa yang telah terjadi, ia ingin mendapatkannya kembali, “Itulah yang dinamakan cinta.”
“Kita bertemu kembali dengan kau menjadi tunangan Eun Gi. Aku tak tahu apa yang membuatmu kembali, dan tapi jujur aku tak membencinya. Aku malah senang, karena aku bertemu kembali denganmu. Tanpamu, dunia terasa membosankan.”
Jae Hee tersenyum dan berkata kalau ia akan pergi sekarang dan mereka pasti akan bertemu lagi. Masih tetap tersenyum, Jae Hee meninggalkan Maru yang termangu.
Di mobil, Jae Hee mendapat telepon dari Min Young yang memberitahukan kalau ia telah mendapatkan hasil MRI dan CT Scan milik Eun Gi. Dan ia juga tahu kalau sampai sekarang Eun Gi masih menerima perawatan dari ahli syaraf, dr. Seo Min Hyuk.
Karena itu, Min Young merencanakan untuk mengajukan gugatan untuk mencopot Eun Gi dari ahli waris Taesan dengan alasan ketidakmampuan mental.
Setelah menutup telepon, Jae Hee berkata pada dirinya sendiri, “Jangan khawatir, Eun Gi. Aku akan menjagamu sampai kau meninggal nanti. Aku tak akan mengusirmu tanpa uang sepeserpun, seperti yang dilakukannya. Selama kau tahu diri, selama kau tetap bodoh, cantik dan baik seperti sekarang ini.. aku tak akan membencimu.
Kenapa aku harus membencimu? Karena Maru dan aku, hidupmu menjadi hancur. Kaulah korban yang paling utama. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf.”
Eun Gi telah bangun. Namun ia tak mempedulikan Maru yang mengajaknya turun karena Choco telah memasak sup untuk mereka. Melihat Eun Gi hanya diam dan tak sudi melihatnya, Maru menyodorkan jus tomat yang dibawanya untuk diminum lebih dulu.
Tanpa sepatah katapun, Eun Gi menampar gelas itu. Menanggapi itu, Maru hanya berkata kalau ia akan membawakannya lagi.
Jae Gil dan Choco hanya bisa melihat Maru kembali membuat jus tomat untuk yang kedua kalinya. Jae Gil menatap Maru khawatir, apakah Eun Gi baik-baik saja? Maru hanya meng-hmmm.. dan tersenyum tipis, untuk kemudian naik ke atas lagi.
Jus tomat kedua pun ditampar Eun Gi hingga jatuh ke lantai. Lagi-lagi Maru berkata kalau ia akan membawakannya lagi, “Mungkin kau tak suka jus tomat. Apa kau mau susu?”
Tak ada jawaban. Eun Gi tetap memalingkan muka.
Jae Gil dan Choco menyarankan agar Maru membiarkan Eun Gi. Jika Eun Gi lapar, pasti Eun Gi mau makan. Tapi Maru tak menjawab, hanya tersenyum dan naik ke atas lagi.
Jae Gil dan Choco yang khawatir, berteriak dari bawah, meminta Eun Gi untuk tidak marah pada Maru dan segera minum.
Tapi Eun Gi tetap tak mau minum dan menampar gelas, walau kali ini keluar kata-kata dari mulut Eun Gi, dan tetap pedas, “Hentikan! Aku tak mau makan!”
Maru tetap menyiapkan gelas yang kesekian kalinya. Tak nampak kemarahan atau kekesalan di wajah Maru, malah Choco yang kesal dengan sikap Eun Gi.” Menyebalkan. Apa dia pikir hanya dia saja yang mengalami saat-saat sulit? Kakakku juga. Aku harus berbicara langsung padanya.”
Jae Gil menarik tangan Choco, menahannya untuk ikut campur urusan ini.
Sambil tetap tersenyum, Maru menyodorkan gelas susu itu pada Eun Gi. Eun Gi menatap marah pada Maru, “Apakah kau tak mendengar kata-kataku? Aku bilang, aku tak mau makan!”
“Apa yang akan kau lakukan jika kau tak makan?” tanya Maru sabar. “Kau harus makan dan tetap hidup.”
Kali ini Eun Gi mengambil gelas itu, namun dengan sengaja ia membantingkan gelas itu hingga pecah berkeping-keping. Melihat tindakan itu, Maru hanya diam dan tetap sabar.
Tapi Choco yang menguping di bawah tanggalah yang tak sabar lagi karena menurutnya sekarang Eun Gi sudah keterlaluan. Ia mulai naik tangga untuk berbicara pada Eun Gi, tapi tubuhnya ditarik Jae Gil yang mengajaknya untuk nonton film di bioskop saja. Choco tak dapat melepaskan diri karena Jae Gil mengangkatnya dan membawanya keluar.
