Jung Woo mengikuti arah GPS yang dibawa Soo Yeon, dan
memberitahu seniornya kalau Soo Yeon dibawa keluar kota, mengarah ke daerah
Soosung. Detektif Joo bertanya, di area mana Soosungnya? Apakah RSJ Jaekyung,
sungai, atau villa?
Jung Woo belum tahu, tapi ia akan meninggalkan handphone yang
menyala (agar bisa dilacak) di mobil dan meminta seniornya itu untuk
mengikutinya.
Sedangkan Soo Yeon berada di sebuah tempat, sendirian dan
gemetar. Ia semakin gemetar ketakutan karena mendengar suara langkah Hyung Joon
yang sangat dikenalnya.
Tibalah Jung Woo di depan sebuah gudang. Gudang yang
mengingatkannya pada panggilah lirih Soo Yeon.
Gudang yang mengingatkannya pada
tatapan kosong Soo Yeon yang tergeletak tak berdaya. Dan dari gudang itu
pulalah, ia melarikan diri. Gudang itu pulalah yang menghantuinya selama 14
tahun ini.
Dalam hati, Jung Woo berkata, “Aku pernah memimpikan hal
seperti ini sebelumnya. Kembali ke sini.. untuk membawamu, Soo Yeon.”
Dan iapun membuka pintu gudang. Tampak di depannya, Soo Yeon
yang duduk dengan gemetar. Tapi saat melihat Jung Woo yang mengangguk padanya,
ia menjadi tenang dan tak gemetar lagi.
Di samping, Hyung Joon duduk dan menodongkan pistolnya. Ia
melemparkan GPS yang disimpan Soo Yeon ke kaki Jung Woo. Dan dengan pistolnya,
ia menyuruh Jung Woo untuk duduk di kursi, berhadapan dengan Soo Yeon.
Sementara itu, ibu mulai membongkar kotak barang Jung Woo
yang dulu pernah ia berikan saat menyuruh Jung Woo pulang, dan tersenyum
melihat isinya, “Astaga.. ia membawanya kembali sama persis seperti saat
kuberikan padanya.”
Tiba-tiba telepon rumah berbunyi, dan ibu menoleh mendengar
suara itu.
Han Tae Joon dibawa ke kantor polisi, dan masih dengan sikap
arogannya, ia membentak dan meminta pengacara pribadinya.. Tapi atasan Jung Woo
tak gentar menghadapi bentakan Tae Joon. Ia malah menghardik Tae Joon yang
berkonspirasi dengan pembunuh berantai, membiarkan putranya sendiri, Jung Woo,
menghadapi pembunuh itu dengan tangan kosong untuk menyelamatkan Soo Yeon.
“Jika sesuatu terjadi pada Jung Woo atau Soo Yeon, kaulah
bertanggung jawab atas kematian mereka,” ancam atasan Jung Woo tak menyadari
kedatangan ibu Soo Yeon dan mendengar ucapannya.
Dengan tatapan nanar, ibu melihat Tae Joon menyalahkan
polisi yang tak becus menangkap Hyung Joon yang cacat dan menyuruh atasan Jung Woo untuk memanggil
Pak Kepala Polisi agar menghadapnya.
Atasan Jung Woo kaget saat ibu muncul di hadapannya. Ia
buru-buru menyapanya mencoba mengalihkan perhatian ibu dari Tae Joon yang belum
pernah dilihat ibu dan bertanya alasan kedatangan ibu. Ibu datang karena ada
telepon dari polisi yang menanyakan tentang keberadaan Soo Yeon dan ia ingin
tahu apa yang sedang terjadi.
Saat menjawab pertanyaan itu, mata ibu tak pernah lepas dari
Tae Joon. Ibu akhirnya melihat pria yang membuat Jung Woo, “Aku salah dengar,
kan? Orang ini tak menipu Soo Yeon dan Jung Woo lagi, kan?”
Atasan Jung Woo mencoba mengajak ibu Soo Yeon untuk
menyingkir, tapi ibu mendorong Tae Joon dan menggoncangnya, “Kembalikan
anak-anakku! Kembalikan mereka!”
Tae Joon berdiri dan marah pada atasan Jung Woo, “Apa yang
sedang kau lakukan? Keluarkan dia dari sini!”
Atasan Jung Woo kembali mencoba mengajak ibu Soo Yeon untuk
menyingkir dengan mengatakan kalau pria itu adalah ayah Jung Woo. Tapi itu
malah membuat itu marah, “Siapa yang menjadi ayah Jung Woo? Jung Woo bukanlah
anaknya. Jung Woo adalah anakku! Akulah yang telah membesarkan Jung Woo selama
14 tahun!”
Mendengar hal ini, bukannya membuat Tae Joon marah, tapi ia
malah tertawa. Tentu saja tawa itu membuat ibu heran sekaligus marah. Ia tak
percaya melihat Tae Joon yang malah tertawa padahal Tae Joonlah yang menyuruh
orang untuk mengumumkan kalau Soo Yeon mati dan membuat hidupnya seperti
tercekik selama 14 tahun ini,
“Saat putriku harus mengalami mimpi buruk gara-gara kau,
saat putraku harus hidup dalam penderitaan selama ini. Kau berani tertawa?” ibu
histeris dan menarik jas Tae Joon.
Tae Joon serta merta mendorong ibu dan mengatainya gila.
Atasan Jung Woo mencoba menahan ibu dan menyuruh anak buahnya untuk membawa
Jung Woo pergi, tapi ibu belum selesai.
Ibu berkata kalau ia mungkin gila tapi Tae Joonlah yang
bukan manusia, “Setelah semua yang terjadi, kau malah membantu pembunuh
berantai itu? Di mana anakku? Di mana Jung Woo? Kembalikan anak-anakku!”
Ibu mencoba melepaskan diri dari atasan Jung Woo dan ingin
mengejar Tae Joon yang sudah dibawa pergi, tapi atasan Jung Woo tetap
memeganginya.
