Tahun 1989, Republik Korea Selatan, Istana Baru.
Hari
menjelang malam, lampu-lampu di istana mulai dinyalakan. Pengawal
istana mengganti giliran jaga. Tak lama kemudian beberapa mobil berhenti
di depan istana. Orang-orang di dalam mobil itu turun dan memasuki
istana. Seorang pemuda menyaksikan kedatangan mereka dari balik jendela.
Pemuda itu berjalan menuju lobi istana. Istana yang dari luar tampak
sepi ternyata sebaliknya. Orang-orang lalu lalang membawa laporan dan
telepon terus berdering.
Pria yang turun dari mobil tadi adalah
Sekretaris Negara Eun Gyu-tae (Lee Soon-jae). Ia baru saja hendak
memulai rapat ketika teleponnya (atau walkie talkie ya? Jaman dulu kan
belum ada ponsel :p) berdering. Setelah menerima telepon, ia segera
meninggalkan ruang rapat menuju bagian istana kediaman keluarga
kerajaan. Pemuda yang menyaksikan kedatangannya dari balik jendela
adalah Putera Mahkota Lee Jae-kang. Ia berjalan menyusuri koridor istana
dan berpapasan dengan Sekretaris Eun.
Sekretaris Eun memberi
hormat. Putera Mahkota dengan khawatir bertanya apakah perang sudah
dimulai. Sekretaris Eun tersenyum dan mempersilakannya masuk ke dalam
ruang keluarga kerajaan.
Di
ruang keluarga istana, Raja dan Ratu sedang menonton berita dari
televisi. Reporter menyiarkan berita langsung dari Tembok Berlin,
Jerman. Raja memberi isyarat agar Putera Mahkota duduk di sebelahnya dan
ikut menonton. Penyiar memberitakan sukacita rakyat Jerman karena
runtuhnya Tembok Berlin (tembok pemisah Jerman Barat dan Timur. Dengan
runtuhnya tembok itu, rakyat Jerman seluruhnya bersatu).
Saat
mereka sedang serius menonton tiba-tiba seorang anak kecil masuk dan
berteriak kalau mainannya rusak. Ratu segera menenangkan anak itu agar
tidak ribut. Anak itu adalah Pangeran Lee Jae-ha.
Putera Mahkota menegur adiknya yang masih bermain walau sudah malam.
“Bukan urusan Kakak!” sergah Jae-ha.
Jae-kang
bertanya apakah Jae-ha sudah menulis diarinya. Jae-ha balik bertanya
siapa yang membiarkan kakaknya menonton TV hingga malam. Raja menegur
Jae-ha karena tidak sopan terhadap kakaknya. Ratu buru-buru menyuruh
Jae-ha kembali tidur. Raja dan Jae-kang kembali menyimak berita. Raja
tampaknya kagum dan senang dengan runtuhnya Tembok Berlin.
Ratu
membawa Jae-ha untuk mengikuti pelajaran di sebuah sekolah. Ratu
seorang yang rendah hati. Ketika para pejabat sekolah dan para guru
menyambutnya dengan hormat dan seorang anak perempuan memberikan sebuket
bunga pada Ratu, ia berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Perhatian Jae-ha langsung tertuju pada si anak perempuan. Tanpa tedeng aling-aling ia langsung bertanya siapa namanya.
“Jae-ha,” tegur ibunya. Jae-ha tidak mempedulikan ibunya. Ia malah maju dan menanyakan usia anak itu.
“Kau cantik,” tambahnya. Ratu speechless…
“Usia saya 13 tahun, Pangeran,” jawab anak perempuan itu.
“Datang dan bermainlah ke istana besok. Kau tahu alamatnya kan? Distrik Jongno, Istana Baru, No. 1,” ujar Jae-ha.
“Jae-ha,”
Ratu menarik puteranya. Para pejabat sekolah tertawa. Kepala sekolah
memuji Jae-ha seorang anak yang pintar, ia pasti menawan hati semua
murid wanita di sekolah ini.
“Di mana kakakku?” tanya Jae-ha tidak peduli. Tanpa menunggu jawaban Kepala Sekolah ia langsung masuk ke dalam.
Di
dalam sekolah, Jae-kang sedang menghadapi masalah. Ia disergap oleh
beberapa orang temannya di dalam kelas. Seorang anak dengan angkuh
berkata ayahnya telah menyumbangkan 500 juta won pada kerajaan. Berarti
uang yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah uang keluarganya. Ia
memperingatkan agar Jae-kang bersikap baik padanya. Jae-kang tidak bisa
membalas perkataan itu karena itu adalah kebenarannya.
“Terima
kasih. Aku akan menggunakannya dengan baik,” ujarnya. Jae-kang hendak
kembali membersihkan kelas tapi temannya tidak puas. Sepertinya ia
berharap Jae-kang membalas hingga merusak reputasinya.
“Apa kau menganggap kau lebih baik dari kami?” bentaknya.
“Jadi apa yang harus kulakukan?” tanya Jae-ha tak bisa menahan kekesalannya.
“Apa yang kau pelototi, berandal!” bentak anak itu.
Brakk!! Pintu kelas terbuka. Semuanya menoleh. Jae-ha berdiri di ambang pintu.
“Apa
yang kalian lihat? Apa yang kaupelototi, berandal?!” bentak Jae-ha
sambil melemparkan penghapus papan tulis. Tepat mengenai dahi anak kaya
yang sombong itu.
“Selain uang, apa lagi yang kalian miliki?
Beraninya berbicara seperti itu pada kakakku!!” dengan berani Jae-ha
menghampiri mereka dan menendang anak itu lalu menjambak rambutnya.
Jae-kang buru-buru menarik adiknya.
Anak
sombong itu tentu saja tidak terima dipukul oleh anak kecil. Ia maju
dan mendorong Jae-ha hingga Jae-ha terjatuh. Kali ini Jae-kang tak
tinggal diam. Ia meninju anak sombong itu. Perkelahian pun tak
terhindarkan lagi.
Seorang anak yang selama ini hanya
menyaksikan dengan berdiri di dekat pintu, mengeluarkan bolpen dari
sakunya. Lalu ia tiba-tiba maju dan menghujamkan bolpen itu ke punggung
Jae-ha. Jae-ha berteriak kesakitan dan jatuh ke lantai.
Jae-kang
berteriak memanggil adiknya. Para pengawal istana masuk dan segera
menolong Jae-ha dan Jae-kang. Anak yang menusuk Jae-ha diam-diam
memasukkan bolpen itu kembali ke saku celananya.
Jae-kang
merawat luka adiknya di laboratorium sekolah. Jae-kang berkata ia telah
menelepon Sekretaris Kim dan memintanya agar merahasiakan peristiwa ini
dari ibunya. Jae-ha bertanya apalah anak yang telah menusuknya telah
ditangkap. Jae-kang berkata anak itu dari kelas lain. Ia juga baru
pertama kali bertemu dengan anak itu.
“Dasar brengsek, kau akan mati jika aku menyentuhmu,” gerutunya.
“Mengapa kau menerobos masuk? Kau begitu kecil,” ujar Jae-kang.
“Karena Kakak akan dilukai. Jika kakak terluka, apa yang harus kulakukan? Kakak akan menjadi Raja di masa yang akan datang.”
