Tuesday, January 22, 2013

Sinopsis Nice Guy Episode 18


Eun Gi menuntut jawaban Maru, “Setelah kau meninggalkanku, kau mau kemana?” Maru bertanya balik, apakah itu yang dipikirkan Eun Gi? Tapi Eun Gi tetap menuntut jawaban Maru.


Betapa kagetnya Joon Ha saat diberitahu oleh Sekretaris Hyun kalau Eun Gi-lah yang membocorkan masa lalu Jae Hee dan Maru ke media. Berarti kejadian hari ini semua direncanakan oleh Eun Gi? Sekretaris Hyun sebenarnya juga ingin menghentikannya. Menurutnya tindakan Eun Gi sangat tak masuk akal.
Dengan wajah dingin dan tak berperasaan, Maru menjawab, “Aku tahu semuanya, Eun Gi. Ingatanmu semua telah kembali. Bajingan seperti apa aku ini, kau telah mengingatnya.”
Eun Gi ingin tahu sejak kapan Maru mengetahui kalau ingatannya telah kembali, “Dan kenapa kau hanya diam saja setelah mengetahuinya?”
Maru mengatakan karena ia berniat untuk mengikuti semua rencana Eun Gi.
“Berarti seharusnya kau harus menikahiku,” kata Eun Gi sinis.
“Aku tak setuju dengan caramu dalam membalas dendam,” sergah Maru marah. “Jika kau berencana untuk menikam seseorang, harusnya kau lakukan itu padaku dan Han Jae Hee. Kenapa kau membawa-bawa dirimu sendiri?”
Whoaa… apa sekarang Maru sedang mengajari Eun Gi cara membalas dendam yang benar?
Tapi kuliah Maru belum selesai. Dengan nada tinggi, ia mengatakan kalau Eun Gi seharusnya menjatuhkan orang yang akan Eun Gi bunuh. Kenapa Eun Gi malah ikut menjatuhkan diri untuk balas dendam? Jika Eun Gi mau menggunakan otaknya sedikit saja, Eun Gi tak akan ikut mati.
“Kau bisa mencari cara yang tepat hanya untuk membunuh Jae Hee dan aku saja.”
Tapi Maru-ssi, Eun Gi bukannya tak bisa menggunakan cara lain, tapi ia tak mau menggunakan cara lainnya.
“Saat aku tergila-gila padamu, ayahku meninggal dunia. Aku tak dapat kembali dan menghadapinya,” Eun Gi tersenyum tipis. “Tak peduli aku jatuh atau kalian yang jatuh, tak peduli aku berdarah atau kalian yang berdarah. Selama aku bisa mengalahkan kalian, selama aku dapat membunuh kalian, aku akan melakukan segalanya.”
Maru terpana mendengarnya. Apalagi saat gadis itu menandaskan, “Itulah.. Seo Eun Gi.”
Oh my.. Apakah itu juga alasan Eun Gi membelokkan mobilnya dan menyerang mobil Maru?
Eun Gi menyuruh Maru lari darinya kalau ia takut. Ia menyadari kalau kebaikan Maru padanya seperti memberinya makan, tempat tinggal dan menemaninya, adalah karena perasaan bersalah Maru. “Aku seharusnya memberimu kesempatan satu kali lagi. Karena aku akan membiarkanmu satu kali ini saja.. maka larilah.. Kang Maru.”
Maru bungkam seribu bahasa. Penuh rasa penyesalan, ia tak membantah ataupun membela diri.
Sepertinya Eun Gi ingin mendapatkan respon lebih dari Maru. Karena saat Eun Gi menantangnya untuk mengatakan suatu pembelaan dan Maru menjawab tak ada, Eun Gi menyindir kalau Maru tentu saja tak bisa membela diri. Jika Maru membela diri, berarti Maru bukanlah manusia. Maru hanya diam.
Eun Gi juga meminta Maru menelepon Joon Ha untuk menjemputnya. Ia pun menunggu Joon Ha di luar mobil Maru.
Saat Joon Ha datang dan membimbingnya masuk ke kursi belakang, Eun Gi malah membuka pintu depan dan duduk sehingga ia berhadap-hadapan dengan Maru. Tapi Maru hanya menatap Eun Gi dengan muram.
Joon Ha memandang iba pada Maru. Apalagi saat Eun Gi memintanya untuk mengantarkannya ia pulang kemana saja asal tidak ke rumah Maru.
Maru memandangi mobil Joon Ha hingga menghilang dari pandangannya. Ia teringat kembali pada percakapannya dengan Eun Gi saat sarapan dulu. “Jika kau mengetahui kalau aku adalah bajingan, apa yang akan kau lakukan?” “Aku tak akan memaafkannya. Demi pria yang aku pilih, aku bahkan meninggalkan ayahku.”
Saat itu ia menyuruh Eun Gi untuk tidak melupakan ucapannya dan tetap pada pendiriannya. Ia tersenyum kecil menyadari kalau Eun Gi menepati kata-katanya.