Ibu tak berdaya dan hanya bisa menyumpahi Tae Joon yang sudah pergi,
“Kalau ada sesuatu terjadi pada Soo Yeon ataupun Jung Woo, aku tak akan pernah
melepaskanmu! Aku akan mengikutimu kemanapun engkau pergi dan akan menyiksamu!
Jadi sebaiknya kau bersembunyi, bajingan tengik!”
Atasan Jung Woo hanya bisa memeluk ibu yang menangis
tersedu-sedu.
Hyung Joon bertanya pada Jung Woo, bagaimana rasanya kembali
ke tempat ini. Soo Yeon yang mendengar hal ini, bingung, tak tahu apa yang
mereka bicarakan dan bertanya pada Jung Woo.
Jung Woo menyadari kalau Soo Yeon tak ingat kalau gudang ini
adalah gudang tempat mereka disekap 14 tahun yang lalu dan ia bertanya pada
Hyung Joon apakah ini adalah cara
terbaik sebagai percobaan terakhirnya? “Tujuan akhirmu adalah membawa kembali
luka Soo Yeon dan lukaku?”
Hyung Joon mengira kalau Jung Woo sudah lupa. Apalagi Zoe.
Pada Zoe ia bertanya ramah, “Kau melupakan bahkan setelah ia meninggalkanmu
sendiri untuk melarikan diri?” Tapi ia kemudian membentak, “KAU MENCINTAINYA?!”
Soo Yeon melihat ke sekeliling gudang, dan ingatan itu
kembali lagi. Saat-saat penculik itu bersiul gembira, dan datang dengan langkah
mabuk, menghampiri mereka berdua. Ia gemetar ketakutan saat mengingat penculik
itu menarik kakinya yang membuat pegangan tangannya pada Jung Woo terlepas.
Jung Woo melihat betapa ketakutannya Soo Yeon sekarang,
meminta Soo Yeon untuk mengangkat wajahnya. Maksudnya adalah untuk menatapnya,
karena ada dia di hadapan Soo Yeon sekarang.
Tapi Hyung Joon tertawa dan juga menyuruh Soo Yeon untuk
mengangkat wajahnya, agar Soo Yeon bisa melihat Jung Woo yang meninggalkannya
dan melarikan diri sendiri, “Kau meninggalkanku.. untuk orang seperti ini?!”
Soo Yeon semakin gemetar ketakutan dan Jung Woo menenangkan
Soo Yeon kalau ia bukanlah anak 15 tahun yang dulu.
Ia meminta Soo Yeon untuk
melihatnya, “Tak peduli apapun yang terjadi, aku tak akan pergi kemanapun dan
tak akan meninggalkanmu sendiri. Angkatlah wajahmu, Lee Soo Yeon!”
Perlahan-lahan Soo Yeon mengangkat wajahnya, menatap Jung
Woo. Tapi yang di hadapannya bukan lah Jung Woo yang sekarang. Tapi Jung Woo
yang memandangnya 14 tahun yang lalu. Jung Woo yang kemudian meninggalkannya
walau ia memanggilnya.
Dan Soo Yeon pun bergidik ketakutan. Ia menjerit dan
menarik-narik bajunya, sama seperti yang ia lakukan 14 tahun yang lalu.
Hyung Joon yang dulu memeluknya untuk menenangkannya,
sekarang malah tertawa senang, seakan tujuannya berhasil.
Jung Woo pun hanya bisa menunduk, “Hari itu.. saat kedua
tangan dan kakiku terikat, hal yang kusaksikan membuatku terkoyak,” Jung Woo
menoleh pada Hyung Joon dan berkata kalau itu adalah air mata Soo Yeon. “Apa
yang terjadi pada hari itu sangat tak tertahankan dan memalukan. Dan aku masih
merasa ingin mati jika aku memikirkannya.”
Pada Soo Yeon ia berkata kalau ia masih merasa malu dan hina
atas apa yang telah ia lakukan di hari itu, yang tak melakukan apa-apa, bahkan
melarikan diri.
Mendengar hal itu, Soo Yeon mendongak dan menatap Jung Woo.
Jung Woo meminta Hyung Joon untuk melihat Soo Yeon. Apakah
air mata (trauma) Soo Yeon berakhir karena ia berhasil membunuh Sang Deuk?
Apakah semua yang terjadi pada Soo Yeon bisa pergi begitu saja? Jung Woo
menyebut pamannya itu bodoh.
Bagi Jung Woo, Hyung Joon kehilangan Soo Yeon karena Tae
Joon. Karena Hyung Joon terlalu sibuk membenci Tae Joon maka ia kehilangan Soo
Yeon. Dan sekarang karena kebencian Hyung Joon padanya, Hyung Joon melukai Soo
Yeon lagi.
Seharusnya Hyung Joon tak perlu memanggil Soo Yeon kemari karena
saat itu ialah yang meninggalkan Soo Yeon dan melarikan diri. Soo Yeonlah yang
seharusnya dapat terus membencinya,
”Kau tak perlu harus melakukannya sejauh
ini. Bahkan aku .. masih belum dapat memaafkan diriku sendiri atas apa yang
telah aku lakukan. Jadi hentikan semua ini!” kata Jung Woo marah dan berdiri.
Hyung Joon langsung menodongkan pistol ke arah Soo Yeon dan menyuruh Jung Woo, “Duduk!”
Jung Woo langsung terpaku, tak berani bergerak, takut kalau
sedikit gerakannya akan membahayakan nyawa Soo Yeon. Sedangkan Soo Yeon sendiri
yang tadi mulai tenang, mulai gemetar ketakutan lagi.
Hyung Joon setuju dengan kata-kata Jung Woo. Ia akan
menghentikan semua ini karena semuanya tak ada gunanya lagi. Merintih ia
berkata pada Soo Yeon, “Soo Yeon ah.. Lihatlah padaku. Maafkan aku juga. Aku
tak ingin sendiri. Aku takut. Aku juga tak ingin dipenjara. Rasanya aku
tercekik tak bisa bernafas karena merindukanmu. Kumohon.. lihatlah padaku.”