“Bodoh,
apa kau begitu mengkhawatirkanku?” tanya Jae-kang. Ia tersenyum dan
mengacak rambut adiknya dengan penuh kasih sayang. Jae-ha menepis tangan
kakaknya dan bergidik geli.
Jae-kang
berkata tidak apa-apa jika ia terluka, Jae-ha bisa mengambil alih
posisinya. Jae-ha berkata itulah sebabnya ia tadi turun tangan, ia tidak
mau menjadi Raja.
“Jika aku menjadi Raja, aku harus belajar
mati-matian dan semua orang akan mengatur hidupku. Aku tidak bisa main
game dan aku akan dipanggil ke berbagai tempat aneh setiap hari. Mengapa
aku ingin menjadi Raja? Apa aku gila?” Jae-ha bergidik, membayangkannya
saja sudah membuatnya ngeri.
Jae-kang kesal mendengar perkataan adiknya yang dianggapnya tidak bertanggung jawab.
Tapi
Jae-ha tidak peduli. Ia berkata jika kakaknya mengungkit hal seperti
ini lagi, bahwa kakaknya akan terluka dan ia harus mengambil alih
sebagai Raja, maka kakaknya akan mati. Tentu saja ini ancaman kosong dan
Jae-kang mengetahuinya. Tapi Jae-kang kesal karena adiknya sama sekali
tidak mengerti tanggung jawab sebagai seorang keluarga kerajaan, sebagai
seorang Pangeran yang menjadi pewaris kedua posisi Raja.
“Diam
di sini dan renungkan kesalahanmu selama 10 menit,” kata Jae-kang sambil
berjalan keluar. Ia mengunci ruang laboratorium. Jae-ha bingung
sebenarnya apa kesalahannya. Ia berteriak agar kakaknya membuka pintu.
Pintu tidak dibuka.
Jae-ha
berbalik dan melihat sesosok bayangan dari balik jendela. Bayangan itu
mengacungkan-acungkan sebuah benda, sepertinya bolpen. Jae-ha mendekati
jendela dan hendak membukanya tapi jendela itu macet.
Bayangan
itu menulis di kaca yang berembun. “I am KING”. Jae-ha menatap jendela
itu lekat-lekat. Orang yang membuat tulisan itu mengelap kaca dengan
tangannya hingga wajahnya terlihat. Anak yang menusuk Jae-ha dengan
bolpen.
Anak itu tersenyum lalu berbalik pergi. Jae-ha berusaha membuka jendela itu dan berteriak menyuruh anak itu berhenti.
“Jika aku menangkapmu, kau pasti mati!” makinya sambil berusaha membuka jendela.
23 tahun kemudian…..
Prang!!
Kaca jendela pecah. Seorang tentara megap-megap kehabisan nafas dan
berusaha mengeluarkan kepalanya dari jendela. Seorang tentara lain
menariknya kembali masuk.
“Tidak!! Aku tidak mau!! Aku akan
mati..uhuk…uhuk…” Ia terbatuk-batuk sambil diseret kembali ke dalam
ruangan yang penuh asap. Ia adalah Pangeran Jae-ha (Lee Seung-gi) yang
telah dewasa.
Ia sedang menjalani wajib militer. Dalam keadaan
terbatuk-batuk, kehabisan nafas, berkeringat, dan lemas, para tentara
itu diperintahkan untuk jongkok-berdiri berulang kali dan menyanyikan
lagu wajib tentara. Ckckck…latihan yang aneh….
Mungkin
begitu juga yang ada di pikiran Jae-ha. Ia meronta melepaskan diri dan
menarik masker yang terikat di kepala instrukturnya. Tak berhasil, ia
menerobos ke luar gedung dan muntah-muntah di tanah.
Dua orang
tentara membantunya berdiri. Seseorang berteriak agar mereka tenang
karena Jae-ha anggota keluarga kerajaan (agar tidak dihukum berat).
Jae-ha menghambur ke komandan pelatihan dan meminta rokok. Komandan
segera menyuruh Jae-ha dibawa kembali ke wisma tentara.
Jae-ha
terus mengomel. Putera Perdana Menteri diperbolehkan tidak mengikuti
wajib militer dan ia adalah anggota keluarga kerajaan. Mengapa ia harus
berkali-kali mengikuti latihan seperti ini? Ia berbalik dan memaki-maki
komandannya. Kalimat favoritnya? “Kau pasti mati!”
Hutan pinus, bagian utara Laut Kuning, pk. 05.37
Beberapa
mobil melewati perbatasan, memasuki wilayah Korea Selatan. Itu adalah
para petinggi militer Korea Utara yang akan mengadakan pertemuan dengan
Raja. Raja berjalan ke ruang pertemuan. Ia adalah Jae-kang (Lee
Sung-min) yang telah menggantikan ayahnya yang telah wafat.
Jae-kang memasuki ruang pertemuan. Para petinggi militer dari Korut dan Korsel memberi hormat. Jae-kang memulai pidatonya.
“Duapuluh
tiga tahun lalu, ketika Tembok Berlin diruntuhkan, Ayahku berkata:
‘kami juga berharap suatu hari nanti Utara dan Selatan bisa berlatih
bersama’. Setelah melewati 23 tahun, impian ini akhirnya menjadi
kenyataan. WOC (World Officers Championship) adalah kompetisi bagi para
pejabat milter. Para pejabat militer dari 18 negara akan berkumpul dan
mempertunjukkan keahlian mereka dalam kompetisi ini. Pejabat militer
dari Utara dan Selatan akhirnya bergabung untuk menjadi satu tim. Aku
tidak meminta banyak. Aku menginginkan rakyat Korea Utara dan Selatan
hidup dalam kedamaian tanpa takut akan terjadinya perang. Adalah
harapanku bahwa WOC tahun ini menjadi langkah pertama menuju ke sana.”
Perjanjian
kerjasama ditandatangani perwakilan dari kedua negara sementara Raja
menyaksikan dengan terharu. Ia menoleh dan tersenyum pada seorang
pejabat militer dari Korea Utara.
Pada saat ramah tamah, Raja bertanya pada pejabat itu apakah Korea Utara sudah menentukan tim yang mengikuti WOC.
“Iya, tapi diantaranya ada seorang wanita.”
“Wanita? Ohh..jadi dalam tim kita ada seorang pejabat wanita?”
“Iya, tapi aku merasa sedikit malu. Sebenarnya dia adalah puteriku.”
Lalu pejabat itu mulai menceritakan dengan berapi-api kehebatan puterinya yang berkemampuan tinggi.
“Dia
adalah Nomor ! Nomor 1! Di antara pejabat wanita lainnya dalam milisi
kami, dia yang terbaik.” Pokoknya hebat banget lah^^ Raja sampai
terkagum-kagum mendengar penuturan pejabat itu.
“Namanya…?” tanya Raja.
Tuk
tik tak…suara sepatu kuda? Bukan. Suara sepatu seorang wanita yang
berjalan menyusuri koridor di gimnasium Pyongyang (Korea utara).
“Komrad
Kim Hang-ah!!” panggil seorang prajurit. Wanita itu menoleh. Yup,
dialah si wanita hebat yang sangat dibanggakan ayahnya. Kim Hang-ah (Ha
Ji-won).