Tapi rasanya perih sekali, bukan Maru-ssi? Kau yang menggali lubang itu, kau yang menyuruh Eun Gi untuk mendorongmu ke lubang itu, tentunya terasa sakit, bukan?
Joon Ha mengantarkan Eun Gi ke sebuah hotel dan memintanya untuk beristirahat. Tapi Eun Gi memintanya untuk tidak pergi meninggalkannya. Ia yakin kalau akan terjadi suatu kecelakaan dan mungkin ia akan mencelakakan dirinya sendiri,
“Hari ini, tetaplah di sisiku dan lindungilah aku.”
Jae Gil dan Choco hanya bisa memandangi Sekretaris Hyun yang mengemasi semua barang-barang Eun Gi.
Jae Gil bertanya apakah Eun Gi benar-benar tak mau kembali? Dan kenapa harus buru-buru? Yang mereka lakukan bukanlah sebuah skandal dan ia membujuk Sekretaris Hyun untuk membawakan barang-barang Eun Gi besok saja.
Tapi Choco memahami perasaan Eun Gi. Eun Gi pasti membenci semuanya. Ia tak bisa mempercayai siapapun, ia juga tak tahan melihat siapapun, “Aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku menjadi kak Eun Gi.”
Menahan air matanya, Choco melepaskan ikat rambutnya dan menitipkannya pada Sekretaris Hyun, “Bisakah Anda memberikan ini untuk kak Eun Gi? Dia bilang ikat rambut ini sangat cantik.”
Sekretaris Hyun tersenyum sedih dan menerima ikat rambut itu. Tapi rasanya itu tidaklah cukup bagi Choco untuk menahan kesedihan yang ia rasakan. Sekuat tenaga ia menahan air matanya untuk tak keluar. Jae Gil pun juga begitu.
Di pintu depan, Sekretaris Hyun bertemu dengan Maru yang baru saja pulang ke rumah. Ia tak enak hati karena membawa koper Eun Gi, “Direktur Seo memintaku untuk membawa semua barang-barangnya.”
Maru hanya mengangguk dan membiarkan Sekretaris Hyun pergi meninggalkan rumah. Jae Gil turun dan sebagai sahabat yang baik, ia menawari Maru untuk minum-minum. Tapi Maru tak mau. Ia malah ingin makan. Dan Maru berteriak pada Choco, memintanya untuk menyiapkan makanan untuknya.
Choco dan Jae Gil nampak khawatir, tapi mereka hanya bisa memandangi Maru yang makan dengan lahap seolah tak terjadi sesuatu yang luar biasa hari ini.
Tapi mereka tak tahu kalau di kepala Maru masih terngiang kata-kata Eun Gi di mobil tadi. “Saat aku tergila-gila padamu, ayahku meninggal dunia. Aku tak dapat kembali dan menghadapinya. Tak peduli aku jatuh atau kalian yang jatuh, tak peduli aku berdarah atau kalian yang berdarah. Selama aku bisa mengalahkan kalian, selama aku dapat membunuh kalian, aku akan melakukan segalanya.”
Maru berhenti makan dan meletakkan sendoknya. Makanan yang ia telan seakan tersekat di tenggorokan saat ia menyadari sesuatu.
Saya rasa Maru menyadari kalau Eun Gi seperti membawa bom bunuh diri dan akan meledakkan di hadapannya dan Jae Hee. Dan ia tak akan membiarkan Eun Gi untuk membawa bom bunuh diri itu.
Maka ia pergi menemui Jae Hee yang baru pulang ke rumah tengah malam karena menghindari kejaran para wartawan.
Mereka duduk berhadapan di ruang tamu, dengan Min Young berdiri di belakang Jae Hee seperti pengawal pribadinya.
Jae Hee bertanya apakah yang terjadi hari ini adalah ulah Maru? Maru menjawab iya. Tapi Jae Hee belum bisa memahami Maru. Keuntungan apa yang akan ia peroleh dengan membocorkan masa lalu mereka?
“Han Jae Hee. Dari awal tujuanku hanya satu. Untuk mendapatkanmu dan membawamu pergi.”
“Tutup mulutmu!” bentak Min Young. Sementara Jae Hee hanya bisa tercengang mendengar pengakuan Maru. 
Tapi Maru tak mempedulikan Min Young. Ia tahu kalau akan ada konferensi pers yang menjelaskan tentang masa lalu mereka dan rencana untuk menuntut orang yang membocorkan berita itu, “Sebaiknya kalian membatalkan rencana itu. Aku akan mengirimkan bukti yang lebih memberatkan kalian. Kalian akan langsung tamat riwayatnya.”
Min Young marah mendengar ancaman Maru. Tapi Jae Hee masih memikirkan alasan Maru yang katanya demi dia. Bukankah Maru melakukan semuanya ini demi Eun Gi?