Hyung Joon mengulurkan tangannya, meminta Soo Yeon datang
padanya, “Kemarilah, Soo Yeon.. kemarilah.. Zoe.”
Mendapat permohonan seperti itu, Soo Yeon berkali-kali
melirik Jung Woo, seakan meminta pendapatnya. Jung Woo pun hanya bisa menatap
keduanya, seakan ragu atas tindakan selanjutnya.
Sementara itu, Detektif Joo membawa pasukan khusus untuk menyelamatkan
Jung Woo dan Soo Yeon. Salah satu pasukan itu memasukkan kamera ke dalam
gudang, sehingga Detektif Choi dapat mendengar apa yang terjadi di dalam
gudang.
Jung Woo meminta Harry untuk menurunkan senjatanya, “Apa
yang sedang kau lakukan sekarang saja menakutiku. Jadi bagaimana mungkin Soo
Yeon berani kembali padamu?”
Hyung Joon malah menembakkan pistol ke arah Jung Woo,
membuat Soo Yeon berteriak kaget.
Begitu pula Detektif Joo yang mendengar dari
kamera mata-mata. Para polisi di luar pun segera bersiaga.
Tapi yang ditembak Hyung Joon adalah udara kosong, “Zoe dan aku
sedang berbicara. Jangan ikut campur!” Hyung Joon mulai berbicara kembali pada
Soo Yeon, “Zoe..”
Jung Woo menyela, “Kenapa kau tak membunuhku?” tanya Jung
Woo akan tembakan gagal barusan, “Apa karena aku keluarga?” Hyung Joon menoleh,
menatap Jung Woo yang menatapnya nanar, “Kenapa kita tak pernah bertemu? Apa
karena Han Tae Joon?”
Hyung Joon tersenyum mendengar pertanyaan Jung Woo. Apakah
Jung Woo baru menyadarinya sekarang? “Semua ini.. karena Han Tae Joon.”
Jung Woo mengiyakan. Semua ini karena ayahnya, Han Tae Joon.
Ia bahkan belum bisa memaafkan ayahnya sampai sekarang. Apakah karena Hyung
Joon kasihan padanya? Karena ia adalah anak seorang Han Tae Joon?
Tapi Hyung Joon bisa menebak maksud Jung Woo yang memiliki
udang di balik batu. Seumur hidupnya ia hidup dari satu kebohongan ke
kebohongan lainnya agar ia bisa selamat, “Jadi aku tak akan tertipu oleh
kebohongan yang gampang ketahuan seperti itu.”
Sepertinya luka di kaki menyerang kembali, sehingga Hyung
Joon merintih, “Zoe.. rasanya sakit sekali. Aku memimpikan kembali saat-saat
kita ada di Perancis. Walau kau tak mencintaiku, tapi aku masih merasa bahagia.
Aku ingin kembali ke masa-masa itu.”
“Hanya karena ini bukan jenis cinta yang kau inginkan, bukan
berarti aku tak pernah menyayangimu. Bagiku dan bagimu.. kita adalah
satu-satunya keluarga yang kita miliki. Aku tak berpikir kalau semua di dirimu
adalah kebohongan. Harry, aku pun juga pembohong,” kata Soo Yeon menangis, “Aku
membohongimu banyak hal. Aku berpura-pura telah melupakan semuanya. Aku berpura-pura
tak merindukan semuanya.”
Soo Yeon meminta maaf telah berpura-pura tak menyadari semua
tanda, padahal Hyung Joon sangat cepat dalam menyimpulkan sesuatu. Semua ini
pasti berat ditanggung Hyung Joon sendiri.
Jung Woo melihat sekelebat lampu infra merah, pertanda ada
orang yang menjadikan Hyung Joon sebagai target tembak. Ia melirik ke belakang,
menyadari kalau bantuan telah tiba.
Hyung Joon menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengatai Soo
Yeon bodoh. Kenapa juga Soo Yeon harus takut padanya? “Jika aku akhirnya harus
membunuh semua orang di dunia ini, aku tak akan pernah membunuhmu.”
“Turunkan dulu senjatamu,” pinta Soo Yeon.
Tapi bagi Hyung Joon sudah terlambat. Yang ingin Hyung Joon
lakukan sekarang adalah kembali ke rumah yang dulu pernah mereka tinggali
bersama, bersama tongkat yang dulu pernah Soo Yeon buatkan untuknya.
Jung Woo terkesiap kaget, saat Hyung Joon akan meraih tongkat
itu. Karena Hyung Joon akhirnya melihat infra merah yang mengenai tongkat itu dan tahu kalau ia sekarang menjadi target.
Jung Woo meminta
Hyung Joon untuk keluar bersamanya. Karena jika Hyung Joon memaksa untuk tetap
tinggal di sini, maka akan lebih membahayakan Soo Yeon.
Tapi Hyung Joon malah mengarahkan pistolnya lagi pada Soo
Yeon dan berteriak mengusir Jung Woo, “Katamu surga tak dapat dihuni sendiri,
kan? Maka aku akan membawa Soo Yeon bersamaku,” dan iapun menghampiri Soo Yeon
dan menjadikannya sebagai sandera.
Soo Yeon kembali gemetar ketakutan, dan memanggil nama Jung
Woo. Jung Woo terbelalak, karena infra merah itu sekarang bergerak tak
beraturan, kadang mengenai tubuh Soo Yeon. Gerakan sekecil apapun dari polisi
yang membawa senapan, bisa membahayakan nyawa Soo Yeon.
Detektif Joo lari dari mobil pengawas kamera, menghampiri pimpinan
pasukan khusus, memintanya untuk menunda melakukan tembakan karena target
tembakan tak pasti dan malah akan membahayakan ketiganya. Ia mencoba meyakinkan
kalau Jung Woo akan membawa korban keluar. Tapi polisi itu mendapat perintah
dari atasan untuk menembak. Maka Detektif Joo meminta agar polisi itu mengulur
waktu 5 menit saja.
