Hang-ah meronta-ronta dan berteriak pada ayahnya kalau ia dan Jae-ha tak terpisahkan.
“Cukup!”
bentak ayah Hang-ah. Hang-ah terkejut, ayahnya tak pernah bersuara
keras seperti ini padanya. ”Kalau begitu apa kau kau akan baik-baik saja
jika kau tidak bisa melihat Ayah lagi? Orang-orang yang terpisah saat
perang Utara dan Selatan baru bisa bertemu kembali setelah 35 tahun.
Lalu kapan kita akan bertemu kembali? Aku…jantung Ayah…Walau telah
berlalu puluhan tahun, jantung ini akan tetap menantimu.
Tapi….tulang-tulang dalam tubuh Ayah…sudah tua. Jika kita berpisah
seperti ini, kau hanya akan bisa melihat ayah di pemakaman.”
Ayah
Hang-ah memalingkan wajahnya karena tak bisa menahan tangisnya. Hang-ah
sedih melihat ayahnya. Ayah Hang-ah berkata jika Hang-ah ingin tetap
tinggal maka Hang-ah boleh tinggal. Hang-ah menunduk.
Jae-ha
menemui Perdana Menteri dan bertanya siapa yang telah menaikkan status
perang hingga tingkat 3. Perdana Menteri dengan takut-takut berkata ia
telah bernegosiasi dengan pemerintah Amerika dan itu adalah hasil
keputusan Presiden Amerika Serikat.
Jae-ha sangat marah.
Kekuasaan militer seharusnya berada di tangannya, beraninya Amerika
memutuskan sendiri. Ia kesal Perdana Menteri mengikuti keinginan Amerika
tanpa berbicara dengannya terlebih dahulu.
Ayah Hang-ah menanti keputusan Hang-ah. Belum sempat Hang-ah menjawab, ponselnya berbunyi. Jae-ha.
Ayah
Hang-ah melarang Hang-ah menerima telepon dari Jae-ha. Ia berkata
Selatan telah mengkhianati Utara dengan mengumumkan status perang.
Hang-ah terkejut, hal itu pasti terjadi karena mereka sedang di luar
negeri. Ayah Hang-ah berkata bagaimanapun juga Jae-ha orang Selatan (duh
ayah Hang-ah lupa ya kalau Jae-ha sampai bersedia berlutut dan memohon
agar Hang-ah selamat).
“Yang Mulia tidak sama dengan mereka,” kata Hang-ah tegas. Ia pergi menjauh dari ayahnya untuk mengangkat telepon.
Jae-ha
yang sejak tadi frustrasi karena teleponnya tidak diangkat, lega
mendengar suara Hang-ah. Jae-ha bertanya Hang-ah ada di mana. Hang-ah
tidak menjawab, ia balik bertanya apakah Jae-ha sudah memikirkan jalan
keluarnya.
Jae-ha berkata para menteri sedang membicarakannya.
Ia bertanya apakah Hang-ah ditarik kembali ke Utara untuk urusan militer
(menjadi tentara…artinya berperang melawan Selatan).
“Bukan,”
jawab Hang-ah. Jae-ha nampak lega. Hang-ah berkata ada kesalahpahaman
yang mendalam dari orang Utara terhadap Selatan. Ia bertanya berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki situasi. Tapi Jae-ha tidak
tahu, ia harus mengetahui niat Amerika di balik semua ini.
“Tapi Utara telah memutus semua jalur komunikasi,” kata Jae-ha.
Hang-ah
menoleh pada ayahnya dan bertanya apakah jalur komunikasi darurat juga
diputus. Ayah Hang-ah berkata partai yang telah memutuskan demikian.
Hang-ah terkejut, itu artinya ia tak bisa lagi menghubungi Selatan
(alias Jae-ha). Ayah Hang-ah berkata perang akan dimulai, untuk apa
menelepon.
“Apakah jalurnya tidak bisa diperbaiki?” tanya Hang-ah, mulai putus asa.
“Sudah Ayah bilang perang akan dimulai!”
Hang-ah
menahan tangisnya. Ia berbicara kembali dengan Jae-ha di telepon.
Jae-ha menyuruh Hang-ah kembali, ia akan mengirim orang untuk menjemput
Hang-ah.
“Aku….aku…akan kembali ke Utara,” kata Hang-ah. Ayahnya
dan Jae-ha terkejut. Hang-ah berkata hubungan Utara-Selatan telah
terputus. Tidak ada lagi komunikasi, yang tersisa hanya perang.
“Kami tak pernah memutus kontak, pihakmu yang memutusnya.”
“Itulah
sebabnya, aku akan kembali dan memulihkan jalur komunikasi. Aku akan
kembali dan memberitahu partai apa yang sebenarnya Yang Mulia pikirkan
untuk menghentikan perang. Aku akan melakukan yang terbaik untuk
meyakinkan Utara.”
“Tapi kita tidak akan bisa saling
menghubungi,” protes Jae-ha. Perubahan bisa terjadi hanya dalam hitungan
detik. Perang bisa terjadi kapan saja.
“Bukankah hati kita bersama?” ujar Hang-ah. “Apakah karena situasi berubah maka hatimu akan ikut berubah?”
Jae-ha
bertanya apakah itu sebabnya Hang-ah ingin kembali. Masalahnya bukan
hanya perang, mereka berdua juga bisa terbunuh sewaktu-waktu dan tak
akan bertemu kembali.
“Aku berharap dapat selalu melihat Ayah,
dan aku berharap aku juga dapat selalu melihat Yang Mulia. Itulah
sebabnya aku kembali. Agar aku bisa bertemu kembali dengan Yang Mulia.”
“Hang-ah…” Keduanya berlinang air mata.
“Yang
Mulia pasti akan menghentikan perang ini, bukan? Aku juga akan
melakukan hal yang sama. Jika kau ingat kita memiliki keinginan yang
sama, kita pasti akan bertemu kembali. Aku mencintaimu.”
Hang-ah
menutup teleponnya tanpa mendengar balasan Jae-ha. Ia menangis karena
harus berpisah dengan Jae-ha, tapi dengan segera ia menghapus air
matanya dan berjalan melewati ayahnya memasuki perbatasan Utara. Ada
misi yang harus ia jalankan.
Demikian
juga dengan Jae-ha. Walau perpisahannya dengan Hang-ah terasa
menyakitkan tapi ia harus berbuat sesuatu untuk menjalankan bagiannya.
Direktur
Militer AS menelepon Bong-gu. Ia mengatakan Presiden AS telah
menyetujui serangan ke Korut. Serangan itu akan dilaksanakan pada tgl 24
Mei. Bong-gu tertawa senang dan memuji Direktur itu.
Sekretaris
Eun melaporkan pada Jae-ha kalau pihak Amerika semakin sering
mengadakan perundingan akhir-akhir ini. Jae-ha mengerti, ia meminta
Sekretaris Eun terus mencari indormasi.