Maru terlihat bosan mendengar hal ini. Ia melakukan ini karena menuruti kata hatinya. Karena ia kasihan pada Eun Gi, maka ia ingin mengembalikan Eun Gi menjadi Eun Gi yang seperti dulu. “Cinta adalah..apa yang telah kuberikan padamu, Noona.”
Maru mengembalikan semua kata-kata Jae Hee yang dulu pernah Jae Hee ucapkan di depan rumahnya. Betapa orang akan menyadari arti cinta setelah kehilangan cinta itu. Dan tak peduli berapapun harga yang harus dibayar, orang ingin menemukan cinta itu kembali, “Itu adalah cinta. Benar, kan, Noona?”
Jae Hee terpana mendengar ucapan Maru. Sementara Min Young tampak semakin geram. “Jaga ucapanmu,” kata Min Young memperingatkan. “Yang kau cintai bukanlah Han Jae Hee, tapi Seo Eun Gi.”
Maru tersenyum mendengar kata-kata Min Young. Jika ia memang menyukai Eun Gi, kenapa juga ia harus memilih jalan ini? “Saat pernikahan sudah ada dalam genggaman dan ada di hadapanku. Aku tidaklah sebodoh itu. Aku melakukan ini .. agar hubunganku dengan Seo Eun Gi bisa benar-benar berakhir.”
Dan seakan Min Young tak pantas berada di ruangan ini, Maru bertanya pada Min Young sampai kapan ia akan berdiri di situ? “Sekarang aku ingin berbicara dengan Noona tentang hal-hal yang penting dan mendalam yang cukup kami berdua yang tahu. Apakah kau tak akan merasa canggung? Kumohon, pergilah saja.”
Joon Ha masih tinggal di kamar Eun Gi dan ia teringat betapa muramnya wajah Maru saat menjemput Eun Gi. Ia menghela nafas, dan menyadari sesuatu setelah ia melihat jam.
Ia mengetuk-ketuk pintu kamar mandi dan memanggil Eun Gi yang sudah satu setengah jam di kamar mandi. Ia menjadi khawatir karena tak ada jawaban. Ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Ia semakin panik dan akhirnya menelpon pihak hotel.
Min Young keluar rumah dan sangat marah. Entah kenapa rasanya LOL banget, melihat ekspresi Min Young seperti ekspresi Tom yang terusir karena ada Jerry yang lebih disayang si pemilik rumah dan sekarang menggantikannya di dalam rumah.
Room service hotel telah datang dan Joon Ha menatap tak sabar saat pegawai hotel itu mencoba satu persatu kunci untuk membuka pintu kamar mandi. Setelah terbuka, ia menunggu pegawai wanita itu masuk dan memeriksa kondisi Eun Gi.
Pegawai hotel itu keluar dan mempersilakan Joon Ha untuk masuk. Di dalam kamar mandi, ternyata Eun Gi tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri. Ia hanya duduk termenung di bathtub, masih dengan baju pengantinnya.
Pelan-pelan Joon Ha memanggilnya. Tapi Eun Gi tetap diam, seperti berada di dunia lain. Kali ini Joon Ha memanggilnya lagi, tapi tidak dengan panggilan Direktur Seo, melainkan, “Eun Gi-ya..”
“Aku tak dapat membencinya,” kata Eun Gi tiba-tiba. “Kang Maru, harusnya aku membencinya, marah dan jijik padanya. Tapi bagaimanapun usahaku, aku tak dapat membencinya.”
Eun Gi menyebut Maru bajingan yang tak pernah mencintainya. Karena telah menghancukan hidupnya, Maru merasa bersalah dan kasihan padanya. Tapi Maru tak pernah mencintainya, yang Maru cintai hanyalah Jae Hee. “Dia menggunakanku untuk mendapatkan Han Jae Hee. Dia mempermainkan seorang gadis bodoh dan gampangan yang hilang ingatan. Tapi aku tetap tak dapat membencinya.”
Karena itulah maka Eun Gi membocorkan hubungan mereka bertiga. Jika ia mempublikasikannya, perasaannya pada Kang Maru yang tak masuk akal ini akan berakhir.  Sehingga jika ia menyerah dan mencoba kembali pada Maru, semua orang di dunia ini akan menghentikannya. 
Tak sadar Joon Ha meneteskan air mata melihat Eun Gi yang menderita. Eun meminta pendapatnya, “Aku telah bertindak benar, kan? Ayahku pasti akan bahagia di surga, kan?” Namun air mata Eun Gi terus bercucuran, “Tapi aku sangat merindukannya.  Aku benar-benar sangat merindukan Kang Maru. Apa yang harus kulakukan, Oppa?”
Di meja makan, Jae Hee memperingatkan Maru agar tak main api dengan Min Young karena Min Young bisa membunuhnya.
Tapi Maru tetap santai malah meminta Jae Hee untuk membicarakan diri mereka sendiri. Ia mengusap rambut Jae Hee dan berkata kalau Maru yang berhati dingin telah datang secara khusus dan menginginkan Jae Hee.