Masih dengan infra merah yang bergerak liar ke seluruh
tubuhnya dan Soo Yeon, Hyung Joon mengarahkan pistol ke leher Soo Yeon dan berkata
kalau ia selalu iri pada Jung Woo. Karena itu pada akhirnya, ia juga akan
menghitung sampai hitungan ketiga.
Tak ada jalan lain bagi Jung Woo untuk menyelamatkan Soo
Yeon, kecuali menutupi Hyung Joon dan Soo Yeon, menghalangi infra merah itu
agar tak mengenai keduanya.
Ia pun berkata kalau Hyung Joon hanya iri pada
hal-hal baik dari dirinya. Dan ia bertanya apakah Hyung Joon iri padanya? “Pada
kakiku yang membuatku melarikan diri? Atau pada ayahku, Han Tae Joon? Pada ibuku
yang meninggalkanku? Aku bahkan tak pernah tahu wajah ibuku.”
Jung Woo juga mengatakan kalau nanti Hyung Joon menembak Soo
Yeon, cinta mereka (yang diirikan Hyung Joon) tak akan pernah hilang dan ia
yakin kalau kematian Soo Yeon akan memperdalam perasaan duka yang ia rasakan.
Apakah Hyung Joon masih akan mengirikan hal ini?
Mendengar kata-kata Jung Woo, Hyung Joon menjadi marah dan
mengarahkan pistolnya kepada Jung Woo.
Tapi Soo Yeon yang sekarang bebas dan
melihat Jung Woo dalam bahaya, segera bangkit dan menghalangi pistol Hyung
Joon, yang sekarang mengarah padanya.
Jung Woo terbelalak tak percaya melihat Soo Yeon lagi-lagi
mempertaruhkan nyawa untuknya. Soo Yeon perlahan-lahan maju ke depan, mendekati
pistol Hyung Joon dan berkata pada tunangannya, “Jung Woo-ya.. Terima kasih
telah menungguku sekian lama. Tapi kali ini, aku akan pergi dulu dan akan
menunggumu.”
“Joon-ah.. Aku benar-benar menyukaimu, tapi beginilah cinta,”
Soo Yeon berjalan semakin mendekati pistol Hyung Joon, hingga akhirnya pistol
itu ada di depannya dan ia meraih pistol itu dan mengarahkannya tepat ke dadanya.
Dan pada Jung Woo, ia berpesan agar Jung Woo memastikan kalau Hyung Joon
jangan dilukai.
Hyung Joon shock dengan kenyataan kalau Soo Yeon menjadikan
dirinya sebagai umpan.
Ia mundur, walau masih mengacungkan pistol ke arah Soo
Yeon. Ia tak percaya pada kata-kata Soo Yeon, “Tidak.. tidak! TIDAK! KAU PASTI BERBOHONG!!”
Tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, secepat kilat Jung Woo menarik tubuh Soo Yeon dan melindunginya.
Melindungi dengan menutupi tubuh
Soo Yeon dengan tubuhnya. Melindungi Soo Yeon agar tak terkena tembakan yang
meletus dari pistol Hyung Joon.
Soo Yeon menjerit memanggil Jung Woo yang terjatuh ke
lantai, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Hyung Joon pun shock melihat
tembakan itu. Apalagi para polisi menerobos masuk ke dalam gudang.
Hyung Joon menatap Soo Yeon yang terisak, memohon Jung Woo
agar bangun. Hyung Joon mengarahkan pistol ke kepalanya, memanggil Zoe. Tapi
Soo Yeon menolehpun tidak. Ia hanya memanggil-manggil Jung Woo agar membuka
mata.
“Aku.. aku.. akupun bisa mempertaruhkan nyawa untukmu.” |
Tapi Soo Yeon seakan tak mendengarnya. Tak berani
menggerakkan tubuh Jung Woo, Soo Yeon hanya bisa menutupi punggung Jung Woo
yang mengucur darah dengan tangannya.
Hal itu membuat Hyung Joon semakin tak mengerti, “Jika itu yang
kalian sebut dengan cinta, akupun juga bisa mati karenamu juga!”
Tapi teriakan Hyung Joon tak dapat didengar Soo Yeon, karena
Soo Yeon terisak semakin keras karena nafas Jung Woo sudah semakin pendek.
Hyung Joon berteriak meminta Soo Yeon untuk menoleh padanya,”Lihatlah padaku!!”
Tapi Soo Yeon yang semakin panik memohon para polisi untuk menyelamatkan Jung
Woo.
Hyung Joon putus asa melihat Soo Yeon yang tak sekalipun
melihat kepadanya. Ia pun menarik pelatuk pistol itu, bersiap menembak
kepalanya sendiri.
Tapi polisi lebih cepat, dan menembak lengan Hyung Joon,
melumpuhkannya.
Setelah Hyung Joon terjatuh, polisi segera mendekati tubuh
Hyung Joon dan Jung Woo. Soo Yeon yang tak mau pergi dari Jung Woo ditarik
menjauh darinya dan Detektif Joo mencoba melihat luka di tubuh Jung Woo.
Hyung Joon menatap Soo Yeon yang ditarik pergi, mencoba
sekali lagi berkata padanya meminta perhatiannya, “Peluklah aku.”
Kesadaran Jung Woo makin lama menurun, dan seakan mendengar
Soo Yeon meminta maaf padanya. Dan ia meminta Soo Yeon tak perlu meminta maaf, “Kau
tahu, kan? Aku menangis bukan karena aku sedih, tapi karena angin yang bertiup.”
Jung Woo dan Hyung
Joon sama-sama dibawa ke rumah sakit dan bersiap untuk melakukan operasi.
Kondisi yang terlihat stabil lebih dulu adalah Hyung Joon.