Tiba-tiba teleponnya berbunyi.
“Ya?” jawab Jae-ha.
“Apa kau telah melihatnya?” tanya Bong-gu.
“Siapa ini?”
“Walau
telah beberapa waktu lamanya kita tidak berbicara, seharusnya kau tidak
melupakan suaraku,” ujar Bong-gu. “Aku mengirimmu email, bukalah. Jika
kau tidak membukanya, kau akan menyesal. Itu mungkin informasi yang saat
ini sangat kauinginkan.
Jae-ha membuka emailnya dan membaca
email kiriman Bong-gu. Ternyata Bong-gu mengirim salinan dokumen resmi
rencana serangan Amerika ke Korut yang akan dilaksanakan pada tanggal 24
Mei jam 16.00.
Sebenarnya ini merupakan informasi rahasia
karena Amerika akan melakukan serangan mendadak. Tapi Bong-gu
memberitahu Jae-ha informasi ini untuk memberitahukan kekuasaannya.
Untuk memberitahu bahwa ini hukuman Jae-ha karena telah menghubungi ICC.
“Aku sudah merencanakan semuanya. Bukankah sudah kukatakan saat
di tebing. Republik Korea atau dirimu? Bukankah aku sudah menyuruhmu
memutuskan? Pada akhirnya kau memilih dirimu sendiri. Sebagai seorang
Raja, demi nyawamu sendiri, kau membiarkan negaramu berperang? Jika ada
orang yang mati karena perang ini, maka itu adalah kesalahanmu,” kata
Bong-gu dengan nada menyalahkan. “Kau membunuh mereka semuanya.”
“Bukan,”
jawab Jae-ha tenang, “Kau yang membunuh mereka. Jangan mencoba
menggunakan nada sombongmu itu untuk membuatku menyalahkan diriku
sendiri. Aku hanya menggunakan cara yang benar melalui hukum, untuk
menghukummu atas segala kejahatanmu.”
“Jadi menurutmu aku akan dihukum?” tanya Bong-gu geli.
“Kau akan dihukum.”
Bong-gu tertawa. Ia mengingatkan sebentar lagi akan terjadi perang dan Jae-ha akan segera habis. Sedangkan ia akan dibebaskan.
“Tidak. Aku akan menghentikan perang ini. Dan kau akan diadili.”
Bong-gu
kesal sekali. Ia berkata Jae-ha hanya boneka pajangan (yang tak
berkuasa dan tak ada artinya), lalu ia menutup teleponnya.
Jae-ha meminta Sekretaris Eun memeriksa keaslian dokumen tersebut. Sekretaris Eun telah memeriksanya dan dokumen itu asli.
Sekretaris
Eun juga melaporkan kalau Amerika menginginkan status perang dinaikkan
ke tingkat 2. Sebelumnya mereka menaikkan ke status 3 tanpa persetujuan
Jae-ha. Kali ini mereka ingin Jae-ha menyetujui kenaikan status perang
tersebut.
Jae-ha tahu ini hanyalah formalitas. Walau ia
menentang, pemerintah dan Amerika tetap akan menaikkan status perang.
Sekretaris Eun membenarkan. Jae-ha bertanya apakah Utara akan menyerang
Selatan jika Amerika menyerang Utara. Sekretaris Eun membenarkan, Utara
tidak bisa membalas serangan langsung ke Amerika jadi mereka akan
membalas ke sekutu Amerika terdekat, yaitu Korea Selatan.
Ia
menasihati bahwa sebagai keluarga kerajaan, Jae-ha harus mengutamakan
keselamatan rakyat. Sekretaris Eun bertanya apa yang akan Jae-ha
lakukan. Jae-ha merenung sejenak dan mneyetujui perkataan Sekretaris
Eun.
Tanggal
1 Mei, status perang dinaikkan ke tingkat 2. Artinya seluruh tentara
siap siaga menanti perintah dan dipersenjatai lengkap. Setiap saat
mereka harus siap menembak jika sewaktu-waktu perang meletus.
Komunikasi
antara Utara-Selatan masih terputus total. Sekretaris Eun berjanji akan
terus mencoba menghubungi pihak Utara. Jae-ha bertanya apakah Hang-ah
tahu mengenai tanggal serangan Amerika ke Utara. Sekretaris Eun berkata
sepertinya Hang-ah tidak tahu tanggal pastinya.
Sementara itu
Hang-ah diterima dengan ramah oleh Komandan Tinggi Utara. Ia memuji
Hang-ah atas rasa cintanya pada tanah air. Hang-ah tak menanggapi.
“Apakah
kau pernah pernah mendengar Menteri Pertahanan Selatan mengatakan
sesuatu? Khususnya mengenai ruang penyimpanan bom di mana keluarga
kerajaan akan mengungsi jika terjadi perang,” tanya Komandan Tinggi.
“Apa kau sedang memancingku untuk mengatakan rahasia pertahanan mereka?” tanya Hang-ah tak suka.
“Bukankah ini perang?”
“Sebenarnya
Selatan sangat besar hati. Walau kita yang memutus komunikasi, bukankah
mereka terus aktif menghubungi kita? Kita juga seharusnya berkomunikasi
dengan mereka dan mengadakan perundingan.”
Komandan Tinggi
bertanya mengapa ia harus mendengarkan nasihat Hang-ah. Hang-ah berkata
perang ini terjadi karena kesalahpahaman dari kedua belah pihak. Selatan
tidak bermaksud berperang dengan Utara.
“Apa kau tahu apa yang
dilakukan Lee Jae-ha begitu ia kembali? Ia mengumumkan peningkatan
status perang ke tingkat 2. Apakah itu artinya ia ingin berperang?”
“Bukankah
kita yang pertama kali mengumumkan perang?” Hang-ah meninggikan
suaranya. “Sebagai seorang Raja ia hanya mengambil langkah waspada.”
“Komrad
Kim Hang-ah!!” Komandan Tinggi berseru kesal. Ia menyindir rupanya
Hang-ah tetap saja seorang wanita. Sekalinya jatuh cinta tidak bisa
membedakan mana yang benar atau salah.
“Jika aku seperti itu
apakah aku akan kembali ke Utara?” tanya Hang-ah. “Aku memiliki
kesempatan untuk tinggal bersama kekasihku di Selatan. Tapi aku membuang
semua itu dan datang ke sini!”
Komandan Tinggi mengusir
Hang-ah. Ia tidak mau lagi berbicara dengan perwira yang membela
Selatan. Hang-ah berkata ia hanya ingin menghindari perang. Ia sekali
lagi meminta agar Komandan Tinggi membuka jalur komunikasi. Tapi
Komandan Tinggi berkata hal itu sudah terlambat. Peluncur rudal telah
disiapkan.
Hang-ah terkejut. Ia bertanya apakah Utara akan
memulai serangan. Komandan Tinggi balik bertanya apakah mereka harus
menunggu diserang terlebih dahulu.