Jae Hee terpana mendengar rayuan Maru, apalagi saat Maru menggenggam bahunya dan meminta mereka melanjutkan hubungan karena skandal hubungan mereka telah terlanjur terkuak ke publik.
Hmm… Maru yang sekarang adalah Maru si gigolo. Sesaat Jae Hee nampak bimbang mendengar kata-kata manis Maru, tapi kemudian ia tersenyum. “Hampir saja aku tertipu. Memikirkan kalau kau benar-benar menginginkanku, benar-benar ingin membawaku pergi..”
Senyum Maru merayu Jae Hee, “Menurutmu aku tak serius?” Tapi kali ini Jae Hee sudah sadar. Ia tersenyum berkata kalau ia sangat mengenal Maru lebih baik daripada Maru sendiri. “Menjatuhkanku dan membawaku pergi. Semuanya itu demi Seo Eun Gi, kan? Bahkan jika kau ingin menjual dirimu padaku, itu karena kau ingin melindungi Seo Eun Gi, kan?”
Maru menyadari kedoknya terbongkar. Tapi ia tak mundur, malah menantang Jae Hee, “Jadi.. apakah kau berminat untuk membeliku?”
Jae Hee tak percaya melihat keterusterangan Maru dan ia menantang balik, “Apakah kau mau jika aku melakukannya?”
Tanpa berkedip Maru menjawab, “Tentu saja. Tapi itu terjadi jika kau mau meninggalkan dan mengembalikan semuanya, serta mengundurkan diri dan ikut ke duniaku tanpa Seo Eun Gi. Tinggal di sana selamanya.”
Jae Hee tampak gentar mendengar tantangan Maru, “Jadi, apakah kau mau menerimanya, Noona?”
Sementara Joon Ha menunggui Eun Gi yang tertidur lelap, Maru telah pulang ke rumah. Ia memasuki kamar Eun Gi yang sekarang hanya ditempati oleh Choco yang sudah tertidur.  
Dalam kegelapan, Maru duduk di tempat tidur Eun Gi dan menyentuh bantal, mencari sedikit jejak Eun Gi yang tertinggal di bantal itu. Ia melihat tak ada barang yang tertinggal, kecuali satu. 
Foto mereka saat di Aomori.
Ia hanya bisa menatap dan menyentuh wajah Eun Gi yang tersenyum padanya.
Pagi-pagi, Jae Hee dikagetkan oleh kabar yang dibawa oleh bibi pembantu. Eun Gi pulang dengan membawa koper. Ia menemui Eun Gi yang ada di ruang kerja Presdir Seo sedang menatap foto ayahnya.
Entah bimbang atau segan, Jae Hee perlahan menyapa Eun Gi yang katanya telah memutuskan untuk pulang ke rumah. Eun Gi mengiyakan karena ia tak bisa tinggal lagi di rumah Maru.
Jae Hee memuji tindakan Eun Gi. Dan ia ingin menjelaskan hubungan masa lalunya dengan Maru, tapi Eun Gi menghentikannya. Eun Gi tak ingin mengatakan apapun tentang itu dan ingin melupakannya.
“Orang yang membocorkan berita itu pada pers adalah bajingan itu,” kata Jae Hee tiba-tiba. Ia mengatakan kalau Maru berniat untuk menghancurkan mereka semua. Sebelum Eun Gi amnesia, ia juga telah mencoba mengingatkannya, tapi Eun Gi tak mau mendengarnya. “Kau sudah melupakan perasaanmu pada bajingan itu, kan?”
Walau terkejut mendengar Maru menjadikan dirinya sendiri sebagai kambing hitam, tapi Eun Gi hanya terdiam.  
Saat Eun Gi turun tangga, ia mendengar suara tangisan Eun Suk yang pulang ke rumah dan berteriak pada ibunya, “Ibu jahat! Aku benci ibu!”
Skandal masa lalu ibu dan tunangan kakak Eun Suk rupanya telah masuk ke sekolahnya dan Eun Suk diejek oleh teman-temannya.
Jika skandal itu telah masuk ke sekolah Eun Suk, skandal itu lebih kejam di kantor Maru. Tapi Maru pasrah saat mendengar bisikan-bisikan yang mengunjingkan dirinya saat ia berjalan di kantor.
Joon Ha yang mendengarnya hanya bisa menatap punggung Maru dengan iba.

Pagi itu, Min Young sudah menunggu kedatangan Jae Hee. Kali ini Jae Hee tak ada ramah-ramahnya sama sekali pada pengacara itu. Ia bahkan menyindir Min Young ada perlu apa ia datang ke tempat dimana pemiliknya belum datang.


Min Young memilih mengabaikan sindirian Jae Hee dan berkata kalau sebentar lagi akan diadakan rapat direksi yang akan membicarakan tentang skandal tentang Jae Hee dan Maru. Dan ia menyuruh Jae Hee untuk tidak mengakui skandal tersebut. Ia sudah memberitahu wartawan kalau berita kemarin adalah fitnah serta pencemaran nama baik dan mereka akan menuntut pelakunya.