Namun ia pun belum sadarkan diri. Menurut dokter, dengan kondisi Hyung Joon
sekarang, hanya keinginan untuk hidup dari si pasienlah yang akan membuat
pasien sadar. Dan setelah menghadapi guncangan jiwa yang dialami pasien, dokter
mengatakan akan melakukan tes untuk memeriksa syaraf pasien.
Dengan kejahatan yang telah Hyung Joon lakukan, kemungkinan
besar Hyung Joon akan mendapat hukuman penjara maksimal. Detektif Joo bertanya,
apakah mungkin Hyung Joon dapat bebas dengan kondisinya yang seperti ini?
Atasan Jung menyangsikannya, karena Hyung Joon dalam kondisi waras saat
melakukan kejahatan.
Dalam komanya, Hyung Joon teringat saat ia menyelamatkan Soo
Yeon yang ditabrak oleh perawat Hye Mi. Dan bagaimana ia merasa sendiri dan
meminta Soo Yeon untuk tak meninggalkannya.
Dan ia teringat, 14 tahun kemudian, Soo Yeon menyambutnya
dengan hangat dan mengajarkan tangan sihirnya untuk melupakan semua kenangan
buruk yang pernah ia alami. Dan bagaimana ia menenangkan Soo Yeon yang histeris
setelah bertemu dengan Sang Deuk. Permintaannya agar Soo Yeon tak
meninggalkannya kembali terucap saat ia menemani Soo Yeon tidur di kamarnya.
Siaran berita di TV menyiarkan tentang penangkapan pelaku pembunuhan berantai di area Soosung. Berdasarkan laporan dari polisi, terjadi penembakan karena pelaku mencoba melarikan diri dan salah satu polisi dari satuan Gangnam mendapat luka tembak. Namun keduanya sudah ditangani oleh pihak medis.
Dan beberapa hari kemudian muncul juga berita tentang pembacaan vonis kasus Han Tae Joon yang didakwa melakukan pencucian uang illegal dan tindak kejahatan lain, yang menghasilkan hukuman penjara maksimal bagi Han Tae Joon.
Di sebuah kamar rumah sakit,
tertumpuk sehelai syal merah dan jaket hitam yang dimiliki Jung Woo dan
terdengar suara Soo Yeon yang menyapa suster di kamar itu dan berterima kasih
padanya, “Aku kembali ke sini dengan cepat, kan? Aku lari seperti keliinci gila
agar bisa mendapatkan resep.”
Saat suster itu pergi, Soo Yeon
meletakkan payung kuningnya yang basah.
Sambil menyenandungkan lagu favorit mereka, ia meletakkan mantelnya ke atas
gantungan.
“Soo Yeon-ah..”
Soo Yeon berhenti bersenandung.
Ia menoleh ke belakang, tak percaya akan apa yang baru saja didengarnya. Suara
itu lirih, tapi terdengar sangat jelas.
“Lee Soo Yeon..”
Soo Yeon melihat Jung Woo yang
terbaring lemah, dan sebelumnya tak pernah membuka mata, sekarang menatapnya. Ia
tersenyum mendengar Jung Woo memanggilnya sekali lagi.
Seakan Jung Woo baru sadar bukan
dari komanya, Soo Yeon menyapanya, “Kau sudah bangun? Apakah tidurmu nyenyak?”
Jung Woo mengangguk dan bertanya
berapa lama ia tertidur? Soo Yeon menjawab sepuluh malam. Ia menghampiri tempat
tidur Jung Woo dan duduk di sisinya, “Aku .. telah menjahitkan kancing mantelmu
dan menyelesaikan rajutan syal untukmu. Kenapa kau tidur lama sekali?”
“Kau pasti sangat khawatir,” kata
Jung Woo.
Soo Yeon tak menjawab, hanya
menyentuh bekas luka di dada Jung Woo dan memeluknya, “Katakan namaku sekali
lagi. Aku kangen mendengar suaramu.”
Jung Woo pun memeluk Soo Yeon dan
memanggil namanya lagi.
Sepuluh bulan kemudian
Detektif Joo duduk mendengarkan
suara wanita (lengkap dengan pesan dan gambar) di handphone yang sekarang
sedang bertanya apa rencana Detektif Joo hari ini karena kemungkinan hari ini
akan turun salju pertama. Sepertinya suara wanita di handphone itu adalah
hiburan untuk pria-pria kesepian, karena wanita itu membangkitkan semangat Detektif
Joo untuk tak putus asa walau tak memiliki pendamping.
Pesan itu malah membuat Detektif
Joo stress karena setelah musim dingin ini, umurnya akan mendekati 40, “Bahkan
jika ada serangan angin topan, aku tetap sendiri tanpa wanita.”
Atasannya datang dan bertanya
apakah Detektif Joo sudah menyelesaikan penyelidikan atas kasus perampokan di
Sangdodeung?
Detektif Joo tak tahu dan ia
malah menyandarkan tubuhnya ke kursi lagi, tenggelam dalam kesedihan. Atasannya
kesal melihat kelebaymalasan detektif Joo, “Korbannya sudah kritis, nih!
Kasus ini bisa berubah menjadi kasus pembunuhan.”
Detektif Joo juga frustasi karena
atasannya tak menyadari krisis kehidupannya yang akan mati kesepian, “Kalau
terus seperti ini, aku akan jadi botak dan sendirian karena seumur hidup selalu
mengejar penjahat sepertimu!”
LOL, atasannya langsung memukul
bawahannya yang kebablasan dan bertanya apa sekarang si Joo ini sudah gila?
Detektif Joo buru-buru mengambil jaketnya dan kabur dengan alasan pergi ke TKP.
Namun tetap saja dengan menggerutu, “Benar-benar tak dapat dipercaya..”
Atasannya kesal melihat anak
buahnya. Sudah detektif Joo-nya seperti itu, Jung Woo yang sudah kembali pun
sekarang menggila lagi..