Pada Eun Gi, Maru berkata kalau ia akan mencobanya lagi. Masih ada botol susu di lemari es, juga tomat. Jika habis, ada 3 toko di daerah mereka.  Ia juga punya banyak waktu karena ia sementara tak bekerja di Taesan. 
Namun Eun Gi tetap keras kepala. Gelas yang berkikutnya pun juga dibantingnya hingga pecah lagi. Maru berdiri untuk mengambil susu lagi. 
Tapi kali ini Eun Gi menahan ujung celananya dengan tangannya yang berdarah. Rupanya pecahan kaca mengenai tangannya.
Maru mengambil obat dan menaruh salep betadine ke luka Eun Gi. Eun Gi menerima perawatan itu tapi tetap memalingkan muka.
Maru berkata kalau ia senang melihat Eun Gi marah dan memecahkan barang seperti ini. Sangatlah  wajar jika Eun Gi sangat marah.Maru malah khawatir melihat Eun Gi selalu tampak bahagia dan ceria, karena mungkin sebenarnya di dalam hatinya, Eun Gi sangat terluka, “Jika memungkinkan, aku ingin melihatmu menjerit dan menangis.”
Eun Gi diam tapi terlihat kalau ia mendengarkannya. Dan kali ini ia melihat Maru yang meniup luka ditangannya agar lekas kering.
Maru bertanya apa yang diceritakan Jae Hee padanya. Apakah Eun Gi terluka karenanya? Apakah Eun Gi terluka karena kenangan bersamanya sehingga menyembunyikan kenangan itu?
“Jika kau terluka karenanya, janganlah disembunyikan tapi keluarkanlah semuanya. Berhenti melukai dirimu sendiri, dan lukailah aku,” Maru meraih tangan Eun Gi dan menusukkannya ke dadanya. “Kau harus hidup dengan baik agar aku bisa pergi. Kau harus bangkit sepenuhnya, agar aku bisa lenyap dari hadapanmu tanpa rasa khawatir.”
Maru berdiri dan berkata kalau ia akan mengambil susu lagi dan meninggalkan Eun Gi yang tetap diam.
Saat Maru naik atas, ia melihat Eun Gi meringkuk dan menangis memilukan. Kali ini ia membiarkan Eun Gi menangis untuk mengeluarkan seluruh perasaannya.
Ia meletakkan gelas susu di meja dengan pelan dan turun dengan gontai. 
Namun sakit kepala yang hebat tiba-tiba menyerangnya lagi.
Eun Gi terus menangis sambil memegangi dadanya. Tangisannya semakin keras untuk menekan rasa sakit hati yang terasa di dadanya.
Maru mendengar tangisan Eun Gi, tapi ia sekarang berada di kamar mandi dan muntah karena sakit kepalanya yang tak tertahankan. Maru menekan matanya untuk mengurangi rasa sakit yang menyiksa kepalanya, tapi sia-sia.
Sakit kepala itu terasa sangat menyakitkan. Ia tetap muntah dan muntah. ia pun menangis.
Entah yang mana yang lebih menyiksa. Sakit di kepalanya atau dalam hatinya. Ia menahan nafas agar isakannya tak keluar, tapi sia-sia.
Wajahnya semakin memucat dan ia hanya bisa menyandarkan diri di sana.
Saat malam, Eun Gi sudah tenang. Ia berbaring di tempat tidur dan gelas susu telah kosong.
Maru tetap bersandar di kegelapan.
Keesokan harinya, Eun Gi turun tangga dan menyapa Maru seolah tak terjadi apapun kemarin malam. Ia telah kembali menjadi Eun Gi setelah kecelakaan. Eun Gi yang manis.
Maru sepertinya tak kaget akan hal ini. Eun Gi bercerita kalau semalam ia tidur nyenyak sekali dan bermimpi sangat panjang. Namun dalam mimpinya itu, Maru sangatlah berbeda dengan Maru yang sekarang. Maru yang dimimpi itu menipunya, melukainya, terlalu percaya diri. Benar-benar pria jahat.
Maru, yang sedang mengoles selai di roti, terdiam sejenak namun kemudian bertanya, bagaimana jika saat ingatan Eun Gi kembali dan menyadari kalau ia adalah pria yang seperti di mimpi itu? 
“Hmmh?” tanya Eun Gi kaget.
Maru membalikkan badan dan meletakkan piring roti untuk sarapan mereka, “Apa yang akan kau lakukan jika aku adalah pria jahat yang seperti dalam mimpimu?”