Kim Hang-ah menghambur masuk ke ruang perawatan.
Seorang pria mengaduh kesakitan. Lengannya mengalami dislokasi hingga
tak bisa melanjutkan kompetisi. Komandan mereka menarik nafas panjang.
Kompetisi sudah memasuki ronde penentuan, sangat disayangkan kalau
mereka menyerah sekarang. Ia menoleh pada Hang-ah.
“Mengapa kau melihatku? Aku tidak akan melakukannya (menggantikan pria yang terluka itu),” kata Hang-ah.
“Kalian,
saat pertempuran satu lawan satu, siapa yang muncul dalam benak
kalian?” tanya si komandan pada para junior Hang-ah. Awalnya mereka
hanya mengangguk lalu mereka satu per satu menjawab: Senior Kim Hang-ah.
“Perhatian!!”
Hang-ah memberi perintah. Para juniornya langsung berdiri tegap.
Komandan berkata sebaiknya Hang-ah yang maju karena ia memang yang
terbaik. Hanya sekali ini saja, mengapa Hang-ah tidak mempertunjukkan
kebolehannya.
“Justru aku sudah sering memperlihatkannya,”
protes Hang-ah. Dan sebentar lagi ia hendak pergi keluar. Bukankah
Komandan sudah memberi ijin?
Komandan mengancam akan mencabut
ijin keluarnya jika Hang-ah tidak mau berpartisipasi. Gaya otoriter.
Tapi tidak mempan untuk Hang-ah. Ia berkata mengapa komandan
berubah-ubah dalam memberi perintah, seperti amatiran saja.
Komandan menarik nafas panjang. Ia mulai membuka pakaiannya.
“Kalau
begitu aku tidak punya pilihan. Bahkan dalam usiaku sekarang aku tidak
punya pilihan lain selain maju. Haahh…ini akan membunuhku…Aigooo,
pinggang tuaku….ini akan membunuhku,” keluhnya. Ia lalu memaksa membuka
seragam tanding prajurit yang patah tangan itu. Gaya memelas. Prajurit
itu mengaduh kesakitan, sampai mati pun ia tidak akan pernah melepas
seragamnya (karena sakit LOL^^)
And it’s work. Hang-ah memejamkan matanya menyerah.
Kompetisi Tarung Gaya Bebas Tentara Rakyat Korea ke -32.
Lawan
memasuki arena, disambut dengan tepuk tangan para penonton. Selanjutnya
Hang-ah. Ternyata sambutannya lebih meriah. Mereka meneriakkan nama
Hang-ah. Lawan menyapa Hang-ah. Hang-ah mengajaknya bertarung dengan
aman.
Peluit dibunyikan. Mereka mulai berhadapan. Hang-ah mengajak bicara lawannya
“Hei, aku harus pergi setelah ini, jadi…”
Belum
selesai Hang-ah berbicara, lawan sudah memberi serangan tendangan yang
berhasil dielak oleh Hang-ah. Penonton terus menyerukan nama Hang-ah.
Lawan tentu saja tidak suka. Ia menyerang tapi Hang-ah menjepit lehernya
dari belakang.
“Apa kau mau mati? Kita hanya membuang waktu,” tanya Hang-ah.
Pria
itu menyikut Hang-ah. Komandan (atasan) Hang-ah kesal melihat murid
kesayangannya dilukai. Hang-ah diserang bertubi-tubi tapi ia berhasil
melawan dan menjatuhkan lawannya.
Hang-ah mengusap bibirnya.
Berdarah. Ia kesal, bukankah ia sudah meminta pertarungan yang aman.
Nasi sudah menjadi bubur, bibir sudah sobek, pertarungan pun menjadi
serius. (Oya, kabarnya Ha Ji-won tidak memakai pemeran pengganti untuk
adegan pertarungan ini...pengaruh pernah menjadi Gil Ra-im kali ya^^)
Lawan
diserang habis-habisan oleh Hang-ah. Merasa terpojok, lawan mengambil
kursi dan siap memukulkannya pada Hang-ah tapi Hang-ah berhasil mengelak
dan menjatuhkan kursi itu. Hang-ah mengakhiri kompetisi dengan
mengeluarkan jurus tendangan berputar (gaya Geum Jan-di). Lawan terkapar
di lantai. Komandan Hang-ah bersorak senang.
Hang-ah mendekati
lawannya. “Kau bahkan tidak bisa memukulku dan kau begitu serius
membandingkan kekuatan?!!” Hang-ah menyepaknya sekali lagi dan
meninggalkannya.
Hang-ah
memerhatikan wajahnya di cermin. Ia telah mengenakan make-up dan
berdandan rapi tapi ia kesal melihat ujung bibirnya yang terluka. Ia
menutup cerminnya dan berlari-lari kecil dengan riang menuruni tangga
stasiun kereta bawah tanah.
Dua tamannya sudah menunggu. Mereka melambaikan tangan pada Hang-ah. Dan keduanya membawa anak.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanya seorang temannya. Hang-ah menunjuk bibirnya yang terluka, “Apakah begitu kelihatan?’
“Bukan itu. Tapi wajahmu yang penuh bintik. Bukankah aku sudah menyuruhmu memakai krim ginseng?”
“Aku sudah memakainya tapi ini terlalu banyak.”
Temannya
memperingatkan jika kali Hang-ah gagal lagi, mereka akan semakin sulit
mencarikan pria lain. Hang-ah mengangguk mengerti.
“Aku merasa lebih baik kali ini. Ia tahu aku dalam ketentaraan tapi ia tidak keberatan,” kata Hang-ah.
Temannya
malah merasa pria itu seperti playboy. Ia mengusulkan agar Hang-ah
berbicara pada ayahnya. Ia pasti mengenal banyak pria tampan di
kantornya.
“Apa kau tidak tahu? Bagi ayahnya dia adalah Hwang
Jin-yi (Ha Ji-won pernah berperan sebagai Hwan Jin-yi dalam drama Hwang
Jin-yi). Tidak ada pria yang cukup baik baginya,” timpal temannya yang
lain.
Mereka berkata pokoknya hari ini Hang-ah harus berhasil.
“Pada usiamu sekarang, tidak banyak wanita yang belum pernah kiss.”
“Aku
harus kiss juga? Hei..itu sangat memalukan,” kata Hang-ah tersipu malu.
Temannya berkata ia memiliki seorang teman yang baru 3 kali kencan
langsung tidur bersama (wah…ini tidak boleh ditiru ya >,<).
Sedangkan Hang-ah sudah 5 kali kencan dengan pria ini.
Mereka
berkata jika Hang-ah tidak berani melangkah maka hubungannya tidak akan
ada kemajuan. Dan teman-teman prianya nanti hanyalah para tentara.
“Benar! Tidak ada lagi tentara pria. Aku sudah banyak memilikinya,” Hang-ah bertekad.
Hang-ah
pergi berkencan. Hang-ah dengan gugup melihat tangannya. Ia ingin
meraih tangan pria itu tapi ia tak berani. Ia terus menatap ke bawah.
Pria itu menyadarinya dan berhenti berjalan.