Hehehe.. susahnya punya anak buah
yang ada di dua kutub. Satu kutub malas, satu lagi kutub gila.
Dan Jung Woo yang kata atasannya
mulai menggila lagi, ternyata sedang menginterogasi tersangka pelaku perampokan
kasus yang sama dengan Detektif Joo. Pelaku itu mengaku kalau ia hanya berniat
mencuri tapi si korban berteriak, maka ia menusukkan pisau ke tubuh korban.
Jung Woo tak percaya kalau
masalahnya sesederhana itu. Handphonenya berbunyi dan ada SMS yang mengabarkan
kalau si korban meninggal dunia. Berita ini membuat Jung Woo sangat kesal. Tapi
ia mencoba menahan sabar dan bertanya untuk terakhir kalinya, dimana
komplotanmu?”
Tapi perampok itu tetap tak mau
mengaku maka Jung Woo pun memukulnya, “Hanya karena ia berteriak, maka kau
membunuhnya?!” Perampok itu kaget dan
berbalik marah pada Jung Woo, “Apa kepalamu pernah tertembak atau bagaimana?!
Polisi itu tak boleh memukul orang!!”
Pertanyaan itu sebenarnya hanya
kiasan kalau otak Jung Woo sekarang tak beres karena kepalanya pernah
tertembak. Tapi Jung Woo yang pernah tertembak
memukulnya lagi, “Kau ini bukan orang dan aku pernah tertembak!”
Ia mendudukkan perampok itu yang
sekarang babak belur. Tapi ancaman Jung Woo masih belum selesai, “Cepat
katakan! Sampah sepertimu harus segera pergi dari dunia tempat dimana
orang-orang yang kucintai tinggal.”
Malam harinya, Jung Woo pulang ke rumah dan langsung waspada saat melihat rumahnya gelap. Ia menyalakan lampu dan memanggil Soo Yeon dan ibu (aien), tapi tak terdengar suara mereka.
Namun kecemasannya berubah menjadi bingung saat Ah Reum muncul, berlenggak lenggok ala peragawati, disusul oleh Eun Joo dan ibu yang juga memamerkan baju yang mereka pakai. Hanya saja saat giliran ibu, ibu kurang canggih menjadi peragawati, karena berlenggoknya berlebihan hingga jatuh saat berputar.
Untung ada Jung Woo yang menangkapnya. Tapi ibu segera menepis tangan Jung Woo, menyuruh untuk tak menyentuhnya karena nanti bajunya kusut. Dan ia berbisik pada seseorang di dalam kamar untuk keluar.
Mi Ran mengintip, enggan untuk
keluar karena ia tak terbiasa melakukan hal seperti ini. Tapi ibu mengomelinya
karena mereka sudah latihan sebelumnya dan mengancam, “Lakukan sekarang atau
kalau tidak pergi sekarang juga.”
Mi Ran buru-buru keluar, tapi bukan untuk berlenggak-lenggok karena ingin balas mengomeli, “Kau tak boleh mengatakan seperti itu. Setelah anak kita menikah, kita akan menjadi besan.”
Eun Joo dan Ah Reum geli melihat ibu mereka bertengkar. Ibu tak percaya mendengar kata besan keluar dari mulut Mi Ran, “Astaga.. kupikir kau sudah menandatangani surat cerai itu.”
Jung Woo buru-buru melerai mereka dan bertanya di mana Soo Yeon dan berteriak memanggilnya. Soo Yeon akhirnya keluar bak diva, melambai-lambai pada penggemarnya.
Tapi diva itu langsung hilang saat melihat ayam panggang yang dibawa Jung Woo. Ayam panggang yang walau menurut saya kaya ayam goreng fried chicken yang dijual di pinggir jalan.
Dan mereka pun duduk untuk menikmati ayam goreng panggang itu. Mi Ran yang masih belum terbiasa dengan panggilan aein Jung Woo pada ibu, heran mendengarnya. Tapi Ah Reum mengatakan kalau memang itu kebiasaan mereka.
Eun Joo membuka bungkusan ayam itu dan menebak kalau Mi Ran kaget karena ini pertama kalinya Mi Ran berada di rumah ini. Ia menjelaskan kalau mereka memutuskan untuk mengacuhkan tatanan yang ada dan hidup berbahagia.
Ibu mengangguk-angguk setuju dan mengusap rambut Jung Woo dengan sayang, “Tentu saja. Kita harus menikmati setiap hari dalam hidup kita dan bergembira karena Jung Woo telah kembali pada mereka lagi.”
Dengan bangga, ibu memberitahu Jung Woo kalau Soo Yeon membuatkan masing-masing baju untuk mereka. Mi Ran juga memberitahu kalau mulanya ia juga merasa sungkan pergi ke rumah Jung Woo, tapi Soo Yeon yang memintanya.
Ibu tak terima mendengar kata-kata Mi Ran, “Bukan Soo Yeon. Aku yang mengundangmu datang kemari!”
Jung Woo kembali melerai mereka dan bertanya apa mereka tak tahu hari apa sekarang? Pada Soo Yeon, Jung Woo memintanya tangannya dan menutup mata.
Soo Yeon mulanya malu dan tak mau, tapi akhirnya ia menutup mata dan menadahkan tangan.
Jung Woo mengambil sesuatu dari sakunya dan Eun Joo menebak kalau Jung Woo akan melamar dan Ah Reum langsung terlonjak kegirangan mengira yang ada ditangan Jung Woo adalah cincin (telah, dek. Si kakak sudah dilamar Soo Yeon. Komplit dengan cincin!)
Setelah barang itu di tangan Soo Yeon, Jung Woo meminta Soo Yeon untuk membuka mata. Betapa terkejutnya Soo Yeon. Bukan cincin, bukan pula amplop gaji seperti di pikiran saya. Tapi itu adalah KTP milik Soo Yeon. Bukan Zoe, tapi Lee Soo Yeon yang pernah dinyatakan meninggal 14 tahun yang lalu.