Eun Gi terdiam menatap Maru yang tersenyum padanya. Dan kemudian ia menjawab, “Aku tak akan memaafkannya. Karena aku telah memilihnya dan demi dia aku mengabaikan ayahku.”
Di luar dugaan, Maru malah tertawa kecil, membuat Eun Gi bingung. Mengapa Maru malah tertawa?
“Karena aku lega,” kata Maru masih tetap tersenyum. “Kau harus ingat untuk melakukannya, ya. Jangan lupa, jangan ragu dan jangan pernah lepaskan pikiran itu. Kau harus melakukannya, Seo Eun Gi.”

Joon Ha menemui Eun Gi di café dan bertanya tentang apa yang dikatakan oleh Jae Hee sehingga Eun Gi pingsan. Eun Gi menggeleng, ia ingat kalau Jae Hee datang dan berbicara padanya. Tapi ia tak ingat apa pembicaraan mereka.


Joon Ha mendengar kalau ingatan Eun Gi sudah kembali. Tapi Eun Gi membantah. Ia hanya ingat kepingan-kepingan ingatan yang acak. Ia juga ingat kalau Joon Ha pernah memberitahunya kalau Maru mendekatinya untuk membalas dendam pada seseorang.


Tapi ia tak ingat siapakah orang itu. “Aku hanya ingat kalau Maru sangat dekat dengan orang itu dan karena orang itulah ia mendekatiku. Kau sendiri yang mengatakannya.”



 “Aku mengatakannya?” tanya Joon Ha ragu.

Eun Gi mengangguk yakin dan bertanya siapa orang itu? Seperti apakah Kang Maru yang sebenarnya?


Joon Ha hanya diam menatap Eun Gi yang meminta penjelasan Eun Gi. Tak satupun kata keluar dari mulutnya. 

“Apakah kau tahu sisi lain dari Kang Maru yang tak aku ketahui?”

 


Maru kembali bekerja ke kantor. Ia ditelepon Jae Hee untuk menemuinya. Jae Hee mengakui kalau ia kekanak-kanakkan dengan menjebak Maru sebagai mata-mata perusahaan lain. Untuk itu ia minta maaf dan mengulurkan tangannya, “ Mari kita mulai segala sesuatunya dari awal lagi.”