Jae-ha
menonton berita. Korut memberitakan akan menyerang Seoul dengan rudal.
Mereka menyebut Jae-ha sebagai pengkhianat dan kroco Amerika. Di hari
Amerika menyerang Pyeongyang, mereka juga akan menyerang Seoul dan
menghabisi semuanya.
Sekretaris Eun masuk dan menanyakan apakah
Jae-ha sudah siap dengan pidatonya. Saat ini rakyat benar-benar
ketakutan mendengar Korut akan menyerang mereka. Ia meminta Jae-ha
bersikap tegas untuk menenangkan rakyat. Jae-ha mengangguk. Setelah
Sekretaris Eun pergi, Jae-ha mulai mengetik pidatonya.
“Aku
dengan tegas meminta Amerika menjelaskan alasan untuk menyerang Korea
Utara. Korea Utara juga harus menyingkirkan sikap militan mereka pada
Korea Selatan dan secepatnya memulihkan jalur komunikasi. Jika Korea
Utara bersikeras menyerang Seoul , kami Republik Korea akan melakukan
segalanya…”
Jae-ha terdiam. Ia teringat saat-saat ia bersama
Hang-ah. Saat pelatihan WOC,hingga Hang-ah menjadi tunangannya, Hang-ah
selalu berada di sisinya untuk mendukungnya.
“….untuk membalas Korea Utara dengan menyakitkan.”
Hang-ah
berbicara dengan ayahnya. Ia berkata sebenarnya ia tidak ingin berdebat
dengan Komandan Tinggi tapi ia khawatir posisi ayahnya akan terpengaruh
karena dirinya. Ayah Hang-ah hanya diam. Hang-ah mengungkapkan
kekesalannya karena partai tidak mau berperundingan dengan Selatan.
“Hari Minggu nanti kau tidak ada acara kan?” tanya ayah Hang-ah, “Bagaimana dengan berlibur bersama Ayah ke luar negeri?”
Ia
mengeluarkan dua lembar tiket pesawat tujuan Jerman. Ayah Hang-ah
berkata dengan demikian ia bisa tetap tinggal bersama Hang-ah dan Jae-ha
bisa sering-sering mengunjungi Hang-ah.
“Ayah, apa Ayah berpikir untuk mengasingkan diri?” tanya Hang-ah tak percaya.
Ayah
Hang-ah berpendapat perang ini tidak terhindarkan lagi. Hang-ah
bertunangan dengan orang Selatan, ia juga dianggap berpihak pada
Selatan. Hidup mereka berdua akan melayang.
Hang-ah bertanya
apakah partai Utara sudah pasti akan menyerang. Ayah Hang-ah berkata
negara mereka hanya membela diri, Amerikalah yang….
“Aku tanya apakah partai sudah pasti akan menyerang?”
“Tentu
saja! Apa kau tahu apa yang Lee Jae-ha katakan tadi pagi? Ia bilang
Utara akan mendapat balasan yang menyakitkan. Dia jelas-jelas tahu kau
ada di Utara, bagaimana ia bisa mengatakan hal seperti itu? Bukankah
artinya ia bisa membunuhmu? Ketika aku mendengarnya aku hampir gila,”
kata ayah Hang-ah kesal. Jika Hang-ah tidak mau ke Jerman, ia
mengusulkan mereka pergi ke tempat di mana Jae-ha tak bisa menemukan
mereka.
Hang-ah berkata Jae-ha mengumumkan itu hanya di depan
umum karena ia seorang Raja. Tapi ayah Hang-ah berkata justru karena
ucapan itu diucapkan di depan umum maka partai menganggapnya serius.
“Ketika aku mendengarnya, aku juga ingin memulai serangan seperti partai,” ujar ayah Hang-ah.
“Apa
Ayah barusan berkata bahwa kita, Utara, yang akan memulai serangan?”
tanya Hang-ah kaget. Ayah Hang-ah tak berani menatap puterinya.
Sepertinya ia keceplosan bicara.
“Artinya kita akan melakukan serangan mendadak?” tanya Hang-ah.
Perdana
Menteri Korsel sepertinya berpendapat sama. Ia ingin mulai menyerang
lebih dulu. Sekretaris Eun bertanya apa untungnya memprovokasi pihak
Utara dengan menyerang duluan.
“Tentu saja kita akan mendapatkan
kemenangan! Kita bisa menang hanya dalam waktu 3 hari. Asalkan kita
menggunakan bunker bom Amerika untuk menyerang fasilitas nuklir Utara,”
kata Perdana Menteri.
Sementara itu Jae-ha menemui Komandan
Selatan pendamping tim WOC. Komandan Selatan berkata jika Selatan
berhasil mengebom fasilitas nuklir Utara, maka efek radiasi nuklirnya
akan seperti Chernobyl. Bukan hanya Utara yang akan terkena dampaknya,
tapi Selatan juga.
“Jika perang dimulai, berapa banyak kekalahan kita?”
“Dua
ratus ribu tentara pada awal perang. Lima ratus warga di ibukota
terluka atau mati. Jika berlangsung seminggu, Kematian tentara bisa
mencapai sedikitnya 1 juta jiwa. Kematian warga bisa mencapai 5 juta
jiwa. Kerugian kita sedikitnya mencapai 200 milyar dolar AS. Untuk
memulihkannya sedikitnya membutuhkan 300 milyar dolar AS.”
“T-Tunggu sebentar,” Jae-ha kesulitan mencerna angka-angka tersebut saking tingginya. “Apa yang kaukatakan?”
“Ini
berdasarkan statistik tahun 1994. Saat ini mungkin angkanya mencapai
dua kali lipat. Bagaimanapun juga tim gabungan Amerika-Korsel pasti
menang pada akhirnya, tapi Utara juga tidak akan tinggal diam. Baik
Utara maupun Selatan akan kembali ke masa 40 tahun lalu, masa
pembangunan. Banyak pria berusia di bawah 40 tahun yang gugur. Ini
adalah kehancuran total negara kita,” Komandan itu menjelaskan. Jae-ha
terhenyak mendengarnya.
(Aku senang ada seorang perwira
berpangkat tinggi yang mengetahui akibat perang dengan jelas dan tidak
menganjurkan perang sama sekali. Sama seperti Shi-kyeong. Mereka menjadi
tentara bukan untuk berperang, tapi agar rakyat hidup tenang dan
damai.)
Malam itu Jae-ha merenungkan perkataan kakaknya, Shi-kyeong, Bong-gu, dan Hang-ah.
Jae-kang:
“Apa kau tidak tahu apa yang terus kukatakan berulang-ulang dalam
pikiranku? Perdamaian. Tidak hidup dalam ketakutan akan perang.”
Shi-kyeong: “Tidak boleh menyerah. Karena kau…. seorang Raja.”
Jae-kang: “Kau harus bisa melewati batasan itu! Kau seorang keluarga kerajaan!”
Bong-gu: “Jika ada orang yang mati dalam perang, itu adalah kesalahanmu.”