Semua tak percaya namun sangat bahagia melihat KTP Soo Yeon lagi. Semua mata memandang Jung Woo yang malu-malu menjelaskan karena Soo Yeon telah ditemukan, berarti mereka berhak meminta nama itu lagi.
Soo Yeon berkaca-kaca melihat namanya lagi tertera di KTP itu. Jung Woo yang melihat Soo Yeon yang mulai menangis, menggodanya, “Di rumah ini tak boleh ada yang menangis. Siapapun yang menangis akan diusir.”
Soo Yeon tersenyum dan menelan tangis bahagianya. Soo Yeon pun mengajak Eun Joo untuk mengunjungi makam ayah Eun Joo dan menunjukkan KTP itu kepadanya. Eun Joo tersenyum mengiyakan.
Jung Woo segera memutus keharuan itu dan meminta mereka untuk segera makan karena hari ini ulang tahunnya (makanya ia mentraktir ayam). Tapi ibu memukul kepala Jung Woo dan segera mengambil alih komando, “Hey! Kau tahu itu kata-kataku!”
Dan pada semua, ia berkata, “Oke! Hari ini hari ulang tahunku! Makanlah sesukamu, ya.” Keempat wanita itu pun langsung menyerbu ayam goreng panggang itu.
Soo Yeon menyenggol Jung Woo dan berkata tanpa suara, “Terima kasih..” Jung Woo pun mengisyaratkan mereka untuk diam-diam keluar dan ia pun mengerucutkan bibirnya. Soo Yeon mengerti maksudnya, tapi apa juga sekarang? Tapi Jung Woo kembali mengerucutkan bibirnya, membujuk Soo Yeon.
Dan tiba-tiba saja ruangan sunyi. Soo Yeon yang pertama sadar dan menoleh pada semua orang yang sekarang menatap mereka. Jung Woo yang terakhir baru menyadari kalau ia dalam pusat perhatian, tersenyum canggung dan mencoba bersikap normal. Tapi sudah kepalang basah, semua orang sudah melihat mulut Jung Woo.
Jung Woo pun mengajak mereka makan lagi. Ibulah yang menghardik Jung Woo, “Kenapa kau majukan mulutmu seperti itu?” Tapi ia pun memberikan ayam pada Jung Woo. Dan meminta hadiah pada Ah Reum karena sekarang hari ulang tahunnya.
Ah Reum pun memberi hadiah pada ibu. Ia memajukan hadiah, sama seperti Jung Woo beberapa saat yang lalu.
Heee…. Sweet banget..
Jung Woo mengunjungi ayahnya di penjara. Tapi Tae Joon masih seperti Tae Joon yang dulu, yang memandang kedatangan putranya tanpa perasaan senang dan tanpa kata-kata. Hanya saat ia melihat dada kiri Jung Woo, Jung Woo tahu kalau ia mendengar tentang kabar penembakan itu. Dan tanpa ditanya, ia menjelaskan kalau ia sudah membaik, hanya rasanya perih saat ia melihat luka di dadanya itu.
Sebenarnya Jung Woo merasa ragu untuk datang menemui ayahnya. Tapi karena ia merasa mereka masih diberi kesempatan (untuk bertemu), “Untuk yang berikutnya, aku ingin Ayah yang memanggilku. Dan aku akan menunggu hingga saat itu tiba.”
Tae Joon hanya menatap Jung Woo, seolah-olah Jung Woo itu alien. Pada sipir yang berjaga, ia berkata kalau ia akan meninggalkan ruangan. Jung Woo hanya bisa menatap kepergian ayahnya dengan pasrah. Tapi ia berdiri saat ayahnya berhenti di depan pintu dan menoleh padanya. Ia menatap ayahnya, berharap ayahnya mengatakan sesuatu padanya.
Dan memang Tae Joon menoleh untuk berkata padanya, “Dasar gila.” Ayahnya pun keluar dari ruangan, meninggalkannya yang bergumam, “Aku akan menunggu, ..Ayah.”
Jung Woo dan Soo Yeon mengunjungi Hyung Joon di rumah sakit jiwa. Terdengar suara dokter yang memberitahukan kalau Hyung Joon sudah mulai mengucapkan beberapa kata, tapi Hyung Joon tak memperlihatkan tanda-tanda membaik, “Ia tak mungkin di sini selamanya. Saya pikir ia harus segera dipindahkan ke penjara.”
Mendengar penjelasan ini, Soo Yeon nampak terpukul. Ia seperti ingin menangis melihat Hyung Joon duduk di kursi roda, menatap jendela dengan kosong, tak tampak sedikitpun Harry Borrison di dalamnya. Hyung Joon mengulurkan tangannya dan seperti ibunya, ia seakan menangkap sesuatu di depan matanya.
Hyung Joon akhirnya menyadari keberadaan Soo Yeon dan Jung Woo yang berdiri tak jauh darinya. Soo Yeon memasang senyum dan menyapa Hyung Joon. Tapi Hyung Joon hanya tersenyum sopan pada Soo Yeon membuat Soo Yeon tercekat dan ingin menangis. Jung Woo yang berdiri di belakangnya memegang bahu Soo Yeon, menenangkannya.
Mereka berdua duduk di hadapan Hyung Joon dan Soo Yeon memberikan KTP-nya pada Hyung Joon. Tapi Hyung Joon tak segera menerima KTP itu sehingga Jung Woo yang membantu memberikan KTP itu pada Hyung Joon. Soo Yeon memberitahu namanya adalah Lee Soo Yeon.
Hyung Joon terus memandangi KTP itu tanpa ekspresi. Soo Yeon mencoba memanggil Hyung Joon, tapi Hyung Joon tak mendongak. Ia hanya terus memandangi KTP itu.
Jung Woo akhirnya memberikan daun kering yang ia pegang pada Hyung Joon, “Sudah hampir musim dingin lagi.”
Kali ini Hyung Joon mendongak, dan mengambil daun itu.Tak disangka, ia menatap Jung Woo dengan tersenyum dan memandangi daun itu dengan bahagia.