“Ma…maafkan aku,”
ujar Hang-ah. Pria itu tersenyum dan berjalan kembali. Lalu pelan-pelan
ia meraih tangan Hang-ah dan menggenggamnya. Hang-ah terkejut…dan
senang…
Pria
itu melihat berkeliling dan menarik Hang-ah. Di balik sebuah gedung,
pria itu mendekati Hang-ah dan hendak menciumnya. Saatnya sudah tiba
bagi Hang-ah. Ia memejamkan matanya.
Pria itu semakin
mendekatinya. Jep…tanpa sadar Hang-ah menangkap wajah pria itu dan
menatapnya tajam. Pria itu terkejut. Demikian juga dengan Hang-ah
setelah menyadari apa yang ia lakukan.
“Karena aku tidak bisa mendorong wajahmu, maka…”
Pria itu terlihat kesal dan tersenyum sinis.
“Lain kali…” Hang-ah berusaha memperbaiki situasi.
“Aku akan meneleponmu nanti,” potong pria itu. Ia pergi meninggalkan Hang-ah. Hang-ah menunduk sedih dan memandangi tangannya.
Pria itu tak pernah menelepon.
Hang-ah
menyampaikan pada atasannya ia tidak bersedia berpartisipasi dalam WOC.
Atsannya membujuknya, dengan mengikuti saja (tanpa menang) pun sudah
menjadi kehormatan. Hang-ah bersikeras ia tidak mau ikut.
Komandan
tidak menyerah. Ini adalah pertama kalinya Utara dan Selatan bergabung
bersama dalam sejarah. Ia minta Hang-ah memikirkannya kembali. Hang-ah
adalah bagian dari militer dan ia harusnya punya rasa tanggungjawab
sebagai pejabat wanita yang pernah muncul di TV nasional.
“Karena
itu!! Satu kali saja masuk televisi, seluruh negeri berpikir aku wanita
yang menakutkan. Aku tidak tahu apa yang akan orang-orang katakan jika
aku memperlihatkan diriku pada dunia kali ini. Wanita ini seorang wanita
yang bisa menjatuhkan 12 pria sendirian, jadi jangan membuat masalah
dengannya. Apakah itu yang ingin perlihatkan pada dunia?”
“Dari
yang kulihat, bukan karena kau seorang pejabat militer hingga kau
dijauhi pria, tapi temperamenmu yang buruk. Tanpa mempedulikan tempat
kau berteriak dan membentak, tentu saja para pria itu… ”
“Tentu
saja, semua itu salahku. Hanya untuk melatih para prajurit pria, aku
marah-marah setiap hari. Sementara gadis lain mendandani diri dengan
cantik, aku masih melatih di lapangan. Ini kesalahanku karena bergitu
berbakti pada tanah air. Puas sekarang?” Hang-ah cemberut.
Komandan
itu bertanya jadi penyebab ketidakikutsertaan Hang-ah dalam WOC adalah
karena takut WOC mengganggu kehidupan cintanya.
“Bagaimana bisa dibilang kehidupan cinta? Ini adalah hidupku!” sergah Hang-ah tak percaya.
“Aku mengerti. Aku mengerti. Aku akan bertanggung jawab,” ujar Komandan.
Hang-ah
kebingungan, apa maksudnya bertanggung jawab. Komandan itu berkata
asalkan ia bisa menemukan pasangan bagi Hang-ah maka Hang-ah akan ikut
WOC. Hang-ah terdiam. Deal!
Maka Hang-ah dan rekan-rekannya menyeberangi perbatasan. Ayahnya ikut mengantar mereka. Pers memberitakan kedatangan mereka.
Hang-ah baru kali ini memasuki Korea Selatan. Ia mengamati pemandangan sekitarnya. Ia tersentak melihat billboard Rain.
“Pria
itu namanya Jung Ji-hoon. Bintang terkenal di dunia. Belum lama ini ia
bergabung dengan militer dan menjadi prajurit,” Hang-ah mengucapkannya
seakan Rain target operasi hehe^^
“Itu adalah Dong-won. Juga dalam wajib militer. Hah! Pria itu (Jo In-sung)! Dia dalam Angkatan Udara,” ujar Hang-ah gembira.
Temannya berkata Angkatan Udara Korsel sangat berbahaya.
“Tentu
saja tidak! Mungkin saja ia akan berlatih bersama kita,” Hang-ah
tersenyum senang seakan bertemu idolanya, “Jika ia (Jo In-sung) mendapat
banyak penghargaan dan medali mungkin saja…ah tapi ia telah keluar
wamil tahun kemarin,” Hang-ah menepuk tangannya kecewa.
Jejejenggg… billboard Hyung Bin!!
“Oh!!”
Hang-ah menempelkan wajahnya ke jendela, “Hyun- Binnie!! Dia juga ada.
Dia baru masuk wamil setahun. Walau dia bukan tentara tapi dia sangat
terkenal. Ada kemungkinan ia bisa berlatih bersa…”
(Ketiga aktor
yang disebut Hang-ah pernah berakting bersama Ha Ji-won. Kang Dong-won
dalam film The Duelist, Jo In-sung dalam drama Memories in Bali, Hyun
Bin pasti udah pada tau dong ya...dalam drama Secret Garden^^)
“Komrad Kim Hang-ah, apa kau suka pria tampan seperti mereka?” tanya Komrad Rhi Kang-seok (Jung Man-shik) meledek.
Hang-ah
protes, ia tidak hanya melihat penampilan luar. Pria itu (Hyun Bin)
masuk Angkatan Laut dan itu sama saja dengan Korps Marinir Korut yang
terbaik. Ia berkata sebagai pemimpin tim tentu saja ia ingin merekrut
yang terbaik.
Kang-seok berkata dengan nada meremehkan,
pengalaman 2 tahun wamil tidak bisa dibandingkan dengan mereka yang
telah berlatih selama sepuluh tahun. Tapi ia terkejut saat melihat
sesuatu di luar jendela.
Layar
di atas sebuah gedung menayangkan Girl’s Generation. Ia terbata-bata
menanyakan apa yang sedang mereka lakukan dengan baju minim dan kaki
jenjang pada cuaca dingin seperti itu (setting video klipnya bersalju).
Hang-ah berkata mereka sedang menari dan mereka adalah grup terkenal di
Korsel.
“Mereka cantik, bukan?” ledek Hang-ah.
Kang-seok
berdehem dan pura-pura tidak tertarik. Hang-ah bertanya-tanya kosmetik
apa yang dikenalkan para gadis itu hingga wajah mereka begitu mulus. Ia
teringat percakapannya dengan atasannya.
“Posisi 4.
Berpartisipasi dalam WOC dan mendapat posisi 4 sudah cukup. Pernikahan
Komrad Kim Hang-ah akan dibereskan oleh ketentaraan.”
Hang-ah
berkata ia pemilih jadi ia tidak akan menyetujui begitu saja pria
pilihan itu. Komandannya meyakinkan ia akan membantu Hang-ah untuk
menemukan orang yang cocok.. Baik 100 atau 1000 orang, ia akan
mencarikannya untuk Hang-ah.
Hang-ah tersenyum senang. Ia
berharap atasannya memegang janji. Kalau saja pria itu bisa setampan
mereka (Rain, Jo-In-sung, dan Hyung Bin), ia berangan-angan.
Mereka sudah tiba di istana. Hang-ah, Kang-seok, dan Kwon Young-bae
(Choi Kwon), diperiksa oleh pihak keamanan istana. Ketiganya diperiksa
dengan detektor metal.