Maru tak menyambut tangan Jae Hee malah tersenyum sinis, “Apa yang akan terjadi kalau aku tak mau memaafkanmu?”
Yang patut dikagumi dari Jae Hee adalah mimik wajahnya. Ia nampak tertekan mendengar penolakan Maru dan bertanya “Haruskah aku berlutut kepadamu? Aku dapat berlutut. Di hadapanmu aku dapat berlutut seribu bahkan sepuluh ribu kali.”
Maru hanya menatap Jae Hee. Sambil menitikkan air mata, Jae Hee merendahkan tubuhnya untuk berlutut, tapi Maru mencegahnya. Tak tega Jae Hee berlutut padanya?
Tidak.
“Menjijikkan,” kata Maru sambil menatap Jae Hee muak. “Rasanya aku mau muntah.”
Ia kemudian mendorong Jae Hee. Tanpa menoleh lagi, ia langsung pergi meninggalkan  Jae Hee yang tertegun dan menangis.
Joon Ha bertanya lagi, apakah Eun Gi yakin apa yang ia ingat? Eun Gi yakin. Tapi Joon Ha tetap bertanya lagi dan lagi, “Bukan orang lain? Kau tak sedang bermimpi, kan? Apakah kau yakin tak sedang mengarang ingatan itu?”
Eun Gi menjadi bingung. Apalagi ketika Joon Ha menjawab, “Aku tak pernah mengatakan hal itu padamu. Bahkan ini pertama kali aku mendengarnya.”
“Benarkah?” tanya Eun Gi ragu.
Dengan nada yakin, Joon Ha mengatakan kalau ia pernah mendengar jika sebagian orang di dunia ini menipu diri sendiri dengan menciptakan kenangan palsu. 30% kenangan mereka adalah ingatan yang terlupakan dan dikarang.
Eun Gi sedikit ragu, tapi ia percaya kata-kata Joon Ha. Mungkin ingatannya yang keliru. Walau begitu ia bertekad untuk mendapatkan kembali ingatan-ingatan itu. Ia juga tak akan sembunyi dan ketakutan. Ia akan melakukan apapun yang dapat mengembalikan ingatannya.
Min Young memberikan laporan tentang kesiapan dokumen yang diperlukan untuk menurunkan Eun Gi. Yang dibutuhkan oleh mereka sekarang adalah bukti ketidakmampuan untuk menjalankan perusahaan, walau itu tak mudah.
Min Young menduga, selama Eun Gi masih sakit, ia akan tetap bersembunyi di belakang Maru. Jae Hee tersenyum mendengarnya. Ia mengusulkan untuk memisahkan mereka berdua.
“Dan kita ambil Kang Maru,” kata Jae Hee,  membuat Min Young langsung menoleh mendengar usul itu. Tapi Jae Hee tak tahu, karena ia asyik dengan pikirannya sendiri, “Dia terlalu berharga untuk diberikan pada orang lain. Aku ingin dia. Aku menginginkan semua darinya.”
Terdengar ketukan di pintu, dan betapa kagetnya Jae Hee dan Min Young melihat Eun Gi yang katanya bersembunyi di belakang Maru, berjalan masuk ke dalam ruangan.
Mereka semakin kaget mendengar kedatangannya Eun Gi ke kantor kali ini adalah untuk mulai bekerja.
“Aku merasa seperti dikecilkan karena penyakitku. Bagaimanapun juga, ini adalah perusahaanku dan karyawanku,” ujar Eun Gi sambil tersenyum. “Mungkin penyembuhanku akan sejalan jika aku bekerja di sini dan berinteraksi dengan mereka.”
Eun Gi menunduk hormat dan meninggalkan ruangan. Jae Hee shock dan terlihat marah.
Haha.. Atta girl. Walaupun ingatan Eun Gi belum kembali, tapi sifatnya sudah kembali menjadi Eun Gi yang lama.  Eun Gi yang berani dan cenderung nekad.
Maru bahkan terkejut melihat keberanian Eun Gi. Apakah Eun Gi serius? Tapi Eun Gi memang sudah berniat, “Di sinilah tempatku. Di sini adalah tempat aku ingin memulai untuk menggali ingatanku.”
Maru diam dan terlihat kecewa mendengar alasan Eun Gi.
Jae Hee ternyata juga serius dan bergerak cepat. Melalui telepon, ia langsung memberikan tugas, yaitu proyek perusahaan kosmetik Tak Yang yang belum selesai ditangani Eun Gi tahun lalu.
Ia tahu kalau Eun Gi cukup dekat dengan CEO Min dan memintanya untuk menemui Presdir Min. Orang yang menangani kontrak ini sedang berhalangan dan banyak yang mengincar proyek ini, sehingga mereka harus cepat. Kebetulan pertemuan itu adalah hari ini.
Kebetulan Maru masuk ruangan dan ia langsung menyadari ada masalah saat melihat betapa paniknya wajah Eun Gi dan Sekretaris Hyun.