Walau Kang Maru akan hadir di rapat itu, tapi ia akan menghentikannya agar Kang Maru tak akan sempat mengatakan sesuatu yang tak diharapkan.
Jae Hee mengerti dan menyuruh Min Young untuk pergi karena ia ingin sendirian. Tapi urusan Min Young belum selesai. Ia bertanya apa yang akan Jae Hee lakukan dengan Maru? Apakah Jae Hee akan meninggalkan Taesan dan mengikuti Maru?
Jae Hee tak mau menjawabnya, “Mengapa aku harus memberitahukan padamu, Direktur Ahn? Ini adalah masalah pribadiku. Kenapa?”
Kedua tangan Min Young langsung menyambar kerah baju Jae Hee dan mencengkeramnya dengan kasar. Jae Hee terkejut apalagi mendengar kata-kata Min Young, “Kau yang main-main denganku dulu. Kau menyuruhku untuk menjadi milikmu. Untuk melindungimu.”
Jae Hee mencoba menyela, tapi Min Young belum selesai berbicara, “Kau bilang kita tidak satu level? Siapa yang membuatmu seperti sekarang ini? Siapa yang membuat orang yang seharusnya dipenjara 30 tahun karena pembunuhan, dari kasta terendah di masyarakat, mampu meraih segalanya?”
Jae Hee ketakutan melihat sisi gelap Min Young yang belum pernah ia lihat. Min Young mengancam Jae Hee kalau ia tak akan pernah bisa bersama Maru, “Jika kau pergi kepadanya, kau harus mati dulu.”
Min Young melepaskan cengkeramannya dan dengan lebih pelan ia berkata kalau Jae Hee adalah miliknya. Untuk mendapatkan Jae Hee, ia telah meninggalkan semuanya dan melangkah hingga sejauh ini, “Ayo kita menikah, Han Jae Hee.”
Dan untuk meresmikannya ia mencium paksa Jae Hee. Jae Hee berusaha menolak, tapi sia-sia.
Whoa.. bukankah seharusnya kau harus berlutut untuk meminangnya, Min Young? Kenapa kau malah mencengkeram dan mengancam calon pengantinmu?
Di toilet, Jae Hee masih shock dan hanya bisa mengusap mulut jijik, mencoba menghapus bekas ciuman Min Young.
Saat mengawasi sesi pemotretan iklan Taesan di studio foto, para staf dan model menggunjingkan Maru di belakangnya. Tapi Maru tetap mempertahankan sikap cuek namun sopannya.
Joon Ha mendatanginya dan mengulurkan sekaleng kopi padanya, “Apakah kau baik-baik saja?”
Aww.. I know you never ever want to harm Maru, Joon Ha-ssi.
Mereka duduk berdua di taman perusahaan dan Joon Ha menunggu Maru berbicara. Tapi Maru hanya diam dan meminum kopinya dengan tenang, membuat Joon Ha bertanya, 
 “Kenapa kau tak bertanya apa-apa padaku? Bagaimana kabar Eun Gi? Apa ia terluka? Apa ia menangis? Apakah ia menderita? Atau.. apakah ia sudah melupakan Kang Maru, apakah ia makan dengan baik atau hidup dengan baik? Apakah kau tak ingin tahu?” 
“Aku ingin tahu,” jawab Maru jujur. “Tapi kalaupun aku ingin tahu, aku tak mau menanyakan apapun padamu.”
Sekarang Joon Ha yang malah penasaran. Mengapa Maru tak ingin tahu?
“Jika ia benar-benar telah melupakan Kang Maru, dan sedang makan dan hidup dengan baik, maka itu akan melukaiku,” kata Maru tersenyum. Namun ia menghela nafas dan menunduk saat melanjutkan, “Dan jika jawabannya sebaliknya, aku juga tetap akan terluka.”
Joon Ha tersenyum dan meminta Maru untuk menanyainya saja, “Jawabannya bisa saja tak terduga.”
Tapi Maru tetap tak mau dan ia meminta diri untuk pergi. Hanya ketika ia sendiri di ruang kerjanya, terlihat sebenarnya ia ingin tahu keadaan Eun Gi. Ia mengambil handphone-nya, dan menulis nama Seo Eun Gi di sana. Tapi ia ragu untuk menekan nama itu.
Mendadak ada telepon masuk dari nomor yang tak dikenal. Maru mengangkat telepon, namun tak ada suara yang terdengar. Maru mengucap halo berkali-kali, tetap tak ada suara yang menjawab.
Hanya terdengar lagu San Fransisco mengalun, membuat Maru tersadar dan berbisik dalam hati, “Ini Eun Gi..”
Eun Gi hanya mendengarkan suara Maru yang tadi berkata halo berkali-kali. Ia tak bersuara, tapi juga tak mematikan handphone. Hanya lagu San Fransisco yang menemaninya menghadapi Maru.
“Halo..”
“Halo..”
“Apakah kau sudah makan? Apakah kau tidur dengan nyenyak?”
