Maru dan Eun Gi menyusuri jalan
menuju rumah lama Maru sambil bergandengan tangan. Tiba-tiba Eun Gi
menghentikan langkahnya dan berkata kalau ia akhirnya tahu seperti apa Kang
Maru sebenarnya,
Maru hanya terdiam mendengar
kata-kata Eun Gi.
“Pria yang aku pertaruhkan semua harapan dan cintaku, pria yang sangat kusukai hingga dadaku seperti ingin pecah. Maru-ssi, bagiku kau adalah orang seperti itu.” |
Mereka sampai di depan gerbang rumah lama Maru. Eun Gi tak dapat menyembunyikan nada bahagia saat bertanya pada Maru apakah ia ingat, “Di sini, di tempat ini. Di sini aku mengaku padamu.”
Melihat Maru hanya diam termangu, Eun Gi bertanya, “Apakah kau tak ingat?” Maru masih terdiam membuat Eun Gi khawatir dan berpikir kalau Maru sudah lupa. “Apakah kau ingat? Kau tak mengingatnya?”
Maru terdiam karena ia menyadari,
ingatan mana yang kembali pada Eun Gi. Ingatan yang masih melihat Maru sebagai
pria yang dipukuli suruhan Jae Hee karena tak mau meninggalkan Eun Gi.
Perlahan Maru menjawab kalau ia ingat, membuat Eun Gi lega. Dan Eun Gi pun menanyakan pertanyaan yang sama seperti malam itu, “Apakah itu mungkin?”
Perlahan Maru menjawab kalau ia ingat, membuat Eun Gi lega. Dan Eun Gi pun menanyakan pertanyaan yang sama seperti malam itu, “Apakah itu mungkin?”
Mata Eun Gi berbinar-binar dan meminta Maru menjawabnya. Maru hanya tersenyum samar dan mencium Eun Gi dengan lembut, tanpa menjawab.
Mendapat ciuman itu, senyum Eun Gi menjadi senyum yang membujuk. Ia meminta Maru untuk menikahinya, “Bukan sebagai tunangan pura-pura, tapi menikah sebenarnya. Aku ingin menjadi bagian keluarga Maru-ssi yang sebenarnya. Keluarga yang hangat dan tentram,” Eun Gi meraih tangan Maru dan membujuknya, “Ayolah, kita menikah. Ya?”
Hhh.. siapa juga yang bisa menolak permintaan gadis yang menatap penuh cinta dengan puppy eyes seperti Eun Gi.
Eun Gi tak membuang waktu dan membawa Maru pergi ke toko baju pengantin. Ia menunjuk salah satu gaun yang di etalase yang menurutnya sangat cantik. Maru hanya bisa meng-hmmm, sambil mengangguk. Eun Gi akan memakai gaun itu di pernikahan mereka nanti.
Mulai besok, ia akan mempersiapkan pernikahannya. Ia sudah memilih gaun pengantinnya, dan ia akan segera mencari gedung pernikahan. Apa lagi yang harus ia lakukan?
Eun Gi membenarkan pendapat Maru. Enaknya kemana, ya? Eun Gi bertanya pada Maru, apakah ada tempat tertentu yang ingin Maru kunjungi?
“Mmhh.. kemana saja,” Maru tersenyum menatap Eun Gi.
Dee: Bali, ayo ke Bali! Tapi
transit dulu ke Jakarta. I’ll take you anywhere you go.
Namun rencana Eun Gi tak hanya itu. Ia bertanya berapa anak yang seharusnya mereka punyai? Maru ingin satu putra dan satu putri. Tapi menurut Eun Gi terlalu sedikit. Ia ingin 9 anak, sehingga bisa membuat tim baseball.
Maru geli mendengar rencana Eun Gi. Dan ia tersenyum saat Eun Gi membatalkan rencana pembuatan tim baseball (bukan rencana membuat 9 anak-nya). Eun Gi ingin membebaskan anak-anaknya untuk memilih cita-cita mereka sendiri dan tak ingin memaksa mereka.