Sekretaris Hyun memiliki sedikit informasi tentang Presdir Min. Ia  sangat menyukai Eun Gi, bahkan ingin menjadikan Eun Gi sebagai menantunya. Tapi Eun Gi benar-benar tak mengingat Presdir itu sama sekali. Sekretaris Hyun tahu kalau saat itu Eun Gi menangani proyek ini bersama Sekretaris Kim. Maka ia pun pergi untuk mencari tahu informasi tentang Presdir Min.
Maru meminta Eun Gi untuk tak memaksa diri. Lebih baik ia mundur saja dan beralasan kalau ia sedang berhalangan hadir.
Tapi Eun Gi tak mau. Ia bertekad untuk menyelesaikannya, “Aku tak mau mengatakan 'aku tak bisa'. Aku tak mau lagi. Aku percaya dapat menghafal semuanya. Bagaimana orang itu, bagaimana keluarganya, apa hobinya.. Aku tinggal menghafalkannya, kan?”
Di dalam mobil, Eun Gi sibuk komat-kamit menghafalkan informasi yang diberikan Sekretaris Hyun. Sekretaris Hyun mengatakan kalau tahun lalu anak Presdir Min telah menikah dan ia sekarang sangat bahagia karena cucu laki-lakinya telah lahir. Sekretaris Hyun menyarankan agar Eun Gi membuka percakapan dengan hal yang menggembirakan ini.
Tapi Maru yang mengantarkan Eun Gi yang khawatir. Saat mengantarkan Eun gi ke depan pintu ruangan meeting, ia mengusulkan untuk menemaini Eun Gi ke dalam. Tapi Eun Gi menolak dan menenangkan Maru. Dengan percaya diri, ia masuk ke dalam ruangan.
Di dalam Eun Gi berbasa-basi dengan mengatakan kalau terakhir kali mereka bertemu adalah tahun lalu saat ulang tahun Presdir Min. Saat itu ia sedang bersama almarhum ayahnya.
Presdir Min tersenyum ragu. Ia mengatakan kalau yang dikatakan Eun Gi mungkin terjadi karena ia sekarang sudah gampang lupa. 
Eun Gi menambahkan kalau ia juga mendengar berita tentang putranya. Presdir Min hanya berdehem tak nyaman walau ia tetap tersenyum kecil. 
Jae Hee menandatangani semua dokumen di mejanya dengan senyum gembira. Tapi tidak dengan Min Young.
Ia bertanya apakah sekarang Eun Gi menemui Presdir Nam, dan bukannya Presdir Min? Apa yang membuat Jae Hee melakukan hal itu? Bagaimana jika Eun Gi gagal sehingga Presdir Nam menarik investasinya?
Senyum puas terpancar di wajah Jae Hee. Memang itulah yang ia inginkan. Semakin besar kesalahan Eun Gi, semakin dalam pula kesan yang akan diterima oleh para direksi.
Dan rencana  Jae Hee sudah mulai berjalan. Sambil menuangkan minum dan menyajikan makanan, Eun Gi mengatakan kalau rasanya baru kemarin ia mendengar tentang pernikahan putra Presdir Min. Ternyata sekarang Presdir Min sudah memiliki cucu. Ia memuji Presdir Nim yang mendapat anugerah begitu besar.
“Apa kau sedang mabuk?” tanya Presdir Nam tajam, dan saat itu juga senyum Eun Gi lenyap. “Beraninya kau datang kemari sambil mabuk! Dasar gadis tak tahu diri. Apa yang kau bilang tentang anakku?”
Maru berlari menuju ruang meeting Eun Gi. Ternyata tinggal Eun Gi sendiri yang duduk terpekur.
Dengan lesu ia berkata kalau orang yang ada di depannya ternyata bukanlah Presdir Min dari perusahaan kosmetik Tae Han, tapi Presdir Nim dari perusahaan Moh Sung Chemical, “Putranya baru saja meninggal karena kecelakaan 5 bulan yang lalu. Dan pada orang tua yang baru saja kehilangan putranya, aku..”
Eun Gi tak bisa melanjutkan kata-katanya, dan ia meraih botol soju. Maru mengambil botol itu, tapi ia pun juga tak bisa berkata apapun.
Ada telepon dari Jae Hee yang langsung menghardik Eun Gi, “Apa yang baru saja kau lakukan? Apa kau kembali ke Taesan hanya untuk menghancurkannya? Karena kau tak dapat mempercayai Han Jae Hee sebagai Presiden Direktur?”
Eun Gi terpana mendengar semua tuduhan Jae Hee. Apalagi Jae Hee mengungkit semua kesalahannya dan membuat Presdir Nam menarik semua investasinya, “Bagaimana caramu mempertanggungjawabkan hal ini?!”
Semua teriakan dan jeritan Jae Hee hanya dapat Eun Gi dengar dari telepon. Ia tak melihat bagaimana wajah Jae Hee yang puas saat ia menghardik Eun Gi. Tapi Min Young melihatnya.