“Bagaimana denganmu? Apakah kau bisa tidur nyenyak? Apakah kau merasa tidak nyaman?”
“Apakah kau menderita? Aku sendiri.. merasa menderita.”
“Hari itu.. badanmu demam.Kau memakai baju pengantin yang tipis, apakah kau tidak sakit?”
“Aku harap kau tidak menderita. Aku harap kau tak menderita karenaku.”
“Aku merindukanmu, Eun Gi-ya.”
Eun Gi menutup telepon dan memutuskan pembicaraan. Tapi Maru tetap memegangi handphone-nya, dan kali ini berbicara tidak di dalam hati, “Aku merindukanmu, Seo Eun Gi.”
Walau sambungan telepon sudah terputus, Eun Gi masih memandangi nama Maru yang ada di layar handphone.
Dan Maru tersenyum setelah menerima telepon itu, “Besok telepon aku kembali, Eun Gi-ya. Aku akan selalu menunggu telepon darimu.”
Jae Shik malam-malam datang ke rumah Maru untuk membicarakan sesuatu. Selain mencari Maru ia juga mencari makan. Sudah terbiasa, Choco tetap menghidangkan makanan untuk Jae Shik.
Belum juga makan, Jae Shik sudah ribut dengan bahan daging yang digunakan. Ini daging sapi lokal atau impor? (Lokal) Bagaimana dengan levelnya? (Level apa?) Ia tak mau memakan apapun yang dibawah level 1+.
Choco hanya bisa menelan kekesalannya melihat sang Ratu Jae Shik ini. Dan seperti kebiasaan Jae Shik, ia harus minum susu dulu sebelum makan. Dan kesabaran Choco sudah habis dan ia juga takut kalau Jae Shik marah, maka ia pura-pura mau ke kamar kecil dan menyerahkan segalanya pada Jae Gil.
Tapi Jae Gil terlalu sibuk dengan kayu kecil yang sedari tadi dibawa Jae Shik. Di kayu itu ada ukiran tangan Jae Shik . Ada nama Maru dan tanda tanya (?) di kayu itu. Apakah Maru yang ditulis Jae Shik itu adalah Maru-nya?
Jae Shik sedikit tergagap dan menutupinya dengan kemarahan. Ia marah karena Jae Gil mengambil barang orang seenaknya dan tak ada susu untuknya.
Malam-malam, Jae Hee masih ada di kantor dan minum-minum. Ancaman Min Young masih terekam jelas di benaknya membuatnya resah. Ia juga teringat kata-kata Maru tentang tawarannya untuk mendapatkan Maru dengan imbalan meninggalkan Taesan selamanya.
Maru ternyata bekerja lembur di ruangannya. Terdengar ketukan di pintu dan Jae Hee masuk dengan membawa alkohol dan dua gelas untuk mereka berdua, “Ayolah minum dengan noona, Maru.”
Tak menunggu jawaban Maru, Jae Hee duduk dan menuangkan minuman di gelasnya dan gelas Maru. Entah karena kasihan atau ingin cepat mengusir Jae Hee, Maru terpaksa duduk menemani Jae Hee dan berkata kalau tak pantas bagi mereka untuk minum-minum di kantor.
Tapi Jae Hee mengatakan tak apa-apa. Selama Maru tak memberitahukan pada siapapun, maka semuanya oke, “Dan jangan sekali-kali kau beritahu Direktur Ahn.”
Maru hanya terdiam melihat Jae Hee minum dan melantur. Menurut Jae Hee, betapa ironisnya mereka. Demi menggapai kekayaan dan kekuasaan, mereka mengorbankan kesehatan dan masa muda mereka. Dan setelah menjadi kaya berkuasa namun tua dan sakit-sakitan, mereka menghabiskan semua kekayaan mereka demi menjadi muda dan sehat. “Apa otak mereka terbuat dari batu?” cemooh Jae Hee.
Maru tetap diam saja. Jae Hee kemudian menelepon Jae Shik. Ia menyuruh Jae Shik untuk menghentikannya jika nanti ia mulai bertingkah gila dan berkata akan menyerahkan semuanya demi mendapatkan seorang pria. “Jika aku… tak mau mendengarkanmu.. kau boleh menyeretku ke rumah sakit jiwa, dan menggunakan apapun untuk menyumpal mulutku. Jangan biarkan aku untuk keluar. Kau harus bertanggung jawab dan menghentikanku.”
Eun Gi bekerja di rumah dan sedang berbincang-bincang dengan Sekretaris Hyun tentang uang yang dulu pernah masuk ke rekeningnya. Ia baru tahu kalau dana itu adalah dana rahasia yang dimiliki Jae Hee dengan bantuan Direktur Kim (Direktur yang dulu koma dipukuli dan Maru yang jadi tersangka utama).
Masih tetap menelepon Sekretaris Hyun, Eun Gi menyadari kalau gelasnya telah kosong dan ia berniat turun ke bawah untuk mengambil minuman kembali.
