Jae Hee panik melihat jarum yang akan ditusukkan ke leher
Eun Gi. Ia berteriak menyuruh Maru untuk membatalkan tindakannya, karena ia
bukanlah dokter dan Eun Gi bisa saja mati.
Tapi Maru tak mempedulikan Jae Hee. Dengan yakin ia menusukkan jarum suntik ke dada Eun Gi, dan menarik air dari paru-paru Eun Gi. Saat yang tertarik adalah darah, maka ia langsung menyetopnya.
Tapi Maru tak mempedulikan Jae Hee. Dengan yakin ia menusukkan jarum suntik ke dada Eun Gi, dan menarik air dari paru-paru Eun Gi. Saat yang tertarik adalah darah, maka ia langsung menyetopnya.
Tanpa menoleh pada Jae Hee, Maru memberitahukan pramugari
kalau kondisi pasien sudah stabil untuk sepuluh menit ke depan dan tugasnya
sudah selesai.
Maru berjalan sempoyongan keluar dari ruang eksekutif dengan keringat di wajah. Tak dapat menyangga tubuhnya sendiri, ia meraih sandaran kursi terdekat untuk berpegangan. Pertemuan itu jelas menggoncangkan perasaannya.
Maru berjalan sempoyongan keluar dari ruang eksekutif dengan keringat di wajah. Tak dapat menyangga tubuhnya sendiri, ia meraih sandaran kursi terdekat untuk berpegangan. Pertemuan itu jelas menggoncangkan perasaannya.
Dan Jae Gil juga tak memperingan perasaannya. Dalam
perjalanan pulang, Jae Gil yang duduk di belakang memborbardir pertanyaan pada Maru
yang sedang menyetir.
Hah, duduk di depan napa? Emang
Maru supirnya Jae Gil? Dan pertanyaan Jae Gil malah seperti ibu-ibu yang
bergosip.
“Apakah wanita itu benar-benar
Jae Hee? Kabarnya dia menjadi istri dari pimpinan grup Tae San. Tapi kau tak
mau percaya. Kau bahkan memukuliku saat aku memberitahukanmu. Sebenarnya aku
sudah curiga dengannya. Dulu saat kau masuk penjara, awalnya saja ia selalu
mengunjungimu setiap hari. Tapi kemudian ia datang hanya sekali sebulan. Begitu
pula bulan berikutnya.
Ada apa sebenarnya? Dan juga aku tak percaya kalau kau dapat membunuh. Walaupun temperamenmu sangat keras, tapi kau adalah dokter yang suka menyelamatkan orang.”
Ada apa sebenarnya? Dan juga aku tak percaya kalau kau dapat membunuh. Walaupun temperamenmu sangat keras, tapi kau adalah dokter yang suka menyelamatkan orang.”
Maru membelokkan mobilnya dan
mengerem mobil mendadak membuat Jae Gil kaget. Dengan ketus Maru berkata, “Aku
bukan supirmu! Kenapa kau selalu duduk di belakang?”
Tanpa menunggu jawaban dari Jae
Gil, Maru keluar mobil. Jae Gil kaget dengan sikap Maru dan berteriak pada Maru
yang sudah berjalan kaki pergi, “Ini kan kebiasaan! Aku selalu dimanja. Aku
duduk di depan, deh..”
Tapi Maru tetap pergi, membuat Jae Gil berteriak putus asa. “Hei, Maru! Kau mau kemana? Aku kan nggak bisa nyetir!”
Tapi Maru tetap pergi, membuat Jae Gil berteriak putus asa. “Hei, Maru! Kau mau kemana? Aku kan nggak bisa nyetir!”
Heheh.. ternyata Jae Gil ini Mama
boy banget..
Maru keluar mobil sebenarnya bukan karena terpaksa menyupirii Jae Gil. Tapi lebih karena pertemuan yang baru saja ia alami. Ia teringat pada pertemuan pertamanya dengan Jae Hee. Saat itu ia sedang mencuci celana adiknya, Choco, yang masih ngompol padahal sudah bukan balita lagi.