Sambil menahan tangis yang hampir tak terbendung, Eun Gi membela diri kalau Jae Hee telah memberikan informasi yang salah padanya.
Tapi belum sempat ia membela diri sepenuhnya, Maru telah mengambil handphone dan menutupnya sambil berkata, “Kurasa kita telah terjebak, Seo Eun Gi.”
Dan memang benar. Min Young memberitahukan kalau sekarang gosip kegagalan Eun Gi pasti sudah menyebar luas. Min Young menyarankan agar Jae Hee mengungkapkan hal ini di rapat direksi berikutnya dan ia akan menyiapkan dokumen pendukungnya. 
Jae Hee tersenyum meremehkan. Ia tak menyangka kalau mereka dapat mengakhiri dengan sangat mudah, “Rasanya mengasyikkan jika prosesnya tak mudah. Kalau sekarang, rasanya tak mengasyikkan.”
Malamnya, ditemani kaleng soju, Eun Gi mengeluarkan perasaannya. Ia merasa malu dan menyadari kalau seharusnya ia mendengarkan kata-kata Maru. Ia sudah berusaha tapi ternyata ia tak mampu berdiri tanpa bantuan orang lain. “Sebenarnya apa yang bisa aku lakukan?”
“Janganlah kecewa. Lain kali akan lebih baik,” hibur Maru tapi Eun Gi malah menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau pasti akan memperoleh semua ingatanmu. Lagipula kenapa kau sangat terburu-buru menginginkan ingatanmu kembali??
“Karena aku ingin mengingatmu,” kata Eun Gi. “Aku ingin mengingat Maru, yang sangat mengenalku dan mencintaiku.”
Kegagalan ini benar-benar membuat Eun Gi putus asa dan menangis. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Seharusnya ia tak kembali ke perusahaan. “Sudahlah, sekarang saatnya untuk menyerah. Kita menyerah saja sekarang.”
Maru membawa Eun Gi yang tertidur ke kamar dan menyelimutinya.
Keesokan harinya, Maru membuka selimut Eun Gi dan menyuruhnya pergi ke suatu tempat. Ia harus mengakhiri sesuatu yang sudah ia mulai. Tapi Eun Gi tak mau dan menarik selimutnya lagi.
Maru kembali menarik selimutnya dan tak mengijinkan Eun Gi untuk menyerah. Eun Gi tak boleh menyerah sampai ingatannya kembali dan berhasil mengambil Taesan lagi. Jika saat itu Eun Gi masih tetap tak menginginkan Taesan, ia boleh melepaskan Taesan.
Tapi Eun Gi tetap tak bisa melakukannya. Bukankah Maru sudah melihat apa yang ia lakukan kemarin, “Apakah kau tak melihatnya? Aku tak dapat melakukannya,” jawab Eun Gi menggelengkan kepalanya.
“Kau dapat melakukannya,” kata Maru yakin, membuat Eun Gi menoleh padanya, kaget akan keyakinannya. “Aku adalah buktinya.”
Dan yang dilakukan Maru adalah mengantarkan Eun Gi ke depan rumah Presdir Nam dan menurunkannya. Tanpa pesan dan tanpa saran apapun, Maru meninggalkan Eun Gi sendiri.
Eun Gi bengong akan sikap Maru. Belum sempat ia protes, mobil Maru sudah pergi dan Presdir Nam keluar gerbang. Eun Gi buru-buru menunduk hormat.
Tapi Presdir Nam hanya menatap ketus pada Eun Gi, dan langsung masuk mobilnya.
Eun Gi hanya bisa berdiri, tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Di kantor, Joon Ha memberitahu Maru kalau pihak Jae Hee sudah mendapatkan bukti CT Scan dan MRI milik Eun Gi. Mereka sudah mengetahui kondisi kesehatan Eun Gi yang sebenarnya, maka dari itu mereka menguji Eun Gi seperti kemarin. Tujuannya hanya satu, yaitu mencabut hak Eun Gi untuk memiliki perusahaan.
Betapa Joon Ha sekarang mempercayai dan mengandalkan Maru, karena ia bertanya padanya, “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” 
Sudah malam dan Eun Gi masih tetap berdiri di tempatnya berdiri tadi pagi. Tapi rasa dingin sudah mulai menusuk. Kedua tangannya saling menggenggam, untuk sedikit mendapatkan rasa hangat di cuaca yang sudah mulai dingin.
Presiden Nam datang dan terkejut karena melihat Eun Gi masih ada. Tapi ia tak menghiraukannya, langsung masuk ke dalam rumah.
Dari jauh, Maru melihat Eun Gi dengan iba.
Jae Hee pulang ke rumah dengan mood yang sangat bagus. Ia langsung memeluk Eun Suk yang menyambutnya di di ruang tengah dan ingin memberi Eun Suk hadiah. Apa yang diinginkan oleh Eun Suk?