Niiit…detektor itu berbunyi di dekat bahu
Hang-ah. Hang-ah diminta melepaskan seragam luarnya. Hang-ah sebenarnya
merasa terhina dengan perlakuan ini tapi ia menahannya dan membuka
seragam luarnya. Kedua temannya melakukan hal yang sama.
Masalahnya
detektor logam itu terus berbunyi di dekat kaki Young-bae karena
kakinya dipasangi pin logam setelah mengalami kecelakaan. Kepala
keamanan melihatnya dengan curiga. Young-bae melepas kaus kakinya untuk
membuktikan ia tidak berbohong.
Tapi
pihak keamanan tetap tidak memperbolehkan Young-bae masuk. Kang-seok
melangkah maju. Ia menganggap ini sudah keterlaluan. Bukankah Young-bae
sudah bertelanjang kaki? Hang-ah menahan Kang-seok. Ia berkata baik-baik
bahwa mereka diundang ke istana. Hang-ah melangkah maju untuk
menjelaskan.
“Jangan mendekat!!” bentak kepala keamanan. Raut wajah Hang-ah langsung berubah. Senyum menghilang dari wajahnya.
“Robek itu!” ujarnya.
Keduanya rekannya menatap Hang-ah.
“Ia
tidak mempercayai kita. Terserah mau menggunakan jari atau gigimu,
robek itu. Biarkan ia melihat pin-nya,” Hang-ah berbicara dengan tegas
sambil menatap tajam kepala keamanan itu. Kepala keamanan terlihat
sedikit takut.
“Tunggu
sebentar,” Sekretaris Eun menghampiri mereka. Ia berkata pihak keamanan
sedikit sensitif karena Raja secara pribadi mengundang mereka. Ia
mempersilakan mereka mengenakan seragam mereka dan mengikutinya masuk.
Raja
sedang berbincang-bincang dengan ayah Hang-ah ketika ketiganya masuk.
Dengan ramah, ia menyambut mereka. Ketiganya langsung berbaris dengan
sikap sempurna dan memberi hormat pada Raja.
Raja menatap mereka
dengan kagum. Setelah melihat sendiri pejabat militer dari Utara,
semuanya menjadi begitu nyata. Ketiganya memperkenalkan diri pada Raja
yang menjabat tangan mereka.
“Letnan Dua Tentara Rakyat Korea, Kwon Young-bae.”
“Letnan Satu Tentara Rakyat Korea, Rhi Kang-seok.”
“Kapten Tentara Rakyat Korea, Kim Hang-ah.”
Ayah Hang-ah memperkenalkan puterinya pada Raja. Raja memperkenalkan dirinya.
“Aku adalah Raja Republik Korea Selatan, Lee Jae-kang.”
Hang-ah tersenyum. Payah nih Hang-ah, tiap liat cowo hangat dan baik pasti langsung tertarik^^
Raja
mengajak mereka menikmati hidangan sambil berbincang-bincang. Raja
berjalan mendahului mereka. Hang-ah berbisik pada ayahnya, apakah hari
ini mereka akan melihat tim Korsel yang akan ikut WOC. Ternyata Raja
mendengarnya. Ia berbalik.
“Tidak, kau akan melihat mereka besok.”
Ia meminta Hang-ah mengurus seseorang dari tim itu. Seseorang yang benar-benar pembuat masalah.
Dan
siapa lagi orangnya kalau bukan pangeran kita Lee Jae-ha? Ia senang
sekali karena akhirnya ia sudah menyelesaikan pelatihannya. Jae-ha
menjadi perwira pertama dari keluarga kerajaan yang menyelesaikan wamil.
Untuk ketulusannya, ia mendapat hadiah berupa lencana. Jae-ha senang
sekali.
Saking senangnya ia langsung menandatangani dokumen
pengeluarannya dan sebuah dokumen lainnya tanpa dibaca lagi. Bahkan
mengganti pensil dengan bolpen…yang artinya tidak bisa dihapus lagi.
Jae-kang
datang untuk menjemput adiknya. Ketika semua orang memberi hormat
dengan sikap sempurna, Jae-ha memberi hormat dengan gayanya sendiri.
Jae-kang tersenyum geli melihat adiknya.
Setelah
Jae-ha mengucapkan sumpah setia pada negara, Jae-kang menyematkan
lencana di seragamnya. Jae-ha mengedipkan mata pada kakaknya. Jae-kang
menepuk pipi adiknya dengan penuh kasih sayang.
Mereka
pulang bersama. Jae-kang menyarankan agar Jae-ha beristirahat selama
perjalanan. Jae-ha bercerita ia tidak bisa tidur semalaman karena tahu
akan keluar hari ini. Ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan
gadis-gadis seksi dalam mimpinya dan ingin memimpikannya lagi. Lalu ia
bersandar dan memejamkan matanya. Raut wajah Jae-kang berubah…merasa
bersalah?
Sekretaris
Eun membangunkan Jae-ha yang masih tertidur di mobil. Jae-ha bingung
mengapa mereka tidak ke Istana Baru, apakah mobil mereka mogok.
Sekretaris Eun malah menyuruh Jae-ha menonton TV.
Perdana
Menteri sedang mengumumkan keikutsertaan Korea Utara dan Selatan dan
untuk membuktikan dukungan keluarga kerajaan pada acara itu maka adik
Raja sendiri akan menjadi pesertanya. Jae-ha terperangah.
“Siapa itu? A…Aku??” tanyanya shock. Ini sih keluar dari mulut buaya masuk mulut harimau.
Jae-ha
protes pada kakaknya. Apakah kakaknya akan membiarkannya mengikuti
pelatihan militer lagi? Bersama tentara Korea Utara?Dengan polos
Jae-kang mengangguk.
“Kakak, ada apa denganmu?” rengek Jae-ha, “Baru beberapa jam lalu aku dikeluarkan dari wajib militer.”
“Benar,
aku juga ingin melindungimu. Tapi kau sendiri yang melakukannya.”
Jae-kang menyodorkan dokumen yang tadi ditandatangani Jae-ha tanpa
membacanya lebih dulu.
Jae-ha melihat dokumen-dokumen itu dan
menyadari telah ditipu kakaknya. Jae-kang tertawa. Jae-ha mencoba
membujuk kakaknya, ia hanya seorang sersan, tidak akan menang melawan
perwira tentara. Jae-kang berkata tidak apa-apa jika Jae-ha kalah.
“Kak, apa kau memperalatku untuk kedamaian Utara dan Selatan?”
“Biarkan aku memperalatmu kali ini saja. Kumohon,” sahut Jae-kang tenang.
Jae-ha
berkata kakaknya tidak bisa melakukan ini padanya. Selama ini ia selalu
mendukung Jae-kang. Dalam sejarah begitu banyak adik Raja yang membunuh
Raja untuk menduduki tahta. Tapi ia selalu khawatir kakaknya terluka,
dan ia juga bersedia menjadi orang jahat untuk menjaga semuanya tetap
terkendali (jadi inget Yang Myung). Jae-kang mengingatkan bukankah
Jae-ha yang tidak ingin menjadi Raja? Menganggap kematian lebih baik
daripada menjadi seorang Raja?