Hang-ah: “Kau pasti akan menghentikan perang ini, bukan? Aku pergi agar aku bisa kembali bertemu denganmu.”
Pada
saat yang sama, Hang-ah juga sedang memikirkan Jae-ha. Ia ingat Jae-ha
berterima kasih karena Hang-ah ada di sisinya. Juga permintaan Jae-ha
pada Hang-ah untuk mempercayainya. Terakhir Hang-ah ingat janji
pertunangannya. Bahwa ia dan Jae-ha akan bersatu dan berusaha
menghentikan perang.
Ting
Tong! Bel pintu rumah Hang-ah berbunyi. Hang-ah membukanya. Seorang
pria berkata ia baru saja pindah ke sebelah rumah Hang-ah kemarin dan
memberikan sekotak kue tanda perkenalan. Hang-ah mengenali aksen pria
itu dari Selatan dan dengan ramah menanyakannya, tapi pria itu menaruh
kotak itu di tangan Hang-ah dan cepat-cepat pergi.
Hang-ah
membuka kotak tersebut. Isinya bukan kue, melainkan kosmetik buatan
Jae-ha, seperti yang pernah Jae-ha berikan untuk meminta maaf. Hang-ah
tersenyum sedih.
Hang-ah melihat sebuah amplop besar di bawah
kotak itu. Ia membukanya. Isinya adalah dokumen rencana serangan Amerika
ke Utara.
Hang-ah
pergi menemui Komandan Tinggi dan mengaku kalau ia menerima informasi
penting dari Jae-ha. Komandan Tinggi menyuruh Hang-ah mengatakannya
dengan ancaman Hang-ah tidak asal bicara.
Hang-ah berkata ia
mendapat informasi mengenai waktu serangan Amerika ke Utara. Serangan
itu diberi kode “Morning Calm” dan telah ditandatangani Presiden
Amerika.
Komandan Tinggi tak sabar ingin mengetahuinya tapi
Hang-ah ingin bernegosiasi. Ia akan memberitahu informasi itu asalkan
Komandan Tinggi bersedia berunding dengan Selatan dan ia hadir dalam
perundingan itu sebagai wakil dari Utara.
“Apa kau sedang tawar menawar denganku?” tanya Komandan Tinggi.
“Ya.”
Komandan
Tinggi tertawa meremehkan dan bertanya apakah Hang-ah menawarkan diri
sebagai wakil Utara karena mengetahui wakil dari Selatan adalah Jae-ha.
Ekspresi Hang-ah berubah. Tampaknya ia tidak tahu.
“Kau
tidak tahu? Jika kau tahu, kau pasti lebih ingin pergi. Pertemuan
sepasang kekasih setelah berpisah lama. Kupikir kau akan dipenuhi emosi
nanti.” Dengan kata lain ia menolak Hang-ah sebagai wakil.
“Aku mengerti. Mari kita akhiri negosiasi ini,” sahut Hang-ah tenang.
Hang-ah
beranjak pergi. “Oya, kita akan menyerang mereka pada tanggal 30 Mei,
bukan? Kuberitahu satu hal. Pada saat itu, semuanya sudah terlambat,”
kata Hang-ah.
“Tunggu!! Katakan tanggalnya maka aku akan mempertimbangkan kau menjadi wakil dalam perundingan itu.”
Hang-ah
menghampiri Komandan Tinggi, “Bukankah setidaknya aku harus memiliki
kartu As?” (bagaimana jika ia mengatakan tanggalnya dan Komandan Tinggi
melanggar janjinya.)
Komandan Tinggi menganggap hal itu masuk
akal. Sebagai gantinya, ia meminta Hang-ah merobek surat perjanjian
Utara-Selatan untuk pertunangan Hang-ah dan Jae-ha. Itu adalah surat
perjanjian asli dan satu-satunya di Korut.
“Kau akan menemui musuh, apa gunanya lagi surat pertunangan itu?” tantang Komandan Tinggi.
Dengan
tenang Hang-ah mengambil surat itu dan merobeknya. Karena ia akan
mewakili Utara, ia bertanya pada Komandan Tinggi sebenarnya apa yang
Utara inginkan.
Komandan
Tinggi meminta Selatan menurunkan status perangnya. Hang-ah berkata ia
maju sebagai wakil Utara untuk mencegah terjadinya perang. Kalau hanya
menurunkan status apa gunanya?
“Kalau begitu suruh Selatan dan Amerika menyerah.”
“Kita tidak akan berperang,” kata Hang-ah tegas.
“Kita
dalam posisi berbahaya saat ini. Hal ini menyangkut nyawa warga negara,
apa kau sanggup menanggungnya?!” bentak Komandan Tinggi.
Ia
menyuruh Hang-ah menyerahkan dokumen informasi penyerangan Amerika ke
Utara segera setelah perundingan berakhir. Hang-ah berkata dokumen itu
ada di tempat yang hanya diketahui olehnya.
“Kalau begitu ayahmu akan berada di tanganku. Bukankah taruhannya akan meningkat setelah perundingan itu selesai?”
“Kau tidak boleh menggunakan ayahku.”
“Sepertinya
ia masih menjadi Menteri Persatuan, setidaknya aku bisa memenuhi
permintaan itu. Oya, kau tahu aku akan mengawasi perundingan itu melalui
monitor, bukan?”
“Itulah yang kuinginkan. Dengan demikian
kalian bisa mendengar langsung apapun yang Raja Selatan katakan.
Lihatlah sendiri, dan kalian boleh menilainya lagi setelah itu,” kata
Hang-ah.
Jae-ha
telah tiba di tempat perundingan. Pertemuan itu diadakan 4 mata di
ruangan tertutup, namun saat Jae-ha masuk ia melihat ruangan itu
dipasang kamera dan ada tombol darurat di meja sebelah tempat duduknya.
Jae-ha tidak tahu siapa perwakilan dari Utara.
Hang-ah bersiap
untuk menemui Jae-ha sebagai perwakilan dari Utara. Ia menelepon ayahnya
lebih dulu dan meminta maaf karena Komandan Tinggi menggunakan ayahnya
untuk mengancamnya. Ayahnya tidak ambil pusing. Ia berkata Komandan
Tinggi tidak akan melakukan apa-apa padanya. Ia meminta Hang-ah menemui
Jae-ha dengan tenang. Bukankah mereka sudah lama tidak bertemu?
Ayah
Hang-ah menutup teleponnya dan menarik nafas panjang. Ia masuk ke
ruangan Komandan Tinggi dan ikut melihat perundingan itu melalui layar.
Komandan Tinggi berkata Hang-ah sudah berubah banyak. Ayah Hang-ah
membenarkan, Hang-ah sekarang bersikap lebih baik. Komandan Tinggi
mendelik, jelas tidak setuju hehe..
Hang-ah memasuki ruang perundingan. Ekspresi Jae-ha berubah cerah begitu melihat Hang-ah. Kerinduan memenuhi matanya.