“Eun Gi noona,” jawab Eun Suk dengan berbinar-binar. “Aku ingin Eun Gi noona.”
Senyum Jae Hee hilang. Dengan sabar, ia meminta Eun Suk menyebutkan hal lain selain Eun Gi. Eun Suk bertanya mengapa Eun Gi tak pulang ke rumah? Jae Hee tak menjawab, hanya meminta Eun Suk meminta hal yang lain.
“Es krim dan Eun Gi nonna,” jawab Eun Suk keras kepala.
Ha. I love this kid. Eun Suk benar-benar adik Eun Gi. Sama-sama keras kepala.
“Apa kau tak mau yang lain selain Eun Gi noona?” tanya Jae Hee. Nadanya mulai tinggi, “Di dunia ini banyak barang mahal dan mewah, tapi yang kau pikirkan hanyalah Eun Gi noona? Mobil-mobilan, robot, baju, aku tadi sudah bilang kalau aku akan membelikanmu apapun, aku akan melakukan segalanya. Tapi hanya itu yang bisa kau pikirkan?”
Tentu saja Eun Suk langsung menangis dibentak ibunya seperti itu. Jae Hee kaget karena sepertinya baru pertama kali ia membentak Eun Suk seperti itu.
Bibi pembantu langsung datang dan dan Jae Hee menyuruhnya untuk membawa Eun Suk pergi. Tapi ia masih mendengar kata-kata Eun Suk sebelum ia pergi, “Aku benci ibu. Aku benci ibu!”
Akhirnya Presiden Nam keluar. Tapi ia keluar rumah untuk menyuruh Eun Gi untuk pulang saja. Ia pun beranjak masuk ke dalam.
“Saya memiliki alasan. Saya mengalami amnesia,” kata Eun Gi tiba-tiba, menghentikan langkah Presdir Nam. “Itulah sebabnya saya memilih cara aman dengan berpura-pura mengenal Anda. Karena saya hanya berpikir untuk melindungi Taesan, maka saya menipu dan membawa-bawa nama putra Anda hingga Anda terluka karena saya.”
Eun Gi meminta Presdir Nam untuk memarahinya sampai Presdir Nam tak marah lagi. Yang Eun Gi ingin lakukan adalah meminta maaf.
Presdir Nam keluar gerbang lagi dan bertanya apakah Eun Gi kehilangan ingatannya? Eun Gi menjelaskan kalau ia tak hanya hilang ingatan, tapi otaknya juga rusak. Presdir Nam bertanya bagaimana mungkin ia mau mempercayakan investasinya pada orang yang rusak otaknya?
“Saya tak meminta Anda untuk berinvestasi kembali. Saya melakukan ini untuk menarik kembali semua rasa sakit akibat perbuatan saya.”
Presdir Nam mengkritik Eun Gi yang membocorkan rahasia pribadinya karena dapat membahakan karirnya di dunia bisnis. Tapi Eun Gi percaya kalau ia akan sembuh. Presdir Nam bertanya lagi, “Bagaimana kalau aku menyebarkan berita tentang penyakitmu? Apa yang akan kau lakukan?”
“Saya datang kemari, mempertaruhkan segalanya. Jika Anda menyebarkan berita itu, saya tak dapat berbuat apa-apa,” Eun Gi menunduk dan berkata, “karena saya bersalah pada Anda.”
Eun Gi pun membungkuk untuk minta maaf. Tapi Presdir Nam tak menjawab apapun, malah berbalik masuk rumah.
Eun Gi duduk di tempat tidurnya dan sepertinya hatinya sudah tenang kembali karena telah meminta maaf.
Min Young melaporkan kalau semua dokumen untuk mencopot Eun Gi telah siap dan secepatnya rapat direksi akan diadakan. Jae Hee tersenyum mendengar laporan Min Young, apalagi dia ada telepon dari Presdir Nam.
Jae Hee langsung meminta maaf pada Presdir Nam. Ia tak tahu harus berkata apa atas tindakan yang dilakukan Eun Gi kemarin. Seharusnya ia tak mengirim Eun Gi yang tak berpengalaman dan masih harus banyak belajar.
Tapi Presdir Nam menyela kalau ia ingin bertemu dengan Eun Gi lagi. Jae Hee sangat kaget mendengarnya. Apalagi saat Presdir Nam mengatakan kalau ia bersedia berinvestasi di proyek Jeju, asal Eun Gi yang menjadi penanggung jawabnya.
Jae Hee mencoba mengungkit kejadian kemarin yang tak menyenangkan. Tapi Presdir Nam malah tak ingat kalau ada kejadian yang tak menyenangkan. “Almarhum Presdir Seo benar-benar membesarkan putrinya dengan sangat baik. Aku ingin mulai kerjasama ini dengan Direktur Seo, orang memiliki kedekatan emosi denganku.”
Hahay.. Sekarang Jae Hee pasti merasa kepalanya seperti terkena bumerang.