Tiba-tiba Jae Hee lari masuk ke
dalam halaman rumahnya dengan ketakutan
dan meminta mereka menyembunyikannya. Maru dan Choco hanya bengong
melihat mereka. Tapi Maru masih bisa menunjuk ke dalam rumahnya, yang segera
lari menuju arah telunjuk Maru.
Dan benar saja. Tak lama kemudian ada seorang pemuda yang mencari Jae Hee, yang langsung pergi saat tak menemukan gadis yang dicarinya.
Dan benar saja. Tak lama kemudian ada seorang pemuda yang mencari Jae Hee, yang langsung pergi saat tak menemukan gadis yang dicarinya.
Maru masuk rumah dan mengambil
kotak P3K dan berkata kalau ia akan menjadi dokter saat ia besar nanti. Jae Hee
tersenyum dan memperkenalkan dirinya, yang dijawab oleh Maru yang membalas
senyumannya, “Aku tahu dirimu. Kau adalah gadis paling cantik di lingkungan
kita ini.”
Hubungan mereka terus berlangsung
hingga mereka kuliah. Saat itu Maru telah mencapai separuh cita-citanya. Ia
berbaring di taman sambil membaca buku Kedokteran. Di sampingnya, Jae Hee
duduk dan mengeluh tentang hasil ujiannya yang mungkin gagal lagi,
sementara Maru selalu mendapat nilai terbaik.
Ia juga merentet pertanyaan
tentang gadis kaya yang mengejar-ngejar Maru. Apakah Maru tak tertarik? Kalau
Maru mau berkencan dengan gadis itu, berbagai kesempatan akan terbuka bagi
Maru. Walau latar belakang keluarganya tidaklah bagus, tapi kualitas dan
pribadi Maru sangatlah menawan. Ia merunut semua keunggulan Maru. Maru
benar-benar pantas untuk diuber.
Tapi Maru tak menanggapi, malah
dengan acuh ia bertanya, “Kalau begitu, apakah noona mau menguber? Sebenarnya aku
ingin kau yang menguberku. Tapi jika kau tak mau, ya tak apa-apa.”
Buru-buru Jae Hee mengiyakan. Kata-kata Maru tak boleh ditarik lagi dan Maru adalah miliknya.
Ingatan Maru kembali di masa kini. Namun ia masih dapat melihat bayangan dirinya dan Maru yang bercanda saat makan di sebuah warung. Kenangan itu menjadi kenangan pahit baginya.
Ia berkata pedih pada dirinya sendiri, “Cukup. Hentikan semuanya. Dia yang sekarang sudah bukan dia yang dulu lagi. Ini adalah titik akhir.”
Joon Ha mengunjungi Eun Gi di
rumah sakit. Ia tak dapat menyembunyikan komentarnya pada Eun Gi yang sudah
duduk memeriksa dokumen kantor sambil mengunyah ayam goreng.
Tapi Eun Gi cuek, malah bertanya tentang penyelamatnya yang bukan dokter, “Dan ia berani-beraninya mempercayakan nyawaku pada orang yang bukan dokter? Tahu nggak sih kalau si bukan dokter itu membuatku hampir mati?”
Tapi Eun Gi cuek, malah bertanya tentang penyelamatnya yang bukan dokter, “Dan ia berani-beraninya mempercayakan nyawaku pada orang yang bukan dokter? Tahu nggak sih kalau si bukan dokter itu membuatku hampir mati?”
Dengan kalem Joon Ha menjawab
kalau kenyataannya Eun Gi baik-baik saja. Eun Gi bertanya lagi tentang ibu
tirinya dan si bukan dokter itu yang sepertinya saling mengenal. Tapi Joon Ha
tak tahu mengenai hal itu.
Eun Gi menerima telepon yang
memberitahukannya kalau Jae Hee baru saja menarik uang 1 milyar Won dari
rekeningnya. Ia menyuruh anak buahnya untuk membuntuti Jae Hee pergi.