Walau
Hang-ah merasakan hal yang sama, ia bersikap kaku dan formal terhadap
Jae-ha. Awalnya Jae-ha bingung, tapi ia melihat alat dengar di telinga
Hang-ah. Ia menyadari percakapan mereka diawasi.
Jae-ha menjabat
tangan Hang-ah. Hang-ah menahan perasaannya untuk tidak memeluk Jae-ha
(karena itu yang akan kulakukan dan orang-orang lain lakukan saat
bertemu kembali dengan orang yang mereka cintai setelah berpisah lama
apalagi di ambang kematian >,<). Mereka duduk di pihak berlawanan.
Komandan
Tinggi memberi perintah agar Hang-ah memulai perundingan. Hang-ah
membuka percakapan dengan basa basi formalitas mengapa perundingan ini
diadakan. Jae-ha diam menatap Hang-ah.
“Mengapa kau meningkatkan status perang ke tingkat 2?” tanya Hang-ah.
Hening.
“Apa
kau benar-benar berpihak pada Amerika untuk menyerang kami? Tidak,
bukan?” (Hang-ah berusaha agar Jae-ha menjawab yang sebenarnya sehingga
Komandan Tinggi bisa mendengar sendiri jawaban Jae-ha)
Hening.
Komandan
Tinggi bertanya (melalui alat dengar) mengapa Hang-ah terburu-buru
padahal Jae-ha hanya duduk dengan tenang di sana. Ia menyuruh Hang-ah
menanyakan hal yang sudah ia perintahkan.
“Komrad Lee Jae-ha…”
“Kamera itu….apakah perundingan ini dilihat oleh orang yang memerintahkanmu?”
Hang-ah
berkata bukankah Jae-ha sudah diberitahu kalau persyaratan dari pihak
Utara harus dipenuhi bagaimanapun caranya. Termasuk kamera itu.
“Amerika Serikat telah memutuskan untuk menyerang pada tanggal 24 Mei. Apa kau sudah tahu?” tanya Jae-ha tenang.
“24
Mei?” Komandan Tinggi terkejut. Berarti waktunya kurang dari seminggu
lagi. Ia memerintahkan penggeledahan rumah Hang-ah untuk mencari dokumen
tersebut. Ayah Hang-ah dengan tenang mengeluarkan dokumen itu dari
balik jasnya dan menyerahkannya pada Komandan Tinggi. Sepertinya Hang-ah
memberikan dokumen itu pada ayahnya untuk jaminan agar ayahnya tidak
dilukai.
“Mengapa
kau menyebutkan tanggalnya,” kata Hang-ah kesal karena Jae-ha telah
membuka kartu As-nya begitu saja. “Bukankah kau seharusnya membujuk
Utara? Apakah kau sedang memicu perang?!”
“Apa yang ingin kaulakukan pada tanggal 24 Mei nanti?” tanya Jae-ha tenang. “Perang?”
“Komrad Lee Jae-ha!!” seru Hang-ah tak percaya.
“Aku berencana menikah pada hari itu,” kata Jae-ha, “Denganmu.”
Hang-ah,
Komandan Tinggi, dan ayah Hang-ah sama-sama tak mengerti bisa-bisanya
Jae-ha membicarakan pernikahan di saat perang kapan saja bisa terjadi.
“Bukankah kita memang merencanakan pernikahan sebelumnya? Kita hanya memajukan tanggalnya,” kata Jae-ha lagi.
Komandan
Tinggi marah. Ia menyuruh Hang-ah keluar sekarang juga. Jae-ha hanya
bermain-main, tak perlu lagi dipedulikan. Tidak ada perundingan lagi.
Hang-ah duduk dengan gelisah.
Melihat sikap Hang-ah, Jae-ha tahu Hang-ah sedang diinstruksikan sesuatu.
“Bicara
langsung padaku,” ujarnya menatap kamera, “Hang-ah bukan boneka. Ada
telepon dan alat komunikasi lainnya. Kau bisa bicara langsung. Mengapa
kau bersembunyi di balik Hang-ah dan membiarkannya menghadapi semua
sendirian?”
Komandan Tinggi tak dapat berkata apa-apa.
“Aku
benar-benar tak mengerti mengapa kau ingin menyerang kami? Apa kami
yang menyerang kalian lebih dulu? Tidak, bukan? Jika kau tidak punya
kepercayaan diri untuk bertempur maka jangan lakukan apapun. Mengapa kau
selalu menyalahkan kami dan membuat masalah?” tanya Jae-ha.
Ayah Hang-ah mengangguk-angguk setuju.
Komandan
Tinggi mengambil telepon dan menelepon Jae-ha ke telepon yang berada
dalam ruangan itu. Jae-ha mengangkatnya dengan terus menatap kamera.
“Tidak mungkin kami melakukan serangan teroris ke Amerika!” bentak Komandan Tinggi.
“Begitu
Amerika menyerang Pyeongyang, kau akan menyerang kami. Itu sama saja
dengan serangan teroris!!” Jae-ha balas membentak.
Jae-ha menarik nafas panjang dan merendahkan suaranya.
“Baiklah,
kalian semua akan mati. Kami juga akan mati. Amerika menyerang kalian
dan kalian menyerang kami. Jika Cina ikut campur, apa kaupikir ada yang
akan bisa bertahan hidup? Kedua negara akan hancur.”
Komandan
Tinggi menyadari itu tapi apakah pernikahan akan menyelesaikan semuanya.
Apakah Amerika akan menyelamati mereka dan mengharapkan mereka hidup
bahagia begitu saja?
“Itu
yang akan terjadi jika kami menikah diam-diam,” Jae-ha menatap Hang-ah,
“Tapi jika Utara dan Selatan menikah pada saat yang sama, pernikahan
itu akan menjadi saat penuh kebahagiaan. Lagipula, kita adalah
satu-satunya negara yang terbagi di dunia ini. Cukup dengan mengumumkan
pernikahan saja akan mendatangkan ucapan selamat dari banyak negara.
Pada saat itu, saat pernikahan dilangsungkan (dan disaksikan semua orang
di dunia), apakah mereka akan berani meluncurkan rudal? Tidak, mereka
tak akan bisa menyerang tanpa alasan yang jelas.”
Komandan
Tinggi tampak bimbang dan memikirkan perkataan Jae-ha. Jae-ha berkata ia
mengusulkan ini bukan agar Korea Selatan saja yang hidup. Tapi Korea
Utara juga. Agar Utara dan Selatan bisa hidup bersama.
Ayah
Hang-ah berusaha membujuk Komandan Tinggi bahwa ini jalan keluar yang
bagus untuk mereka. Komandan Tinggi meminta Hang-ah keluar dari ruangan.
Ia berkata akan memikirkan usul Jae-ha lebih dulu. Tapi waktu sangat
penting bagi mereka, dan Jae-ha tahu itu. Hang-ah bisa digunakan sebagai
alat negosiasi oleh Utara jika perang sampai terjadi.