Jae-ha bertanya apakah kakaknya melakukan ini karena ayah mereka. Mengapa Jae-kang begitu keras kepala mengenai WOC ini?
Jae-kang
menatap adiknya dengan serius. Ia bertanya apakah Jae-ha tahu apa yang
selama ini terus ia pikirkan berulang-ulang. Ia ingin perdamaian. Tidak
hidup dalam ketakutan akan perang.
Jae-ha bertanya bagaimana
bisa sebuah kompetisi menyelesaikan masalah itu. Bukankah perang masih
terjadi di dunia ini? Jae-kang berkata ia ingin memperlihatkan pada
dunia kalau Utara dan Selatan telah bersatu hingga negara lain tak bisa
ikut campur lagi.
“Mengapa harus kita yang melakukannya? Mengapa harus kakak?”
Jae-kang tersenyum sedih.
“Apa
karena kakak seorang Raja? Benar, kita anggota keluarga kerajaan. bukan
pada jaman Joseon tapi keluarga kerajaan abad 21. Apa kakak tahu
artinya? Itu artinya kita hanya….boneka.”
Senyum
Jae-kang menghilang. Jae-ha berkata ia berterima kasih pada rakyat yang
telah membayar pajak mereka dan ia akan melakukan sesuatu bagi rakyat.
Tapi bukan dengan memperlihatkan perdamaian antara Utara dan Selatan.
Rakyat bahkan tak peduli dengan hal itu.
“Mereka hanya
menginginkan kita tersenyum dan melambai, yang akan memuaskan fantasi
mereka. Kita itu apa? Hanya mannequin (boneka pajangan). Mannequin
Republik Korea Selatan. Apa kakak tidak tahu? Sebenarnya apa yang Kakak
inginkan?”
Jae-kang menatap marah adiknya.
Sementara
itu, Hang-ah diwawancarai oleh para pejabat militer Korut dan Korsel.
Atasannya mengingatkan tanggung jawab Hang-ah sebagai pemimpin tim.
Komandan dari Korsel bertanya bukankah Hang-ah dari kesatuan khusus?
Terlebih lagi, instruktur kesatuan khusus? Tugas kesatuan khusus adalah
mengacaukan lawan dengan melakukan penghancuran dan pembunuhan. Bisakah
seseorang dengan latar belakang seperti itu menjadi pemimpin tim Utara
dan Selatan?
Atasan Hang-ah membelanya, itu kan di masa lalu mengapa mengungkitnya lagi. Kedua petinggi itu mulai berdebat.
“Benar,
aku melatih tentara untuk menghancurkan (dengan bom) dan membunuh. Tapi
itu hanyalah pekerjaan. Sudah lama sekali sejak aku mengajarkan hal itu
dan aku hanya bisa mengingatnya dengan samar-samar.”
Ia berkata
ia bersedia dipecat jika ia tidak melakukan tugasnya dengan baik. Ia
mengucapkannya dengan lucu hingga komandan Utara dan Selatan sama-sama
tertawa. Komandan Selatan pun sudah tidak bersikap kaku lagi. Ia
bertanya apakah Hang-ah sudah bertemu dengan anggota dari selatan.
“Aku sudah membaca profil mereka…tapi ada satu orang…”
“Oooh dia..Dia akan datang. Tapi dia bukan orang biasa. Dia adalah Pangeran. Adik Raja.”
Hang-ah terkejut.
Kembali pada percakapan dua kakak beradik yang mulai memanas.
“Kau
benar. Kita tidak memiliki wilayah sendiri seperti keluarga kerajaan
Inggris. Kita juga tidak dilihat sebagai penerima mandat dari surga
seperti di Jepang. Kita hidup dari pajak…”
“Itulah sebabnya…”
“Itulah
sebabnya, kau harus bekerja untuk setiap uang yang kau peroleh. Apa
yang kaulakukan selain menelan pajak negara?” (sigh….aku berharap
seandainya saja semua orang dalam pemerintahan kita berpikir seperti
Jae-kang >,<)
“Tapi aku mengikuti wamil.”
“Itu adalah kewajiban.”
“Apa kakak tidak tahu aku adalah harapan dan impian tiap wanita?”
Jae-kang
berkata itu di masa lalu, saat Jae-ha berusia 20-an. Apa Jae-ha tidak
tahu julukan barunya? Pangeran bujangan yang malas dan mengganggu.
Jae-ha
tak percaya. Banyak pemuda yang menjadikannya teladan. Mereka berharap
bisa seperti dirinya yang pandai bersosialisasi dan bisa berbicara
dengan banyak wanita. Sepertinya ini bukan hal yang baru yang diungkit
Jae-ha karena Jae-kang langsung mengeluarkan selembar kertas hasil
survey.
“52 % warga negara pria dalam negara ini menginginkanmu dikeluarkan dari istana. Mereka tidak tahan melihat kecongkakanmu.”
Jae-ha bergumam mengapa tidak ada perubahan setelah ia mengikuti wamil.
“Karena
ini adalah prinsip. Kembalikan sebanyak yang kauterima. Ibu menyediakan
makanan bagi para tunawisma. Ia mengerjakan uang pajak yang kita
terima. Aku mempromosikan peningkatan kebudayaan dan juga melalui WOC.
Tapi, apa yang telah kaulakukan selama ini? Kau bergantung pada pajak
rakyat untuk hidup.”
Jae-ha tak bisa membantah perkataan kakaknya karena semua itu benar. Tapi ia belum mau menyerah.
“Mari
hentikan ini. Jika aku mengatakan satu per satu apa yang telah
kulakukan, Kakak bahkan tidak sanggup menghitungnya. Aku hanya tidak
ingin diketahui orang lain. Sungguh memalukan untuk mengatakannya
sendiri.”
“Tak apa-apa, sebutkan satu saja hal apa yang sudah kaulakukan. Aku tidak akan memaksamu mengikuti WOC.”
“Aku tidak bisa.”
“Kalau begitu tinggalkan istana.”
Jae-ha terhenyak.
“Aku tidak memerlukan orang yang makan dan minum dengan gratis dan masih menerima pajak. Kau bisa meninggalkan istana.”
Jae-kang berdiri meninggalkan Jae-ha. Jae-ha memanggil kakaknya tapi Jae-kang tak bergeming.
Sekretaris Eun membacakan perintah Raja untuk Jae-ha.
“Mulai
hari ini dan seterusnya, Lee Jae-ha dikeluarkan dari istana. Semua
biaya hidupnya tidak akan ditanggung negara. Lee Jae-ha terancam
kehilangan status keluarga kerajaan. Jika Lee Jae-ha menyetujui
persyaratan berikut, ia akan dikembalikan pada status semula. Apakah kau
bersedia mengikuti WOC atau meninggalkan istana dan menjadi rakyat
biasa?”
“Pelatihannya….sebulan?”
“WOC diadakan 6 bulan yang akan datang. Pangeran harus berlatih selama sebulan,” jawab Sekretaris Eun.
Jae-ha mengangguk seperti anak kecil yang baru dimarahi orang tuanya.
“Puteraku
sebagai pemimpin tim dari Selatan akan menjalani pelatihan bersama
Pangeran. Jika ada pertanyaan, bisa tanyakan padanya. ”
Jae-ha mengangguk mengerti.