Anak buah Eun Gi membuntuti Jae
Hee yang mendatangi rumah Maru dengan membawa buah dan kantung belanjaan
bermerek. Belum sempat Jae Hee melewati pintu gerbang rumah Maru, ia melihat
Jae Gil sedang berbicara dengan sepasang suami istri. Ia memperhatikan apa yang
sedang terjadi di dalam.
Si suami marah-marah pada Jae
Gil, menyuruh Maru untuk keluar menemuinya. Ia tak percaya ucapan Jae Gil yang
mengatakan Maru sedang keluar negeri. Ia juga tak mau ditenangkan oleh
istrinya. Dengan bukti foto Maru di handphone istrinya, ia tak akan melepaskan Maru yang telah
menghancurkan rumah tangga orang.
Jae Gil membantah hal itu karena
prinsip Maru adalah tak mengganggu rumah tangga orang. Bahkan gigolo pun
memiliki prinsip. Ia menduga kalau si istri hanyalah fans Maru karena bukti
yang dimiliki si istri hanyalah foto itu.
Saking kesalnya karena si suami tak percaya, Jae Gil mengambil sebatang kayu dan mematahkan dengan kepalanya (!)
Saking kesalnya karena si suami tak percaya, Jae Gil mengambil sebatang kayu dan mematahkan dengan kepalanya (!)
Bantahan Jae Gil malah membuat si
istri yang tadinya tenang, menjadi belingsatan karena mendapat sebuah ilham
baru, “Apakah ia mau menerimaku kalau aku telah bercerai?”
Dan ting! Ia berteriak, “Ayo kita
bercerai!” Dan si istri itu langsung lari keluar, mungkin mempersiapkan dokumen
talak. Hanya suaminya yang terbengong-bengong dan kemudian berteriak,
“Sayaaanngg.. kau adalah satu-satunya milikku.”
Suaminya mengejar si istri dan
memohon-mohon, kali ini menyalahkan global warming sebagai penyebab kekisruhan
dunia dan rumah tangga mereka. LOL.
Setelah pasangan suami istri itu
pergi, Jae Hee menemui Jae Gil dan bertanya apakah wanita tadi menyukai Maru?
Sebenarnya apa yang terjadi pada Maru?
Yang terjadi pada Maru adalah ia
sedang membawa Choco ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin dan ia lega
mendengar kalau Choco baik-baik saja. Walaupun saat keluar dari ruang praktek
dokter,Choco mengatakan kalau ia masih sakit. Maru mengangguk-angguk tapi Choco
tetap bersikeras kalau ia tidak pura-pura dan meminta kakaknya untuk percaya.
Maru akhirnya menatap Choco dan mengatakan kalau Choco memang terlihat sakit. Maka Choco tak boleh minum-minum dan pergi bersenang-senang, Choco langsung mengeluarkan tantrumnya, “Aku tak boleh melakukan apapun, tak boleh sekolah. Apa ini yang namanya hidup? Harusnya aku mati saja!”
Maru akhirnya menatap Choco dan mengatakan kalau Choco memang terlihat sakit. Maka Choco tak boleh minum-minum dan pergi bersenang-senang, Choco langsung mengeluarkan tantrumnya, “Aku tak boleh melakukan apapun, tak boleh sekolah. Apa ini yang namanya hidup? Harusnya aku mati saja!”
Dan Choco menyalahkan Maru
yang lebih memilih untuk menemui Jae Hee
dan meninggalkannya saat ia sekarat, “Semua ini salah Kakak karena aku tersiksa
seperti ini. Kalau aku mati, itu juga salah Kakak!”
Seolah ingin menyiksa Maru lebih
lama lagi, Choco menyuruh Maru untuk menggendongnya di punggung dengan alasan
ia telah capek berteriak-teriak.
Dan kata-kata Jae Gil pada Jae Hee seakan mencerminkan apa yang dilakukan oleh Maru saat ini. Setiap kali Choco pingsan, Maru harus mengeluarkan ratusan ribu Won. Ayah Maru telah meninggal karena serangan jantung akibat tak kuat akan penderitaan yang mendera keluarganya.