Jae-ha
menekan tombol darurat. Perwira dari Utara dan Selatan menghambur masuk
dan saling mengacungkan senjata. Young-bae dan Dong-ha berhadapan
dengan senjata teracung tapi wajah mereka nampak ragu.
“Apa yang kaulakukan sekarang!!” seru Komandan Tinggi.
“Sekarang
kita sudah dalam situasi berhadapan, “kata Jae-ha. “Jika kau menyetujui
pernikahan kami, perintahkan perwiramu menurunkan senjata setelah 5
menit. Jika tidak, tembak aku di sini.”
“Komrad Lee Jae-ha!” protes Hang-ah. Komandan Tinggi dan ayah Hang-ah terkejut.
“Dan
lagi jika perundingan ini gagal, kalian tetap akan menyerang kami. Mati
sekarang atau nanti, apa bedanya? 5 menit lagi,” kata Jae-ha. Ia
menutup teleponnya.
Ruangan itu dipenuhi ketegangan.
“Young-bae,
kau penembak jitu, bukan?” tanya Jae-ha. “Tolong tembak tepat di sini.”
Jae-ha menunjuk dahi di antara kedua matanya.
5 menit telah usai. Jae-ha menelepon Komandan Tinggi dan menanyakan keputusannya. Komandan Tinggi tidak menjawab.
“Sepertinya belum,” kata Jae-ha, “Jadi, ini perang.”
Hang-ah menatap Jae-ha. Ayah Hang-ah menunduk.
“Tembak,”
Jae-ha memerintahkan Young-bae untuk menembaknya. Karena Komandan
Tinggi menginginkan perang maka ia akan mendapatkannya. Jika Raja Korea
Selatan ditembak satu kali saja oleh Utara, hal itu sudah bisa
menimbulkan perang.
“Awas kalau kau menembak,” Dong-ha memperingatkan.
Young-bae jadi gemetar dan berusaha berkata pada Komandan Tinggi. Tapi Hang-ah mengambil senjata itu dari Young-bae.
Ia
menghampiri Jae-ha dan mengarahkan senjatanya ke dahi Jae-ha. Dong-ha
mengarahkan senjatanya ke pelipis Hang-ah. Jae-ha tak bergeming. Ia
menatap Hang-ah.
“Haruskah
aku menembak?” tanya Hang-ah pada Komandan Tinggi. “Kenapa? Apa kau
pikir karena ia tunanganku maka aku tak berani menembak? Setelah aku
membunuhnya, aku bisa membunuhku diriku sendiri.”
“Komrad Kim Hang-ah,” protes Young-bae.
“Aku….akan segera menyusulmu, Komrad Lee Jae-ha,” kata Hang-ah pada Jae-ha. Mereka saling menatap dengan penuh cinta.
Ijinkan aku mengambil pepatah Dee: jika pandangan bisa membunuh, semua orang di ruangan telah terkapar^^
Hang-ah mengokang senjatanya dan siap menarik pelatuk, termasuk Dong-ha.
“Aku akan memutuskan!” seru Komandan Tinggi.
Semua diam tak bergerak.
“Kau akan membantu kami, bukan?” tanya Komandan Tinggi.
“Tentu saja,” jawab Jae-ha, tersenyum lega.
Komandan
Tinggi dan ayah Hang-ah terduduk lemas. Nampaknya usia mereka tidak
sanggup lagi menahan ketegangan. Gimana kalau perang ya >,<
Hang-ah
menurunkan senjatanya dengan tangan gemetar. Jae-ha mengambil senjata
itu dari tangan Hang-ah dan memeluknya erat-erat. Akhirnya semua bisa
bernafas lega.
Well…kecuali
si gila Bong-gu. Ia melihat berita perdamaian dari Korea Utara yang
menantang Amerika menyerang hati mereka yang saat ini dipenuhi cinta.
Hihihi… berita yang aneh :p
Bong-gu menelepon Direktur Amerika
dan menanyakan perubahan ini. Direktur itu berkata Jae-ha telah berhasil
membujuk Utara dengan nyawanya.
“Tapi kalian tetap akan menyerang mereka kan? Tanggal 24 Mei?”
“Mereka akan menikah pada hari itu. Di perbatasan.”
“Kalau begitu langsung saja serang mereka di sana. Bunuh mereka semua.” Bong-gu benar-benar kehabisan akal rupanya.
Direktur
itu marah. Bong-gu berteriak agar Direktur itu menyerang Korea. Ia
mengancam akan mengungkapkan kalau Direktur itu menerima suap dari Klub
M. Direktur itu tak tahan lagi diperintah oleh Bong-gu. Ia berkata
silakan saja Bong-gu mengungkapkan semuanya, dan lagi ia telah hampir
kehilangan pekerjaannya karena hal ini.
Iring-iringan
mobil Jae-ha berhenti di gerbang daerah bebas militer. Para wartawan
segera mengerumuninya. Jae-ha tidak bisa lewat karena gerbang itu
dihalangi portal.
Seorang tentara PBB berkata gerbang itu
ditutup karena perang dalam status tingkat 2. Jae-ha bertanya apakah ia
tidak tahu dari berita kalau ia akan menikah hari ini. Itulah sebabnya
ia hendak ke Utara.
Perwira itu terus saja mengoceh bahwa mereka
dalam status perang tingkat 2. Jae-ha tidak mempedulikannya dan
memerintahkan iring-iringannya untuk maju.
Tapi portal
penghalang belum dibuka. Tentara PBB tadi berlari berteriak-teriak agar
Jae-ha tidak diperbolehkan lewat. Jae-ha mengangguk pada perwira Korea
penjaga perbatasan. Perwira itu mengangguk dan membuka portal.
Iring-iringan
Jae-ha pun bisa lewat. Perwira itu bahkan sempat memberi ucapan selamat
pada Jae-ha. Jae-ha tersenyum. Sekretaris Eun terus menerus ditelepon
Amerika mengenai perkembangan selanjutnya.
Jae-ha berkata
biarkan saja Amerika melihat, bukankah mereka telah menerima undangan.
Ia juga sudah mengumumkan bahwa mereka memohon restu dari semua orang.
Jika Amerika begitu penasaran, biarkan saja mereka melihatnya melalui
CNN. Jae-ha dan Sekretaris Eun tertawa.
Hang-ah
sedang dirias. Ia mengenakan hanbok yang cantik. Hang-ah tersenyum
melihat dua perwira dari Utara dan Selatan mengobrol bersama. Untuk
itulah pernikahan ini diadakan.
Ayah
Hang-ah begitu gembira di hari bahagia puterinya. Hang-ah bertanya
bagaimana reaksi dari Amerika. Ayah Hang-ah meminta Hang-ah tidak
mengkhawatirkan hal itu, bahkan Cina telah menarik mundur pasukannya.