Ia bertanya pada Maru, tapi Maru malah tertawa. Eun Gi pun merajuk, seolah ini adalah pertanyaan paling penting di dunia ini.
Maru menatap lembut pada Eun Gi dan menjawab, “Karena aku belum pernah melakukannya, aku juga tak tahu.”
Eun Gi langsung mencari orang yang bisa ia tanyai, “Sekretaris Hyun. Apa kita sebaiknya menanyainya? Tapi ia belum menikah, apa ia tahu? Kalau begitu, sebaiknya kita tanya ke siapa?” tanya Eun Gi sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sementara Jae Hee minum-minum sendiri di kedai yang penuh dengan pria. Seorang pria mendatanginya dan mengajaknya minum bersama. Tanpa menoleh, Jae Hee menyuruh pria itu menyingkir darinya.
Tapi pria itu tetap menganggunya, sehingga Jae Hee membentak, “Apakah kau pikir aku datang ke sini untuk minum dengan orang rendahan sepertimu?”
Bentakan itu malah menarik
perhatian orang di dalam kedai dan membuat mereka menggunjingkannya. Jae Hee
semakin kesal dan membentak pada semua orang untuk tak memandanginya, “Apa
kalian pikir aku adalah orang yang bisa kalian pandang seperti itu? Apakah
orang seperti kalian cukup berharga bagi perusahaanku?”
Wow, apa Taesan itu sekarang perusahaannya? You wish.. Dan kata-kata itu malah membuat orang-orang ribut dan mulai menunjuk-nunjuk dirinya. Untung saja Min Young datang dan meminta maaf pada semua orang di dalam kedai.
Ia meminta Jae Hee yang sudah mabuk untuk meninggalkan kedai. Tapi Jae Hee malah bertanya bagaimana Min Young bisa tahu ia ada di sini dan berapa orang yang disuruh Min Young untuk memata-matainya?
Pria yang mengganggu Jae Hee masih marah-marah dan mulai mengatai Jae Hee sinting. Namun kata-kata pria itu terhenti karena Min Young memukulnya.
Jae Hee seakan tak memperhatikan keributan itu, malah mengenang kalau tempat ini adalah tempat biasa ia minum bersama Maru, sebelum ia menyerahkan segalanya demi Taesan. Pada Min Young, ia mendesah dan bertanya apakah Maru juga masih sering ke tempat ini?
Rencana Eun Gi mulai meluas dari rumah yang akan mereka tinggali hingga tempat tidur dan seprei yang ingin dia beli. Akhirnya Maru menghentikannya, “Eun Gi-ya, mari kita menikah setelah semua ingatanmu pulih kembali.
“Apa yang terjadi jika kau berubah pikiran setelah semua ingatanmu kembali?”
“Mengapa aku harus berbah pikiran? Aku tak akan berubah pikiran. Hal itu tak akan mungkin terjadi,” bantah Eun Gi yakin.
“Kau tak pernah tahu,” kata Maru
yakin. “Ketika ingatanmu kembali, mungkin ada pria yang lebih menarik yang
menunggumu.”
“Aku tetap tak akan pergi padanya,” jawab Eun Gi juga yakin.
Maru mencoba beralasan kalau sangat susah menebak sebuah hati. Tapi Eun Gi tetap yakin kalau Maru tak akan berpaling, dan begitu pula dirinya. Maru mengangguk mengerti. Walau begitu, ia tetap meminta agar mereka menunggu lebih lama lagi.
“Jika setelah ingatanmu kembali dan kau masih tetap ingin menikah denganmu; jika kau masih ingin menikah dengan orang seperti Kang Maru dan memiliki anak dan tua bersamanya, maka saat itu mari kita menikah,” Eun Gi mengerutkan kening, bingung akan ucapan Maru, “aku juga tak akan melepaskanmu.”
Dipeluknya Eun Gi dan ia pun berkata seperti berjanji, “Saat itu aku tak akan pernah melepaskanmu. Tak peduli apapun yang terjadi, apapun orang berkata apa.”
Min Young membawa Jae Hee yang mabuk. Bibi pembantu membantunya membawa ke tempat tidur, dan menyelimuti Jae Hee.