“Maru ingin menjual organ tubuhnya, tapi jika uang itu diperoleh pun, tak akan dapat menutup seluruh hutang keluarga. Di Korea, mantan narapidana tak akan mampu bekerja layak untuk menutup hutang dan membayar biaya rumah sakit.
Dan kata-kata Jae Gil pada Jae Hee seakan mencerminkan apa yang dilakukan oleh Maru saat ini. Setiap kali Choco pingsan, Maru harus mengeluarkan ratusan ribu Won. Ayah Maru telah meninggal karena serangan jantung akibat tak kuat akan penderitaan yang mendera keluarganya.
“Maru ingin menjual organ tubuhnya, tapi jika uang itu diperoleh pun, tak akan dapat menutup seluruh hutang keluarga. Di Korea, mantan narapidana tak akan mampu bekerja layak untuk menutup hutang dan membayar biaya rumah sakit.
Tapi Jae Gil tak melihat mimik
Jae Hee yang berubah. Ia melanjutkan,
“Choco adalah segalanya bagi Maru. Jika tak ada Choco, Maru pasti akan
mengakhiri hidupnya sejak dari dulu. Sekarang ia berbuat apapun demi adiknya.
Mengapa Tuhan sangat kejam padanya?”
Jae Hee tercenung mendengar
kata-kata Jae Gil, “Mengapa Maru tak pindah dan mencari rumah yang lebih baik
lagi?”
“Itu karenamu,” jawaban Jae Gil
mengagetkan Jae Hee. “Jika kami pergi, maka kau tak akan dapat menemukan kami.
Ia tak percaya kalau kau sudah pindah ke lain hati. Ia tak mau mendengarkanku.
Maka kami menunggu kedatanganmu setiap hari.”
Kata-kata Jae Gil seolah tamparan
keras bagi Jae Hee. Di mobil ia hanya menunduk terpekur, sehingga tak menyadari
kalau Maru telah pulang ke rumah. Maru mengalah dan ia membawa pulang Choco
dengan menggendongnya.
Di rumah, setelah ia menidurkan
Choco, Jae Gil memberitahu kalau Jae Hee baru saja kemari. Betapa geramnya Maru
saat menyadari kalau Jae Hee memberikan bingkisan dan uang padanya.
Maru segera berlari keluar dan
mencari Jae Hee. Tapi sosok Jae Hee tak dapat ia temukan. Ia hanya dapat
menahan kegeramannya dan meremas amplop uang itu.
Duh, kayanya Jae Hee tak pernah
mendapat kuliah Meminta Maaf 101. Jangan pernah memberikan uang sebagai ganti
rugi janji yang pernah dikatakan, apalagi janji itu adalah ‘Aku tak akan pernah
melupakan hutangku ini. Aku akan menebusnya seumur hidupku.”
Karena itulah kata-kata yang ia
ucapkan pada Maru di hari bersejarah, saat Maru menyuruh Jae Hee meninggalkan
TKP dan menyampirkan baju kotak-kotaknya di badan Jae Hee.
Sialnya lagi, di halaman rumah
Jae Hee dicegat oleh Eun Gi yang sudah keluar dari rumah sakit. Mulanya Eun Gi
berkata-kata manis, meminta Jae Hee untuk memberitahu pihak rumah sakit kalau
ia sudah sembuh dan berterima kasih padanya. Berkat Jae Hee, ia dapat selamat
saat ia pingsan di pesawat kemarin.
Jae Hee menyangkal, bukan ia yang
menyelamatkan tapi dokterlah yang menyelamatkannya. Eun Gi mengatakan kalau
penyelamat itu bukanlah dokter yang langsung diamini oleh Jae Hee. Tapi
walaupun penyelamat itu bukan dokter, tapi ia sangatlah hebat karena mampu
menyelamatkan Eun Gi.