Tapi kegagalan rencana ini, tak membuat Jae Hee mundur. Ia meminta Min Young untuk tetap mengadakan rapat direksi dan membuka semua dokumen Eun Gi. 
Di rapat direksi, Jae Hee berkata kalau ia ingin membicarakan tentang posisi Direktur Seo Eun Gi. Mendengar kata-kata Jae Hee, Eun Gi menatapnya tegar.
Jae Hee sudah hendak membeberkan semua rahasia Eun Gi. Tapi ada salah satu sekretaris masuk dan memberikan memo untuknya. Ia terkejut saat membaca memo itu, “Mari kita bicarakan rencana lamamu untuk membunuh Seo Eun Gi. Sekarang.”
Tentu saja kita tahu dari siapa memo itu, bukan? Dan entah mengapa, saya sangat senang melihat si pengirim memo itu kembali setelah ia tak muncul di episode 13. 
Jae Hee langsung meminta diri untuk keluar sebentar. Dan betapa kagetnya ia melihat Maru sedang bercakap-cakap dengan kakaknya dengan gembira. Jae Shik malah menepuk-nepuk pundak Maru dengan akrab.
Melihat Jae Hee, Jae Shik langsung menghampiri dan menyapa adiknya. Ia berkata kalau ia telah menceritakan semuanya pada Maru. Tentang bagaimana Jae Hee menyuruhnya untuk melenyapkan Eun Gi.
Dan ia melemparkan bom, “Kata Maru, kalau aku mau masuk ke ruang meeting dan menceritakan semua perintahmu, Maru akan mencukupi seluruh kehidupanku.”
Jae Hee menoleh pada Maru yang tersenyum padanya. Alasan Jae Shik mau membantu Maru? Sederhana. Maru selalu menepati janjinya, tak seperti Jae Hee.
Sedikit mengejek Maru, Jae Shik berkata kalau gaya Maru sedikit ketinggalan jaman (yang benar?) tapi setidaknya ia melakukan apa yang harus ia lakukan, “Kau pasti lebih tahu dariku, kan? Marulah yang membayar semua kejahatan yang kau lakukan dan ia membungkam mulutnya.”
Jae Hee terkejut mendengarnya. Tapi Jae Shik memang tahu, bukan karena Maru memberitahukannya. Ia mengacungkan telunjuk pada Jae Hee, “Tapi ini adalah persis seperti kelakukanmu yang selalu kau lakukan. Ya, kan?”
LOL. Rasakan, Jae Hee..
Akhirnya Jae Hee kembali ke ruang rapat dan mengumumkan kalau ia berpikir untuk menjadikan Eun Gi.. sebagai CEO Publik untuk Taesan.
Tentu saja semua kaget, apalagi Min Young. Tapi Jae Hee memuji Eun Gi yang telah memiliki banyak pengalaman, maka ia merasa posisi itu tepat untuk Eun Gi.
Ia menghampiri Eun Gi dan mengulurkan tangannya, “Apakah kau mau menerima posisi ini, Direktur Seo?”
Senyum terulas di bibir Jae Hee. Tapi matanya menatap sadis pada Maru yang masuk dari pintu darurat dan berdiri sambil tersenyum.

source : http://www.kutudrama.com/2012/10/sinopsis-nice-guy-episode-14-2.html
re-posted and re-edited by : dianafitriwidiyani.blogspot.com

No comments:

Post a Comment