Betapa kagetnya ia melihat Jae Hee masuk rumah. Jae Hee mabuk dan hampir saja terjerembab jika tak ditahan oleh.. Maru.
Maru tak melihat kehadirannya. Tapi Jae Hee melihatnya. Ia menyapa Eun Gi dengan riang dan bertanya apakah Eun Gi belum tidur?
Hati Maru mencelos saat mendengar nama Eun Gi disebut. Ia langsung melepaskan tangannya dari lengan Jae Hee. Namun terlambat, Eun Gi sudah melihat semuanya.
Walaupun marah, Eun Gi menyembunyikannya dan berbasa-basi bertanya mengapa Jae Hee minum-minum. Jae Hee tersenyum dan mengatakan kalau ia sedang bahagia maka ia minum. Ia pun mengajak Eun Gi dan Maru untuk minum bertiga. “Kalian pasti sudah lama tak pernah bertemu, kan? Pasti banyak sekali hal yang dapat diperbincangkan.”
Maru melihat betapa muramnya wajah Eun Gi. Maka Maru menarik Jae Hee dan dibantu dengan bibi pembantu, ia membimbing Jae Hee masuk kamar.
Di dalam kamar Jae Hee, setelah melihat bibi pembantu menyelimuti Jae Hee, ia pun melangkah pergi. Tapi langkahnya terhenti karena ucapan Jae Hee, “Aku menyesalinya. Maru.. Aku menyesalinya. Sangat, sangat menyesalinya.”
Maru tak merespon apapun dan keluar kamar. Di luar ia menatap ke seluruh ruang tengah, mencari sosok Eun Gi. Tapi gadis itu tak terlihat di manapun.
Eun Gi duduk di kamar saat terdengar suara ketukan pintu. Maru masuk dan menyapanya. Ia melihat kamar Eun Gi dan bertanya, “Apakah kau tinggal di sini?”
“Hmm…” tukas Eun Gi pendek, mengiyakan tapi tak mau menatap Maru.
Mendapat sambutan yang tak ramah, Maru tetap memandang Eun Gi dan bertanya, “Apakah kau baik-baik saja?”
“Hmm..”
“Apakah kau sudah makan?”
“Hmm..”
“Tidurmu juga nyenyak?”
“Hmm..”
"Kau tak sedang sakit, kan?”
“Hmm..”
Maru tersenyum dan bertanya, “Apakah kau tak tahu kata lain selain ‘hmm’?”
Kali ini Eun Gi mengangguk, tidak meng-hmm lagi, tapi tetap menolak untuk menatap Maru.
“Jadi seperti ini bentuk kamarmu,” kata Maru. Ia berjalan sambil melihat-lihat ruangan Eun Gi. “Setelah tinggal di kamar sebesar ini, kau harus tinggal di kamar Choco. Pasti terasa berat untukmu.”
Tepat di hadapan Eun Gi, Maru berhenti dan memandangnya, “Apakah kau tak ingin mengatakan sesuatu padaku?”
Eun Gi hanya diam dan menatap lantai. Maru pun tahu diri dan berkata, “Kalau begitu, aku akan pergi.”
Maru keluar dan menutup pintu. Dan saat itu juga, Eun Gi bangkit dan pergi mengejar Maru.
Hingga di depan pintu. Eun Gi berhenti tepat di depan pintu, meraih gagang pintu dan ingin membukanya. Tapi terhenti.
Maru berdiri di balik pintu, menunggu pintu itu terbuka, menunggu Eun Gi mengejarnya.
Tapi Eun Gi hanya terdiam dan malah melepas gengamannya.
Begitu pula Maru. Ia tak berani meraih gagang pintu untuk membukanya. Ia malah mengeluarkan handphone dan menelepon Eun Gi dari balik pintu.
Berhadap-hadapan, terpisahkan oleh sebuah sekat, Maru berkata pada Eun Gi, “Apakah sekarang ini adalah satu-satunya tempat yang bisa kau tempati? Mengapa wajahmu pucat sekali? Aku tak dapat melihatnya karena kelihatan sangat pucat.”
Eun Gi tercekat mendengar suara Maru, tak dapat menjawab apapun.
“Apakah Han Jae Hee tak memberimu makan? Apakah ia mengganggu dan merepotkanmu?” Maru tetap tak mendengar satu katapun dari Eun Gi. “Aku benar-benar akan pergi. Hiduplah dengan bahagia. Selamat malam.”
Sambungan telepon terputus dan Eun Gi tetap berdiri di depan pintu dan dalam hatinya berkata, “Aku sangat bahagia karena hari ini melihat wajahmu. Jaga dirimu.”
Keesokan paginya, Maru dihadang oleh Jae Gil yang berbaring di depan pintu, menghalanginya untuk pergi ke kantor. Jae Gil tak akan pindah sampai Maru mau pergi ke rumah sakit.