Eun Gi tersenyum sinis
mendengarnya, “Apakah kau menemuinya? Penyelamat yang bukan dokter tapi sangat
hebat? Dan mengapa kau memberinya uang 1 milyar won?”
Jae Hee kaget mendengar ucapan
Eun Gi. Tanpa basa-basi Eun Gi mengakui kalau ia memang menyuruh orang untuk
memata-matai Jae Hee pergi sejak minggu pertama ibunya diusir keluar dari rumah
ini, “Aku ingin balas dendam. Aku akan menemukan kelemahanmu dan menendangmu
keluar dari rumah ini, seperti yang dulu kau lakukan pada ibuku,” katanya
geram.
Jae Hee tercengang mendengar
kata-kata Eun Gi yang baginya terlalu kasar. Dengan muka polos, ia mengatakan
kalau ia memberikan uang itu sebagai balas jasa karena telah menyelamatkannya.
Eun Gi tertawa mendengar
kata-kata Jae Hee. “Kau ingin aku mempercayainya? Kau memberinya uang sebagai
balas jasa karena menyelamatkanku? Atau sebagai balas jasa karena membunuhku
seolah ketidaksengajaan di pesawat terbang?”
Whoaa.. Eun Gi keren banget. Ia
bukanlah Cinderella. Ia tak takut, bahkan menyerang balik ibu tirinya.
Maka Jae Hee mengubah taktik dan
berkata kalau si penyelamat itu mengetahui kalau Eun Gi dulu pernah memakai
narkoba tujuh tahun yang lalu saat Eun Gi di Amerika.Pria itu mengancamnya akan
membocorkan hal ini pada media sehingga ia harus membayar pria itu.
Eun Gi terdiam, dan Jae Hee pun
meneruskan kalau Eun Gi harusnya lebih berhati-hati karena jika Dewan Direksi tahu
mengenai hal ini, maka Eun Gi tak dapat mewarisi perusahaan Tae San.
Eun Gi tak dapat membalas
kata-kata Jae Hee. Ia memang pernah terlibat narkoba saat itu. Tapi yang
sebenarnya terjadi adalah pacarnya memohon padanya agar Eun Gi mau mengakui kalau
narkoba itu adalah miliknya, “Aku akan membantumu jika kau mau membantuku.
Bahkan ayahku berkata kalau ia akan membantu menolong perusahaan Tae San yang
sekarang sedang dalam masalah.”
Maka di kamar Eun Gi menelepon
mantan pacarnya yang sekarang sudah berkeluarga dan memiliki bayi. Apakah
mantannya itu masih mengingatnya?
Ia menelepon pria untuk mengatakan kalau saat itu ia mau dikambinghitamkan bukan karena ingin menyelamatkan Tae San, tapi karena cinta. Sebelum pria itu menjawab pengakuan Eun Gi, Eun Gi mengatainya, “Bajingan” dan menutup teleponnya.
Ia menelepon pria untuk mengatakan kalau saat itu ia mau dikambinghitamkan bukan karena ingin menyelamatkan Tae San, tapi karena cinta. Sebelum pria itu menjawab pengakuan Eun Gi, Eun Gi mengatainya, “Bajingan” dan menutup teleponnya.
Handphonenya berbunyi lagi. Dari
mantannya lagi. Tapi Eun Gi tak mau mengangkatnya, maka ia malah mencemplungkan
handphone itu ke dalam aquarium. Heh.. sayangnya..
Sementara itu di tengah hujan di
dalam mobil, Maru mendapat telepon dari Jae Gil yang berteriak gembira kalau ia
tak akan pulang ke rumah karena suatu urusan. Dan Jae Gil melarang Maru untuk
menghubunginya karena ia tak ingin dibebani oleh biaya roaming luar negeri.
Ha. Dan urusan itu sepertinya
berhubungan dengan gadis yang ada dalam pelukannya. Saat tahu kalau Maru ingin mengembalikan uang
itu, ia menganjurkan agar Maru menyimpan 10% dan mengembalikan 90% sisanya,
“Karena baginya, uang segitu adalah untuk membeli beberapa tas bermerek.”