Setelah bibi pembantu pergi, Jae Hee membuka mata menatap Min Young. Min Young menunduk untuk menciumnya, tapi Jae Hee memalingkan muka.
“Seo Eun Gi, gadis itu sudah gila. Membuang Taesan untuk mendapatkan Kang Maru?” Min Young hanya menatap Jae Hee yang meracau, “Ia mengatakan kalau aku benar-benar kacau, tapi gadis itu benar-benar sudah gila.
“Aku, Han Jae Hee, membuang Kang Maru untuk mendapatkan Taesan. Aku.. akulah yang benar,” air matanya merebak saat meminta pendapat Min Young, “Tanya pada setiap orang di jalan, mana dari kami yang benar, mana dari kami yang normal. Apa yang mereka lakukan jika mereka adalah Han Jae Hee? Apa yang mereka lakukan jika mereka adalah Seo Eun Gi.”
Min Young diam saja. Tapi Jae Hee sudah memutuskan kalau ialah yang benar, “Kitalah yang benar. Ya, kan?”
Sepertinya Min Young menduga kalau Jae Hee menyesal. Ia bertanya, “Jadi.. kau ingin kembali? Seperti Seu Eun Gi, kau ingin menyerahkan Taesan dan kembali pada Kang Maru?
Mata Jae Hee menerawang seakan mempertimbangkan hal itu. Tapi Min Young berkata kalau Jae Hee tak boleh melakukan itu. Jae Hee bukanlah orang seperti itu. “Aku.. karena kau memintaku. Karena kau mengatakan kalau kau menginginkannya, aku telah mengkhianati Presdir Seo, orang yang paling mempercayaiku. Aku juga terlibat dalam kematiannya dan aku juga menjadi seperti ini hingga sekarang. Inilah jalan yang harus kita tempuh.”
Hanya kali ini saja Min Young akan membiarkan Jae Hee lemah seperti sekarang ini. Dan ia berharap mereka hanya perlu membunuh satu kali saja untuk mencapai tujuan mereka, yaitu Presdir Seo, “Jangan sampai kita memasukkan nama Kang Maru ke dalam daftar itu.”
Min Young beranjak pergi. Tapi Jae Hee menangkap ancaman dari kalimat Min Young, ia bertanya apa maksudnya.
Min Young berbalik dan malah berkata, “Oh iya. Yang kau bunuh tak hanya satu. Tapi dua. Dan Kang Maru yang harus menerima hukumannya menggantikanmu.”
Ouchh.. Ia pun kemudian meninggalkan Jae Hee yang tercengang. Walau setelah ia keluar kamar, ia terlihat menyesal telah mengatakannya.
Ancaman Min Young terus terngiang-ngiang di telinga Jae Hee. Dan kenapa saya punya perasaan kalau mungkin Jae Hee ingin menambah daftar orang-orang yang ingin ia lenyapkan, ya..
Di kamar, Eun Gi mencoba mengingat-ingat wajah orang yang ada di mobil satunya saat kecelakaan itu terjadi. Tapi yang ia ingat hanyalah wajah samar pengendara mobil itu. Ia malah mengaduh kesakitan dan memegangi kepalanya.
Choco yang sedang browsing di internet, mendengar keluhannya. Ia menatap simpatik pada Eun Gi dan berkata kalau hidup itu memang sulit, “Kau dan kakakku, kenapa jalan hidup kalian sangat melelahkan dan sulit di usia yang masih muda ini?”
Tapi ia menghibur Eun Gi. Berdasarkan pengalamannya, jika Eun Gi sabar dan tabah, akan tiba saatnya masa depan yang cerah.
Kita juga berharap seperti itu, Choco. Kita semua berharap seperti itu…
Eun Gi berterima kasih pada Choco dan teringat pada kata-kata Dokter Seo untuk mengingat satu kenangan yang paling menyakitkan, yang membuatnya sangat terluka dan membuatnya ingin mati. Eun Gi merasa kalau kecelakaan di terowongan itu ada hubungannya dengan kenangan yang paling menyakitkan.