Tapi
begitu Sekretaris Eun hilang dari pandangan, sikap menurutnya hilang.
Ia meminta pisau pada prajurit yang bertugas mengantarnya ke asrama.
Kedua prajurit itu kebingungan.
Tiba-tiba pintu garasi di belakang Jae-ha terangkat. Seorang pria berdiri di dalam.
“Siap
grak!” perintahnya. Kedua prajurit di luar langsung tegak sementara
Jae-ha masih mencoba melihat siapa yang berdiri di dalam.
“Siap GRAK!!” Orang itu memerintah lebih keras. Jae-ha tersentak dan pelan-pelan menegakkan tubuhnya.
“Maju lima langkah!!”
Jae-ha
menurut. Begitu berada di dalam, pintu menutup kembali. Lampu
dinyalakan. Ternyata itu adalah garasi penyimpanan kendaraan perang.
Jae-ha bertanya pada pria yang berdiri di hadapannya.
“Siapa
kau? Eun Shi-kyeong? Apakah ayahmu bernama Eun Gyu-tae? Kepala
Sekretaris kami? Aaa…ternyata kau kaptennya. Aku benar-benar senang,”
Jae-ha berceloteh.
Eun Shi-kyeong (Jo Jung-seok) diam tak berkata apapun.
“Apa kau mempunyai pisau? Aku ingin…”Jae-ha mengangkat jarinya.
“Semua orang boleh menjadi perwira tapi tak semuanya bisa.” ujar Shi-kyeong.
“Kau
benar, aku bukan perwira. Kalau saja aku tidak
menandatanganinya…benar-benar….” Jae-ha menghentakkan kakinya dengan
kesal. Ia melihat berkeliling lalu melihat senjata api yang tersampir di
pinggang Shi-kyeong.
“Benar…pistol. Aku harus mencobanya. Kau
seorang perwira bukan? Mahir menggunakannya, bukan? Tembak menyerempet
jariku….seeeeedikitt saja. Bagian yang ini, hanya menyerempetnya. Tapi
jangan terlalu serius, cukup membuatnya berdarah sedikit saja. Aku akan
mengurus sisanya. Beristirahat selama 2 minggu untuk memulihkan diri
sudah cukup.”
Shi-kyeong meraih pistolnya. Jae-ha jadi
ketakutan, bukankah pistol terlalu berbahya jika meleset sedikit saja.
Shi-kyeong malah mengeluarkannya dan mengacungkannya pada Jae-ha.
“Di mana? Di sini?” tanyanya mengarahkan pistolnya ke jantung Jae-ha.
“Apa
yang sedang kaulakukan?” tanya Jae-ha. Ia tak percaya Shi-kyeong berani
menembak. Ia menantang Shi-kyeong menembaknya jika memang berani.
Shi-kyeong tak bergerak.
Jae-ha mengambil senjata itu dari tangan Shi-kyeong dan balik mengacungkannya ke wajah Shi-kyeong.
“Bukan begitu caranya menembak. Begini caranya….” DORR!!
Jae-ha
tersentak kaget. Demikian juga semua yang mendengar suara tembakan itu.
Prajurit yang berdiri di luar menggedor pintu menanyakan keadaan Jae-ha
dengan khawatir.
Tembakannya tidak mengenai Shi-yeong tapi melubangi tembok di belakangnya. Jae-ha menjatuhkan pistol itu.
“Senjata itu berpeluru? Apa kau benar-benar ingin membunuhku? Apa kau gila?!”
Dua prajurit di luar berhasil masuk.
“Aku
yang menembakkannya,” ujar Shi-kyeong tenang. Seorang prajurit
mengacungkan senjatanya pada Shi-kyeong. Shi-kyeong memungut senjata di
lantai dan memberikannya pada prajurit itu.
“Laporkan aku,” kata Shi-kyeong.
“Aku tadi bercanda. Karena aku bosan, aku bermain-main. Kalian berdua berdirilah di sana!” ujar Jae-ha marah.
Ia mendekati Shi-kyeong.
“Apakah
ayahmu tahu kau seperti ini? Baik aku akui keberanianmu. Tapi bagaimana
lagi? Aku seorang yang pendendam. Kau akan mati.”
Shi-kyeong menunduk dan tersenyum.
“Aku
memang membuat frustrasi tapi kau sedikit berbeda dengan rumor yang
beredar,” ujarnya. Ia menyuruh dua prajurit tadi mengantar Jae-ha ke
asrama. lalu ia pergi meninggalkan mereka.
Jae-ha
diantar ke kamarnya. Ternyata ia sekamar dengan Kang-seok. Saat ia
membuka pintu, ia melihat Kang-seok sedang berlatih bela diri dengan dua
tongkat dan melempar jarum panjang hingga menancap di dinding…bagai
ninja. Jae-ha terperangah.
“Aku tak bisa menahannya lagi,” serunya panik.
Ia
berlari menemui Komandan Korsel. Jae-ha protes karena sekamar dengan
tentara Korut. Sang komandan menjelaskan memang begitulah pengaturannya.
Selatan dan Utara dalam satu kamar.
“Lalu bagaimana dengan Eun Shi-kyeong? Ia sendirian dalam satu kamar.
“Eun Shi-kyeong adalah pemimpin tim selatan jadi…”
Jae-ha
protes itu namanya meng-anakemas-kan. Dalam dunia demokratis bahkan
Pangeran pun harus diperlakukan sama rata. Agar adil ia juga harus
mendapatkan kamar sendiri.
“Ini adalah peraturan, Pangeran.
Kesepakatan ini telah didiskusikan antara utara dan selatan. Semuanya
telah direncanakan setahun lalu jadi tidak tepat jika mengubahnya
sekarang.”
Komandan berkata Shi-kyeong juga harusnya memiliki teman sekamar tapi pemimpin tim Utara adalah seorang wanita.
“Wanita? Ada wanita di sini?” tanya Jae-ha tertarik.
“Sekamar dengan perwira pria?” tanya Hang-ah terkejut.
“Dia
adalah Pangeran Korea Selatan yang terakhir bergabung. Tidak ada yang
bisa dilakukan pada situasi ini. Kita harus bekerja sama dan menjadi
contoh persatuan.”
“Bagaimana bisa satu kamar dengan lawan jenis menjadi contoh? Jika hal ini tersebar luas apa yang harus kulakukan?”
Komandan
menyakinkan Hang-ah semuanya sudah terkendali jadi tidak akan ada
rumor. Kang-seok akan sekamar dengan Shi-kyeong. Dengan demikian dua
impian Hang-ah mungkin saja terkabul. Pertama, penyatuan dua negara.
Kedua, kehidupan cinta Hang-ah terkabul.
“Komandan!!” seru Hang-ah kesal.
Kedua tim akan bertemu untuk pertama kalinya. Kang-seok mengomel sebenarnya Lee Jae-ha itu orang seperti apa.
Shi-kyeong
dan seorang perwira masuk. Hang-ah berdiri dan memperkenalkan dirinya
sambil menjabat tangan Shi-kyeong. Shi-kyeong meminta maaf karena datang
terlambat.
“Tidak apa-apa,” ujar Hang-ah cepat sambil menghempaskan tangan shi-kyeong. Ia beralih pada perwira di sebelah Shi-kyeong.