Maru melirik amplop yang ada di
kursi samping. Ia tak mengiyakan, malah meminta Jae Gil agar mengurusi wanita
yang dalam pelukannya saja.
Di rumah Eun Gi, rupanya makan siang
adalah internal meeting perusahaan karena Joon Ha dan pengacara Ahn Min Young
juga hadir. Ayah menyelesaikan makannya terlebih dulu dan mengajak pengacara
Ahn untuk masuk ke kamar kerjanya.
Di depan Jae Hee, Eun Gi bertanya pada Joon Ha tentang kelanjutan laporannya pada polisi. Dengan santai Eun Gi memberitahu Jae Hee kalau ia ingin menuntut pria yang melakukan pemerasan pada Jae Hee.
Di depan Jae Hee, Eun Gi bertanya pada Joon Ha tentang kelanjutan laporannya pada polisi. Dengan santai Eun Gi memberitahu Jae Hee kalau ia ingin menuntut pria yang melakukan pemerasan pada Jae Hee.
Jae Hee menggenggam sumpitnya
lebih erat, mencoba menyembunyikan perasaannya. Genggamannya lebih erat saat
Eun Gi mengajarinya untuk tak takut pada orang-orang seperti itu. Ia telah
melaporkan kasus ini pada polisi, tapi menurut Joon Ha, polisi meminta
pernyataan resmi dari si korban pemerasan.
Namun serangan balik itu tak
hanya mengenai Jae Hee, tapi menimbulkan akibat yang lebih besar pada Maru. Karena
Maru telah berdiri di depan rumah Jae Hee dengan membawa amplop uang pemberian
Jae Hee. Ia melihat kepergian Eun Gi dan Joon Ha.
Berdiri di depan pintu pagar
lama, Maru bukannya memencet bel untuk menemui Jae Hee langsung, ia malah menulis
pesan di amplop uang dan kemudian memasukkannya ke dalam kotak pos.
Dan ia harus buru-buru pulang
karena mendapat telepon dari Choco yang panik. Ada polisi yang mencarinya dan
menggeledah kamarnya.
Salah satu polisi memperkenalkan
diri dan meminta Maru untuk ikut dengannya, karena dia menjadi tersangka, “Han
Jae Hee menuntut Kang Maru untuk kasus pemerasan.”
Maru tersentak kaget, “Apa yang
kau bilang?”
Choco menangis membela kakaknya,
“Untuk apa kakakku melakukannya? Ia tak akan pernah melakukan hal seperti itu!”
Tapi polisi tetap memintanya
untuk ikut ke kantor polisi maka Maru pun digiring pergi. Di bawah hujan lebat,
Choco mengejar kakaknya dan memohon agar kakaknya tak dibawa pergi. Maru meminjam
payung dan memberikan pada Choco. Tapi Choco menepis payung itu. Maru tak
bersalah, kenapa harus dibawa pergi?
Maru menenangkannya dan menyuruh Choco untuk segera masuk kedalam, “Keringkan tubuhmu, ganti baju dan masaklah air untuk minum obat.”
Maru menenangkannya dan menyuruh Choco untuk segera masuk kedalam, “Keringkan tubuhmu, ganti baju dan masaklah air untuk minum obat.”
Choco tak mau. Kalau Maru tak
masuk ke dalam rumah sekarang, ia juga tak mau. Maru mulai hilang kesabarannya
dan mengatakan kalau dokter melarangnya untuk berhujan-hujan. Tapi Choco tak
peduli, “Memang kenapa kalau mati?”
Di kantor, Eun Gi termenung
menatap hujan. Begitu pula dengan Jae Hee yang berada di mobil menuju kantor
polisi bersama Pengacara Ahn.
Jae Hee sudah sampai di depan
kantor polisi dan hujan juga telah berhenti. Tapi Jae Hee tak kunjung keluar
dari mobil hingga Pengacara Ahn memintanya untuk turun.