Maru tak ingin berdebat, tapi ia harus kerja. Jae Gil tak mau mendengar bualan Maru. Ia duduk dan bertanya, “Apa sekarang pekerjaan lebih penting? Aku berniat untuk menyeretmu ke rumah sakit setelah kau menikah. Tapi kau menghancurkan pernikahanmu, jadi tak ada alasan lagi untuk tidak pergi. Ayo, sekarang pergi!”
Maru sangat kesal dan membentak Jae Gil. Tapi Jae Gil tak takut. Ia tahu kalau Maru seperti ini karena takut terjadi sesuatu. Maka ia minta agar Maru tak perlu khawatir,
“Jika kau mati saat dioperasi, aku akan mendampingi Choco seumur hidupku. Jika kau mendapat komplikasi atau lumpuh, aku akan merawatmu seumur hidupku. Jadi janganlah khawatir dan pergilah operasi.”
Aww.. Mr Big and Nice Guy..
Jae Gil kembali berbaring dan memutuskan untuk tetap seperti ini, “Hingga kau mati atau aku yang mati. Jika kau benar-benar ingin pergi kerja, maka langkahilah aku.”
LOL, baru tahu saya kalau berbaring telungkup dan dilangkahi bisa menyebabkan kematian.
Choco masuk dan kaget melihat Jae Gil berbaring di depan pintu. Ia bertanya pada Maru mengapa Jae Gil berbaring seperti itu. Maru memasang wajah senyumnya dan mengatakan tak tahu. “Jae Gi yang menyuruhku untuk melangkahinya dan pergi.”
Dan Maru benar-benar menginjak pantat Jae Gil dan melangkah pergi. Jae Gil menjerit kesakitan dan berdiri, namun tak dapat berkata banyak karena sudah ada Choco di antara mereka. Ia hanya mengernyit sakit merasakan ijakan Maru.
Tapi Choco yang polos bertanya mengapa Jae Gil menyuruh Maru menginjaknya, seolah badanya memang boleh diinjak, “Apakah kau menyukai pijat Shiatsu?”
LOL.

Jae Hee masih berbaring di tempat tidur, merasa kacau. Saat bibi pembantu datang, ia bertanya padanya, apakah Maru semalam pergi ke kamar Eun Gi?
Bibi pembantu mengiyakan. Tapi ia mengatakan kalau Maru tidak lama tinggal di dalam kamar. Yang lama adalah saat Maru keluar dan berdiri di depan pintu kamar Eun Gi.
Eun Gi menemui Joon Ha dan berkata kalau ia sekarang sedang menyelidiki tentang kematian ayahnya. Banyak sekali kecurigaan yang menyebar di publik dan beberapa orang berpikir kalau ini adalah kasus pembunuhan.
Menurut bibi pembantu, Min Young dan Jae Hee datang di waktu yang bersamaan pada malam itu. “Apakah itu hanya kebetulan? Ayah tak mengetahui tentang video perselingkuhan mereka, kan?”
Joon Ha ragu, namun akhirnya ia jujur. Presdir Seo sudah tahu jauh sebelum ia menunjukkan video itu pada Eun Gi.
Eun Gi ngeri membayangkan ayahnya yang sedang sakit menghadapi pengkhianatan orang kepercayaannya. Joon Ha menambahkan kalau sebenarnya Presdir Seo sudah berencana untuk menyingkirkan mereka sekaligus, “Ia menyuruhku untuk melakukannya.”
“Kenapa kenyataan seperti ini harus kau sembunyikan hingga sekarang? Apakah ini yang ingin kau katakan setelah ingatanku kembali? Apakah tak ada yang kau sembunyikan lagi? Katakan padaku semuanya!”
Joon Ha duduk sendirian di taman. Kenangan saat Presdir Seo meninggal dan ancaman Min Yong padanya masih terekam jelas di kepalanya. Ancaman kalau Min Young juga akan melaporkan ayah Joon Ha yang ditugaskan oleh Presdir Seo untuk melenyapkan ibu Eun Gi.
Dan yang selanjutnya terjadi adalah Joon Ha mendatangi Maru dan meminta bantuannya.
Maru sedang berjalan menyusuri taman. Saat itu, terdengar suara Eun Gi, “Setiap orang memiliki kenangan yang tak dapat dihapus, tak peduli seberapa kerasnya mereka mencoba.”


Dan duduk di bangku taman, Maru menemani Jae Hee yang menangis tersedu-sedu dan menggenggam tangannya. Pelan-pelan, Maru meraih Jae Hee ke dalam pelukannya.
Sekali lagi, terdengar suara Eun Gi. Namun kali ini Eun Gi terlihat mengawasi Maru dan Jae Hee dari jauh, “Kenangan adalah suatu hal yang selalu berubah dan memudar. Kenanganku, apakah aku dapat mempercayai kenangan itu? Yang aku lihat hari itu, sebenarnya apa?”


source : http://www.kutudrama.com/2012/11/sinopsis-nice-guy-episode-18-2.html
re-posted and re-edited by : dianafitriwidiyani.blogspot.com

No comments:

Post a Comment