“Kau perwira Ryeom Dong-ha, bukan? Aku melihat jurnalmu setiap hari. Aku bahkan merasa telah mengenalmu sejak lama.”
Shi-kyeong
berdehem dan berjalan menuju tempat duduknya. Hang-ah bertanya mengapa
hanya ada mereka berdua. Tepat saat itu Jae-ha memasui ruangan.
Hang-ah tahu pria inilah yang akan menjadi teman sekamarnya. Ia mendekati Jae-ha dan mengulurkan tangan.
“Aku Kim Hang-ah.”
“Salahku
untuk mengharapkan seorang wanita,” gumam Jae-ha sambil menghela nafas
panjang. Ia berjalan melewati Hang-ah tanpa menjabat tangannya.
Hang-ah berkata ia merasa sudah mengenal Jae-ha karena sudah sering melihat data dirinya.
“Kau memiliki tahi lalat di bokongmu kan?” bisik Hang-ah.
Jae-ha menoleh melihat para perwira lainnya. Mereka pura-pura tidak mendengar percakapan itu.
“Bagaimana kau bisa tahu?” bisik Jae-ha.
“Selalu ada caranya. Silakan duduk, Komrad Lee Jae-ha.”
“Komrad?
Kita bertemu berapa lama hingga menjadi komrad?” (Komrad= kawan
seperjuangan, panggilan untuk sesama perwira di Korea Utara).
“Begitukah?
Seharusnya aku lebih berhati-hati dengan perkataanku. Aku minta maaf,
Lee Jae-ha-sshi. Aku tahu kau adalah adik Raja tapi tidak ada
perkecualian. Apa kau mengerti?”
Young-bae
dan Kang-seok baru mengetahui kalau Jae-ha adalah seorang Pangeran.
Hang-ah berjalan menuju tempat duduknya, diikuti Jae-ha. Jae-ha
sempat-sempatnya menendang kursi Shi-kyeong sesaat sebelum Shi-kyeong
duduk hingga ia terjatuh. Shi-kyeong buru-buru bangkit berdiri dan
dengan malu mengatakan kalau ia tak hati-hati.
Jae-ha tersenyum puas. Hal ini tak lepas dari pengamatan Hang-ah.
Hang-ah
meminta semua orang memperkenalkan diri, dimulai dari Kang-seok. Ia
berkata ia bertugas di Departemen Pertahanan. Memberikan instruksi pada
para komrad yang menjaga garis pertahanan. (Sepertinya ini tugas penting
atau menakutkan karena semua orang terdiam setelah ia mengatakannya).
Jae-ha tersenyum sinis, dalam hatinya ia berkata ia tidak akan takut.
Shi-kyeong memperkenalkan diri sebagai kapten Divisi 1 Lanjutan.
“Mengapa disebut lanjutan?” tanya Hang-ah tertarik.
“Itu…”
“Karena dia yang pertama maju menyerang Pyongyang saat perang Korea,” Jae-ha memotong perkataan Shi-kyeong.
“Bukankah itu kita, Divisi 7?” tanya Dong-ha.
“Bukan, merekalah yang mengibarkan bendera pertama kali,” sahut Jae-ha. Dong-ha dan Jae-ha berdebat mengenai hal itu.
Kang-seok
tak tahan lagi dan menggebrak meja. “Apa maksudnya dengan menduduki
Pyongyang (ibukota Korut)?” serunya sambil berdiri.
“Duduk.” Hang-ah memberi perintah. Kang-seok menurut. Hang-ah memberi tanda agar Young-bae memperkenalkan diri.
Young-bae
berasal dari Departemen Operasi Taktis. Ia mengucapkannya dengan penuh
semangat. Jae-ha berdiri dan menjabat tangan Young-bae dengan ramah.
“Benarkah?
Aku dari divisi Medan Pertempuran. Kau dari departemen yang mengirim
agen rahasia? Tapi divisi kami menghabisi 20 agen rahasia yang kalian
kirim sebelumnya. Apakah kau tidak tahu?”
“Pangeran,” panggil Shi-kyeong. Ia dan Dong-ha terlihat tak enak hati.
Jae-ha tak peduli. Ia berkata ia tidak percaya ada takdir seperti ini. Ia terus berbicara.
“Komrad Lee Jae-ha,” panggil Hang-ah.
Jae-ha tak mempedulikannya. Dong-ha menarik baju Jae-ha agar berhenti.
“Komrad Lee Jae-ha!” Hang-ah mengeraskan suaranya.
“Ahjumma…jangan panggil aku komrad.” Jae-ha kembali nyerocos mengajak Young-bae berpelukan.
Hang-ah menggebrak meja dan berdiri, “Komrad Lee Jae-ha!!”
“Sudah kubilang, aku bukan komrad-mu,” ujar Jae-ha tajam.
Mereka
bertatapan. Suasana menjadi tegang. Hang-ah menarik nafas dan
tersenyum. Lalu ia bertanya dengan lembut, di manakah kamar kecilnya?
Jae-ha
terpaksa mengantar Hang-ah ke kamar kecil. Ia terus mengomel karena
Hang-ah tak berani ke kamar kecil sendirian padahal ia seorang perwira.
Mereka berhenti di depan pintu.
“Kau bisa menanganinya dari sini, bukan?” ujar Jae-ha.
“Aku hanya akan sendirian di sana? Tidak ada siapa-siapa?” tanya Hang-ah dengan gaya cute.
“Tidak
apa-apa…Kau bisa menggunakannya sepuasmu,” ujar Jae-ha. Hang-ah
bertanya bisakah Jae-ha menolongnya melihat apakah ada kamera
tersembunyi di dalam kamar kecil. Ia dengar pria Korsel banyak yang suka
mengintip.
“Kau ini begitu merepotkan. Ayo kita lihat..”
Jae-ha masuk dan memeriksa setiap toilet.
“Lihat…tidak ada apa-apa kan?”
Ia berbalik dan melihat Hang-ah berdiri dengan tangan memegang kunci pintu. Jae-ha terkejut. Klik, Hang-ah mengunci pintuya
Jae-ha
bertanya mengapa Hang-ah mengunvi pintu. Hang-ah maju dan menjegal
Jae-ha hingga jatuh ke lantai. Lalu ia mengambil tongkat dan menyodok
perut Jae-ha dengan tongkat itu. Jelas Jae-ha sama sekali bukan
tandingan Hang-ah.
“Aku sedikit terlambat memperkenalkan diri,
aku adalah Instruktur Brigade Penembak Jitu Tentara Rakyat Korea, Kim
Hang-ah. Di negaramu kami disebut satuan khusus.”
Mendengar itu Jae-ha terkejut. Hang-ah menghempaskan Jae-ha ke lantai.
“Apa
kau pikir aku ingin menjadi komrad-mu? Mereka menghabiskan waktu lama
untuk mengajari kami mengenai negaramu. Kau tahu apa yang mereka
ajarkan? Musuh negara: Lee Jae-ha. Bunuh begitu melihatnya.”
Hang-ah tersenyum. Jae-ha terpana.
source : http://patataragazza.blogspot.com/2012/03/sinopsis-king-2-hearts-episode-1.html
re-posted and re-edited by : dianafitriwidiyani.blogspot.com
No comments:
Post a Comment