Ia meminjam komputer Choco dan mulai meng-google kecelakaan itu. Choco yang melihat apa yang Eun Gi cari, terkejut apalagi saat salah satu berita dibuka dan dibaca oleh Eun Gi. Ada inisial pria “K’ 30 tahun, yang saat itu berada dalam kondisi kritis.
Choco semakin cemas dan bertanya mengapa Eun Gi mencari tahu kejadian kecelakaan itu? Eun Gi menjawab kalau ini adalah perintah dokternya. Ia bertanya-tanya siapakah orang yang berinisial K itu. Tapi Choco menggeleng semakin cemas, dan tak memberikan jawaban.
Jae Gil pulang dengan wajah muram. Tanpa tedeng aling-aling, ia bertanya pada Maru, “Apa kau mau mati? Apa kau tahu siapa yang baru saja aku temui?”
Maru tetap cuek dan basa basi bertanya, “Siapa?”
“Seniormu di kampus dulu. Tae Woo Hyung, Ahli bedah syaraf,” kata Jae Gil mengingatkan. Maru terdiam dan mendongak menatap Jae Gil.
Tapi Jae Gil tak lagi berdiri. “Aku tak tahu kalau.. ,” lututnya lemas dan ia duduk dan menangis, “kalau kau ternyata sesakit itu..”
Buru-buru Maru menghampiri Jae Gil dan menyuruhnya diam karena yang lain akan mendengarnya. Tapi Jae Gil tak mau. Ia malah semakin berteriak, “Biarkan mereka dengar! Biar mereka dengar semuanya!”
Maru menutup mulut Jae Gil tapi Jae Gil menepis tangannya marah, “Aku akan memberitahukan Choco dan Eun Gi, aku akan..”
“Jae Gil.. kumohon..” pinta Maru memohon. Dan kemarahan Jae Gil mereda saat melihat Maru meminta, “Kumohon jagalah rahasiaku yang ini.”
Mereka minum di sebuah restoran. Jae Gil hanya memandangi Maru, membuat Maru bertanya dengan nada bergurau, “Apa aku mati? Aku tak akan mati. Kondisiku tak seburuk itu. Apa yang Tae Woo Hyung katakan? Apakah ia bilang kalau aku akan mati jika tak dioperasi?”
Tapi gurauan Maru tak mampu meredakan wajah sendu dari Jae Gil yang sudah menangis. Jae Gil akan membawa Maru ke rumah sakit besok sepagi mungkin. Maru menenangkan Jae Gil kalau semua dokter pasti akan seperti itu, “Mereka pasti memberitahukan kondisi yang terburuk dulu, karena mereka tak mau bertanggung jawab.”
Tapi Maru tetap santai. Kali ini ia mengatakan kalau seniornya itu, Tae Woo, memang seperti itu, “Ia selalu omong kosong, makanya ketika aku kuliah dulu .. “
“Aku akan menceritakan semuanya pada Choco dan Eun Gi. Karena mereka, Kang Maru telah melakukan hal yang gila,” potong Jae Gil dan iapun bangkit berdiri. “Aku akan mengatakan pada mereka.“
“Apa kau pikir semua ini karena Choco dan Eun Gi? Apa kau pikir karena mereka aku menolak dioperasi?” tanya Maru. “Memang siapa mereka? Apa kau pikir mereka lebih penting daripada hidupku sendiri?”
“Kalau kau tak bermaksud mengatakannya, jangan mengatakannya,” kata Jae Gil memperingatkan.
Maru pun tahu diri dan kali ini ia berkata serius. Ia telah berbuat segalanya dari menjual tubuhnya hingga mengatasi muntah terus menerus, demi menjadikan Choco seperti sekarang ini.
Dan ia merasa telah membayar separuh hutangnya pada Eun Gi. Sedangkan separuh sisanya, adalah hutang milik Eun Gi sendiri, “Mempercayai orang brengsek sepertiku tanpa curiga sama sekali, itu adalah salahnya sendiri. Dan ia patut disalahkan karenanya.”