Ayah
Hang-ah berkata melihat ke jendela. Ia berkata biasanya pesta
pernikahan lebih besar dari pesta pertunangan, tapi apa-apaan ini?
Hang-ah berkata pernikahan ini begitu mendadak hingga persiapannya
terburu-buru.
“Tidak apa-apa,” Hang-ah menenangkan.
“Ini juga peristiwa sekali seumur hidup,” kata ayahnya. Senyum tak lepas dari wajah tuanya.
Hang-ah memeluk ayahnya. Ia meminta maaf.
“Aku benar-benar puteri yang buruk, bukan?” tanyanya.
“Asalkan
kau hidup dengan baik, Ayah tidak apa-apa,” ayah Hang-ah menepuk
puterinya. Ia melepaskan pelukan dan berkata seandainya saja ibu Hang-ah
bisa ada di sini. Keduanya tertawa.
Ayah Hang-ah berjalan ke jendela, pura-pura mengamati situasi di luar. Diam-diam ia menghapus air matanya.
Jae-ha
menerima ucapan selamat dari Amerika melalui pesan video. Juru Bicara
Gedung Putih mengucapkan selamat sekaligus menyatakan kalau mereka
mendukung sepenuhnya perdamaian dan mereka tidak pernah berniat
menyerang Korea Utara seperti yang diberitakan. Jae-ha tersenyum. Perang
telah dihentikan.
Jae-ha
dan Hang-ah berjalan dari arah berlawanan. Hang-ah dari Utara, Jae-ha
dari Selatan. Mereka bertemu di garis perbatasan Utara-Selatan. Jae-ha
melangkah ke Utara dan keduanya membungkuk ke Selatan. Lalu keduanya
melangkah ke Selatan dan membungkuk ke Utara.
Pernikahan Utara-Selatan. Jae-ha mengangkat mempelainya dan semua orang bertepuk tangan gembira.
Bagaimana
dengan Bong-gu? Ia akhirnya diadili dan seluruh tuntutannya dikabulkan.
Sebagai penjahat anti-kemanusian yang telah melakukan kekerasan,
penyiksaan, dan pembunuhan, Bong-gu dihukum penjara seumur hidup.
Jae-ha menemui Bong-gu di penjara. Ia berdiri di luar sel Bong-gu.
“Terima kasih karena bersedia menemuiku secara langsung,” kata Jae-ha.
Bong-gu menoleh, ia menyindir Jae-ha pasti merindukanya hingga mengunjunginya di tempat seperti ini.
“Aku menang. Bukankah segalanya hampir berakhir sebelum perang meletus? Kau takut, bukan?”
Jae-ha hanya menatap Bong-gu. Entahlah…..mungkin ada sedikit rasa kasihan pada orang penuh khayalan seperti Bong-gu.
“Kau
akan menderita trauma besar. Mendengar suara petasan saja akan
membuatmu terkejut. Suara sirine akan membuatmu gemetar ketakutan. Hanya
orang Korea yang bisa merasakan hal itu. Hanya negara yang pernah
mengalami perang yang mengerti hal ini. Jadi kalia semua akan terus
merasa tidak aman. Karena kaliam takut masa lalu akan terulang kembali.
Kau akan memberli lebih banyak senjata dan meningkatkan keamanan,”
Bong-gu mengoceh sambil tersenyum. Berusaha mengintimidasi Jae-ha.
“Bukankah
kami berhasil menghentikannya?” kata Jae-ha tersenyum. “Aku…kami…telah
memiliki kepercayaan diri karena dapat mencegah terjadinya perang.
Katanya perang adalah hal paling menakutkan di dunia ini. Kami berhasil
mencegahnya, apalagi yang tak dapat kami lakukan? Terima kasih karena
telah membuat kami lebih kuat.”
Bong-gu tersenyum kesal. Jae-ha pergi dari sana sementara Bong-gu terus berteriak-teriak.
“Kau
pikir kau telah menang dengan memenjarakanku? Klub M masih ada! Walau
namanya diubah, walau pemimpinnya diganti, Klub M tetaplah Klub M!
Mereka akan terus mengancam kalian! Menghancurkan kalian! Utara dan
Selatan akan terpisah sebelum 5 tahun! Terpisahkan!”
Jae-ha sempat berhenti mendengar kata-kata Bong-gu tapi ia meneruskan dan tidak mempedulikannya lagi.
Empat tahun berlalu….
Jae-ha
menerima perwira-perwira dari Utara yang akan mengikuti pelatihan tim
gabungan Utara-Selatan untuk WOC ke-5 (Jae-ha dkk mengikuti WOC ke-3).
Jae-ha melihat ketiga peserta itu semuanya pria.
Jae-ha menoleh
pada Dong-ha, Young-bae, dan Kang-seok yang bertugas melatih tim WOC
kali ini. Ia bertanya apakah kali ini tidak ada wakil perwira wanita
dari Utara. Kang-seok menjawab mereka memutuskan kali ini perwira wanita
dipilih dari Selatan.
Jae-ha mendekati Young-bae dan berbisik kalau gadis-gadis dari Selatan juga cantik-cantik.
“Berusahalah sebaik-baiknya sambil berlatih,” bisik Jae-ha.
“Aku sudah melihatnya,” sahut Young-bae memalingkan wajahnya.
“Ada apa dengannya?” tanya Jae-ha pada Dong-ha, “Apa ia sudah menentukan pilihannya pada seseorang?”
“Akhir-akhir
ini ia tidak normal. Ia bilang ia tidak bisa mendisiplinkan mereka
karena mereka terlalu cantik,” jawab Dong-ha. Hahaha :D
Jae-ha
tertawa geli. Young-bae tertunduk malu, sementara Kang-seok melotot
pada Young-bae. Akhirnya penggemar SNSD muncul lagi, kok dia ngga
keliatan ya di episode-episode sebelum ini^^
Jae-ha
mempersilakan para perwira Utara yang akan mengikui WOC pergi ke ruang
sebelah. Karena mereka telah lama tidak berkumpul, Jae-ha mengajak
mereka minum setelah ia selesai.
“Tidak semuanya…” kata Young-bae sedih.
“Bukankah
kita tadi pergi ke makamnya dan menuangkan minuman? Minuman sebanyak
itu sudah cukup untuk membuat Komrad Eun Shi-kyeong mabuk.”
“Tidak
hanya mabuk, ia bertaruh ia sudah terkapar duluan,” ujar Jae-ha. Jelas
mereka masih merindukan Shi-kyeong dan mengingatnya dalam hati mereka.
Jae-shin
duduk di tembok kota tempat ia pernah duduk bersama Shi-kyeong. Ia
sudah kembali menjadi Jae-shin yang dulu. Ceria dan mandiri. Ia
bertanya-tanya mengapa tidak ada bintang hari ini.
“Apakah karena hari ini mendung?” tanya Jae-shin pada burung beonya.