Di ruang pemeriksaan, Jae Hee
dihadapkan dengan Maru yang hanya terdiam memandang tajam padanya. Namun Jae
Hee pun juga diam. Saat penyidik bertanya apakah Maru memeras Jae Hee untuk
mendapatkan uang 1 milyar won, Jae Hee diam ragu untuk menjawab.
Berkali-kali ia ditanyai, tapi berkali-kali
pula ia tetap diam, ragu memberikan pernyataan palsu di bawah tatapan tajam
Maru. Hanya ketika pengacara Ahn memintanya untuk menjawab, Jae Hee mengiyakan
semua.
Sedangkan Maru yang sebelumnya
menyatakan dirinya tak bersalah, terus menerus diam saat dikonfrontasi
apakah
benar dirinya tak bersalah. Seolah tak mendengarkan pertanyaan penyidik,
ia hanya menatap Jae Hee, dan dalam benaknya ia berkata,
Jae Hee pulang dengan hati berat. Hatinya terasa lebih berat lagi saat menerima amplop uang dari pembantunya. Maru ternyata tak mau menerima uangnya.
Jae Hee pulang dengan hati berat. Hatinya terasa lebih berat lagi saat menerima amplop uang dari pembantunya. Maru ternyata tak mau menerima uangnya.
Di ruang kerja, Eun Gi dimarahi
habis-habisan oleh ayahnya karena keputusannya meluluskan permintaan dari
Serikat buruh yaitu mengubah status pekerja kontrak menjadi permanen. Namun
menurut Eun Gi, hal ini sudah sewajarnya. Ia sudah memperhitungkan semua
biayanya. Dan jika ayahnya menganggap kalau keputusannya ini memberatkan
perusahaan, maka ayahnya salah, karena perusahaan mampu menanggung pengeluaran
ini.
Ayah marah hingga melempar asbak
ke dinding. Tapi Eun Gi tak bergeming, walaupun pecahan kaca menggores pipinya
hingga berdarah. Namun kata-kata ayah berikutnyalah yang menggores hatinya,
Di dalam kamarnya, Eun Gi
menempelkan band aid ke lukanya, tak merasa sakit sedikitpun. Bagaimana merasa
sakit kalau hatinya jauh lebih sakit?
Jae Hee menemui Eun Gi yang duduk
di ruang tengah. Eun Gi menanyakan kelanjutan kasus pemerasan itu, yang
kabarnya dihentikan karena tak cukup bukti. Namun Eun Gi tak akan melepaskan kasus ini karena uang itu
telah menghilang. Kemana uang 1 milyar won itu?
“Uang itu ada ditanganku,” jawab Jae Hee
“Kenapa?”
“Karena dia gagal menjalankan
misinya. Aku menyuruhnya untuk membunuh anak suamiku dari pernikahannya yang
pertama. Tapi ia gagal. Namun jangan lupa kalau kau 7 tahun yang lalau kau
pernah ditahan karena memiliki narkoba namun dibebaskan. Jika para pemegang
saham mengetahuinya, kau tak akan mampu mewarisi perusahaan ini,” Jae Hee mulai
mengeluarkan cakarnya. “Kau masih muda, dan sepertiga pemegang saham sudah tak
menyetujuimu. Aku dan Eun Seuk berterima kasih padamu, karena informasi ini
akan membuatmu pergi.”
Eun Gi tak mengkeret mendengar
ancaman Jae Hee. Lantas kenapa kalau ia pernah ditahan? “Apakah kau ingin
memberitahukan hal ini pada para pemegang saham sekarang?”
Jae Hee tertawa. Ia tak berencana
melakukan permainan itu karena pasti akan membosankan. Kalau Eun Gi sudah bisa
menyamainya, maka ia akan bermain dengan Eun Gi. “Saat itu mari kita
bertanding. Apakah kau yang menang dan aku mati ataukah sebaliknya. Untuk
sekarang ini, jangan paksa aku hingga aku membocorkan rahasiamu.”