Maru mengatakan ada kemungkinan terjadi sesuatu saat operasi, atau ia meninggal di meja operasi, atau semua ingatannya akan hilang, atau ia akan lumpuh total setelah operasi, “Lalu akan jadi ada Kang Maru selanjutnya? Apa yang bisa dilakukan pria yang menyedihkan seperti Kang Maru ini?”
Jae Gil mempertanyakan sikap Maru yang pesimis dan berpikir yang terburuk. Tapi Maru mengatakan ini karena itu memang jalan hidupnya. Ia merasa sangat bahagia sekarang. Choco sudah lebih sehat. Memikirkan hal ini saja membuatnya sangat bahagia.
Kemudian Eun Gi yang ia tunggu-tunggu, telah kembali padanya, “Tidur di dalam rumahku, makan di meja yang sama, pergi dan pulang kerja bersama-sama. Setiap saat aku menoleh padanya, ia selalu tersenyum menatapku.”
Maru tersenyum mengingat semuanya, “Apakah semua ini masuk akal?” Ia memandang Jae Gil yang menangis dan memohon pada Jae Gil, “Aku ingin merasakannya sedikit lebih lama lagi, Jae Gil. Setelah merasakan kebahagiaan yang tak masuk akal ini, walau hanya sebentar saja, aku mau dioperasi.”
Jae Gil terus menerus menangis, dan Maru menghiburnya, “Aku tak akan mati jadi jangan terlalu khawatir. Dan jangan sampai hal ini ketahuan. Ya? Biarkan aku merasakan kebahagiaan juga. Untuk sekali saja.”
Di tempat tidur, Eun Gi masih belum tidur. Ia tersenyum, merasa ingatannya sudah hampir pulih kembali, “Kita hampir sampai, Maru-ssi. Kupikir aku akan mengingat semuanya segera, jadi tunggulah sebentar lagi. Janganlah pergi.”
Keesokan harinya, Eun Gi dan Choco sudah di dapur bersama Jae Gil, sementara Maru masih tidur. Eun Gi dan Choco akan memasak belut dan harus mengatasi bagaimana menangkap tanpa takut menyentuh belut yang masih hidup.
Eun Gi yang tangguh akan menangkapnya menggunakan sarung tangan, membuat Choco yang ketakutan, kagum akan ide cemerlang Eun Gi.
Jae Gil tersenyum, walau menahan air mata, menatap kegembiraan kedua gadis itu. Ia mengatakan kalau Maru sungguh beruntung karena Eun Gi mau memasak masakan favorit Maru.
Choco tak mau kalah. Kalau Jae Gil mau, ia berani memasak semur ular kobra! LOL, rasanya gimana, ya?
Jae Gil menghampiri mereka dan langsung mengambil satu belut, dan mengacungkan pada kedua gadis pemberani tadi, membuat mereka buyar, berteriak dan lari ketakutan. Tapi Jae Gil mengejar mereka dengan belut di tangan.
“Aku mendengar tawa temanku, adikku, dan kekasihku. Mereka adalah bagian dari mimpi paling indah, paling enak, paling mempesona dari semua mimpi yang pernah kualami.” |
Gil mengajari mereka cara memasak belut. Ia memarahi Choco yang mencacah taoge yang seharusnya hanya dibuang ujungnya saja.
Ia juga memarahi Eun Gi yang mengupas kulit kentang terus menerus di tempat yang sama. Memangnya kentang itu mau dibuat masker? LOL.
“Takut kalau aku membuka mata dan ternyata ini hanyalah mimpi, aku tak berani membuka mataku.” |
Sup belut sudah jadi. Jae Gil dan Choco berdebat tentang garam yang tadi mereka masukkan. Choco dan Jae Gil masih berdebat dan tak memperhatikannya. Maka Eun Gi menengok Maru masih tertidur, dan pelan-pelan menghampirinya.
Eun Gi tersenyum, dan secepat kilat ia
membungkuk untuk mencium pipi Maru.
Senang sudah bisa mencium Maru, buru-buru Eun Gi pergi dan kembali bergabung dengan Choco dan Jae Gil.
Setelah Eun Gi pergi, Maru membuka mata dan tersenyum,
No comments:
Post a Comment