“Besok
aku akan mengikuti kencan buta. Apa yang harus kulakukan? Pergi atau
tidak? Kudengar ia cukup tampan,” celoteh Jae-shin. Ia membayangkan
Shi-kyeong duduk di sampingnya.
“Pergi dan temui dia,” ujar Shi-kyeong.
“Apa kau marah?” tanya Jae-shin.
“Tidak, pergilah dan temui dia,” kata Shi-kyeong tersenyum.
“Aku tidak berani mengatakan kalau aku hanya akan memikirkan Eun Shi-kyeong sepanjang sisa hidupku hingga aku mati.”
“Kau tidak bisa melakukannya,“ Shi-kyeong menyetujui.
“Tapi kau akan terus di hatiku. Seperti bayangan,” kata Jae-shin. Mereka tersenyum.
Sebenarnya
Jae-shin masih duduk di kusi roda. Ia menatap tembok kota itu, yang
menjadi kenangannya bersama Shi-kyeong. Namun Jae-shin tidak larut dalam
kesedihan. Ia berhasil bangkit, seperti yang diinginkan Shi-kyeong.
Ayah
Hang-ah menerima kiriman foto cucunya, putera Hang-ah dan Jae-ha.
Terlihat sekali kalau ayah Hang-ah sangat memuja cucunya ini. Ia kakek
yang sangat bahagia. Untunglah teknologi sudah canggih hingga mereka
bisa menelepon sambil bertatap muka^^
Hang-ah
menghadiri pembukaan cabang bank selatan pertama di Utara. Ia
seharusnya meresmikan pembukaan bank bersama itu bersama Jae-ha tapi
Jae-ha datang terlambat.
Setelah empat tahun menjadi Ratu, tentu
saja Hang-ah sekarang terbiasa menghadapi media. Ia tetap tersenyum
walau Jae-ha belum datang juga.
Akhirnya Jae-ha tiba. Hang-ah
menarik nafas lega. Ia berbisik menyindir Jae-ha datang kepagian. Jae-ha
berbisik tempatnya terlalu jauh. Keduanya menggunting pita dan
meresmikan bank itu.
Tiba-tiba seorang anak menerobos kerumunan dan berteriak “Ayah!”
Jae-ha menggendong puteranya. Dayang kerajaan meminta maaf karena Putera Mahkota melepaskan diri dari pegangannya.
“Putera Mahkota mewarisi kemampuan atletik Ratu,” ujar Jae-ha pada para wartawan.
Para wartawan memuji Putera Mahkota yang tampan, anggun dan berkelas. Persis seperti Jae-ha waktu kecil.
“Eomani!”
tiba-tiba Putera Mahkota memanggil ibunya dengan dialek Utara (Selatan
memanggil ibu dengan Eomeoni). Ups… Hang-ah langsung menutup mulut
anaknya, dan tersenyum polos. Terlambat, para wartawan itu telah
mendengarnya.
Segera
saja hal itu menjadi pemberitaan. Ada yang mengusulkan agar Putera
Mahkota dikirim bersekolah ke luar negeri sebelum terlambat. Rakyat
Selatan mengkhawatirkan Putera Mahkota yang dididik oleh ibu dari Utara.
Keluarga kerajaan menyaksikan berita itu. Ibunda Raja berkata mereka tidak usah mempedulikan berita itu. Hang-ah meminta maaf.
“Tidak, kau tidak perlu meminta maaf. Semua akan baik-baik saja jika mereka telah puas berbicara,” kata Ibunda Raja.
Jae-ha
mendengarkan dengan wajah serius. Ia berkata ia ingin berbicara dengan
Hang-ah. Ibunda Raja mengangguk dan meninggalkan mereka.
Jae-ha
menatap Hang-ah dan puteranya, lalu mulai tertawa. Hang-ah ikut tertawa,
ia berkata ia hanya mengatakan kata itu satu kali. Tak disangka Putera
Mahkota mengingatnya (IQ 187??).
“Ia seperti Hang-ahku yang cantik. Bahkan caranya berbicara sangat manis,” kata Jae-ha.
“Putera
Mahkota kami akan seperti Ayahnya, dan menjadi Raja yang hebat,” kata
Hang-ah sambil memeluk puteranya dengan penuh kasih sayang. Jae-ha
tersenyum melihat keduanya. Happy royal family^^
Jae-ha
mendapat telepon dari Sekretaris Eun. Ternyata media asing juga
membesar-besarkan masalah ini. Jae-ha merasa geli, orang-orang itu
bahkan tidak bisa membedakan “eomeoni” dengan “eomani”. Jae-ha melihat
bahwa Lion Dregs (aku baca terjemahan dreg adalah sampah??) dari
Perkumpulan M sedang mencari-cari kesalahan lagi. Sepertinya Lion Dregs
ini pengganti Bong-gu dan Perkumpulan M adalah nama lain dari Klub M.
Jae-ha
meminta Sekretaris Eun mempersiapkan konferensi pers. Ia akan
menjelaskan kesalahpahaman ini. Sekretaris Eun menyarankan agar Jae-ha
mengabaikan masalah ini. Tapi Jae-ha tahu parlemen juga membuat proposal
untuk penjelasan masalah ini. Jika diabaikan, mereka akan membuat
keributan agar bisa memisahkan Jae-ha dengan Hang-ah.
“Walaupun
begitu, itu hanyalah segelintir orang. Mereka tidak pernah berencana
untuk mendengar penjelasan Yang Mulia maupun Ratu. Mereka memang
menentang kalian sejak awal, ” kata Sekretaris Eun.
“Tapi
orang-orang itu juga rakyatku. Walau hanya tersisa satu orang lagi yang
belum bisa menerima Hang-ah, aku tetap akan menjelaskan padanya sampai
akhir,” kata Jae-ha tersenyum. Ia lalu kembali ke meja kerjanya.
Sekretaris Eun melihat Jae-ha dan tersenyum bangga.
Jae-ha dan Hang-ah bersiap memasuki ruang konferensi pers.
Jae-ha: “Situasinya tidak terlalu baik. Terdapat percikan di mana-mana.”
Hang-ah: “Jika kita menggunakan dialek (Utara) lagi, maka bisa mencetuskan perang.”
Jae-ha: “Tapi kita bahkan bisa menghentikan perang.”
Hang-ah: “Benar, kita bisa melakukannya selama kita tidak menyerah.”
Pintu dibuka. Mereka menatap kerumunan orang dan kilatan lampu yang menanti mereka.
Jae-ha: “Apa kau siap?”
Hang-ah: “Ya.”
Keduanya berpegangan tangan.
“Aku mencintaimu,” kata Jae-ha. Hang-ah menoleh. Keduanya tersenyum.
“Ayo…..”
Mereka memasuki ruang konferensi dengan penuh percaya diri.
source : http://patataragazza.blogspot.com/2012/06/sinopsis-king-2-hearts-episode-20-end.html
re-posted and re-edited by : dianafitriwidiyani.blogspot.com
No comments:
Post a Comment