Ughh.. ibu tiri ini benar-benar
kejam. Walau di depan anak kandungnya, ibu tiri menjadi ibu penyayang yang
membacakan dongeng sebelum tidur bagi Eun Soo.
Sedangkan Cinderella menjadi upik
abu dengan lembur mengerjakan dokumen-dokumen kantor. Walaupun upik abu itu
bekerja sukarela untuk melepaskan kekesalannya. Tapi dengan menenggak minuman
keras. Akhirnya ia tertidur di meja rapat.
Keesokan paginya, ia dibebaskan.
Sesampainya di rumah, ia mencari Choco, mungkin ingin berbaikan. Namun ia tak
menemukan adiknya walau ia mencari di seluruh penjuru rumah dan halaman. Ia
mulai khawatir karena bayangan Choco pun juga tak ada.
Hingga salah satu tetangganya
memberitahu kalau Choco sekarang ada di rumah sakit. Kemarin Choco mengejar
Maru di tengah hujan lebat, dan ia pingsan di dekat bukit. Salah satu
tetangganya menelepon rumah sakit, dan pihak rumah sakit langsung membawanya.
Maru segera pergi menuju rumah
sakit. Di ICU, Choco tergeletak tak sadarkan diri, dengan selang oksigen dan
infus terpasang di tubuhnya. Maru terduduk lunglai melihat kondisi adiknya yang
seperti orang tidur, dan ingatan akan kejadian kemarin menghantamnya.
Bagaimana ia menyuruh Choco untuk mati saja di tengah hujan deras dan bagaimana Choco yang menuduhnya lebih memilih Jae Hee daripada dirinya. Dan jika nanti Choco mati, maka semua itu adalah salah Maru.
Bagaimana ia menyuruh Choco untuk mati saja di tengah hujan deras dan bagaimana Choco yang menuduhnya lebih memilih Jae Hee daripada dirinya. Dan jika nanti Choco mati, maka semua itu adalah salah Maru.
Ia meraih tangan Choco,
sepertinya menyesal. Tapi apakah benar menyesal? Mungkin lebih dari itu, karena
saat ia mengangkat wajahnya, matanya menyiratkan sebuah ambisi.
Sepertinya Eun Gi melepas stress
dengan mengendarai motor balapnya. Saat di jalan beraspal, ia ngebut menyalip
sana sini. Saat belok ke jalan tanah dan berpasir, kecepatan motornya tak dikurangi, malah semakin ditambah.
Naluri bersaingnya muncul saat
ada pengendara motor melompat dari atas dan menyalipnya. Eun Gi tak mau
kalah, ia semakin mempercepat laju kendaraannya. Jadilah mereka berdua saling
menyalib.
Akhirnya Eun Gi memenangkan round
ini karena lawannya tak berhasil menghindari batang pohon yang melintang di
jalan hingga terjatuh.
Namun nasib baik tak berpihak
padanya. Rem tangannya tiba-tiba blong dan sepeda motornya tak mau berhenti
padahal tebing sudah di depan mata. Segera Eun Gi memutar motornya 360
derajat hingga motor itu berhenti.
Di pinggir jurang.
Di pinggir jurang.
Dan terjatuh. Begitu pula Eun Gi.
Panik, Eun Gi meraih apapun yang dapat ia jadikan pegangan, dan itu adalah
dahan pohon mati. Untuk beberapa saat it tergantung di pinggir jurang, mencari
pijakan.
Tak mendapat pijakan, ia mencoba
mengangkat tubuhnya menuju mulut jurang. Tapi hal itu malah memperlemah pegangan
tangannya. Dan ia terjatuh..
Maru.
source : http://www.kutudrama.com/2012/09/sinopsis-nice-guy-episode-2.html
re-posted and re-edited by : dianafitriwidiyani.blogspot.com
source : http://www.kutudrama.com/2012/09/sinopsis-nice-guy-episode-2.html
re-posted and re-edited by : dianafitriwidiyani.blogspot.com
No comments:
Post a Comment