Jung Woo berkata kalau Hyung Joon pasti menyukainya. Soo Yeon mengangkat tangannya melakuan sihir itu lagi, membuat Hyung Joon mendongak menatapnya. Tapi kemudian ia menunduk lagi dan mengagumi daun itu dengan senyum.
Jung Woo dan Soo Yeon keluar dari rumah sakit dan disambut oleh turunnya salju. Mereka terpana melihatnya dan menyadari sesuatu, “Salju pertama!”
Di atas, dengan kalung tergenggam di tangan, Hyung Joon melihat kepergian mereka dan seakan ingin menangkap sesuatu.
Tapi ternyata gerakan itu adalah saat-saat ia menggenggam tangan Soo Yeon, memegang bahu Soo Yeon, menenangkannya.
Dan gerakan tangan itu berubah menjadi gerakan sihir Soo Yeon, walau gerakan itu masih kaku. Namun Hyung Joon tersenyum lebih bahagia saat menggerakkan tangan menyihirnya.
Jung Woo dan Soo Yeon sampai juga ke dalam sebuah gereja. Jung Woo membawakan buket bunga Soo Yeon. Ia segera mengajak Soo Yeon untuk maju ke altar, tapi Soo Yeon mencegahnya dan membisikkan sesuatu padanya.
Jung Woo pun mengerti dan ia pun maju, berjalan sendiri, persis seperti pengantin. Tapi pengantin wanita karena ia membawa buket bunga. Ia pun tersadar dengan apa yang digenggamnya, dan ia pun mundur lagi, dan menyerahkan buket bunga itu pada yang berhak.
Jung Woo tersenyum dan membalasnya, “Kau kedengaran seperti ahjumma.” Soo Yeon mendelik menatapnya, walau senyum masih tersisa di bibirnya.
Jung Woo pun sekarang maju, dan Soo Yeon yang masih berdiri di belakangnya, mengambil jepit jemuran yang telah ia sulap sebagai hiasan rambut. Saat Jung Woo berbalik dan memanggilnya untuk segera ke altar, ia pun menyelipkan jepit jemuran itu ke rambutnya. Dan pengantin wanitapun telah siap.
Soo Yeon berjalan dan berkata dalam hati, “Jung Woo-yaa.. Kau pasti tak mengira berapa lama aku menunggu saat ini, kan? Terima kasih karena telah tetap berada di sana dan menungguku.”
Jung Woo memandangi Soo Yeon yang berjalan menghampirinya dan berkata dalam hati, “Jalanan sangat terjal untuk menuju tempat ini, kan? Sekarang, kau hanya perlu berjalan 13 langkah. Satu.. dua.. tiga.. empat..
Apa kau ingat? Kita saling memperlihatkan bekas luka kita di tangga saat kita remaja dan kita mentertawakannya.
Kita dapat terus melakukan itu. Mari kita lewati saat-saat sulit dengan cinta kita dan menjalani hidup kita seperti itu."
Soo Yeon sudah tiba di samping Jung Woo dan mereka pun saling memuji satu sama lain. Jung Woo dulu yang menyelipkan cincin ke jari manis Soo Yeon. Dan begitu pula Soo Yeon yang menyelipkan cincin ke jari manis Jung Woo.
Dan mereka pun bersiap menyebarkan berita pernikahan mereka dengan foto mereka yang mengacungkan cincin pernikahan itu.
Eun Joo yang pertama kali melihat foto yang dikirim Jung Woo. Ibu yang melihatnya, tak dapat menutupi kebahagiaan melihat foto itu, walau Eun Joo sempat menggerutu karena Jung Woo dan Soo Yeon hanya mengadakan pernikahan berdua saja.
Begitu juga Mi Ran yang melihat foto itu bersama Ah Reum. Baginya, ini bukan pernikahan. Ia menyuruh Ah Reum untuk menelepon Jung Woo karena ia akan mengadakan pesta pernikahan di hotel dan akan menikahkan mereka lagi.
Ah Reum meminta ibunya untuk membatalkan pikiran itu, karena Jung Woo memang berniat untuk menikah di hari pertama salju turun. Akhirnya ibunya pun menganggap kalau tindakan Jung Woo ini keren juga. Dan romantis. Ia pun memuji Jung Woo, “Ia benar-benar seperti satu-satunya putraku.”
Ha. Ah Reum pun tertawa mendengar kata-kata ibunya yang 180 derajat dari beberapa bulan yang lalu. Mi Ran bertekad mulai sekarang akan menjadi ibu yang baik bagi Jung Woo.
Tapi saat Ah Reum bertanya-tanya apakah ayah sudah tahu tentang pernikahan Jung Woo, Mi Ran meminta putrinya untuk tak mengungkit-ungkit ayahnya lagi, karena ayahnya itu perlu disadarkan dulu dan itu butuh waktu yang sangat sangat lama.
Sementara Detektif Joo yang juga mendapat kiriman foto itu, tersenyum tapi langsung lebay dengan mengeluh sakit perut. Kedua rekannya langsung merebut handphone yang ada di tangan Detektif Joo dan terkejut melihat si kelinci gila telah menikah. Detektif Joo masih berteriak-teriak mengeluh perutnya sakit, dan buru-buru ngacir dari ruangan.
Tapi kedua rekannya dan sekarang juga atasannya, segera mengejar Detektif Joo karena penasaran ingin melihat foto itu lagi.
Ibu menerima telepon dari Jung Woo dan berkata kalau ia telah melihat foto pernikahan mereka dan sangat indah. Tapi walaupun ibu terdengar bahagia, tapi Jung Woo juga dapat mendengar suara tangis ibu.
Jung Woo mengatakan kalau mereka buru-buru menikah karena takut salju pertama itu akan segera mencair, “Kami akan melakukannya lagi secara formal dengan memakai jas dan gaun. Dan dengan kehadiran Ibu.”
Ibu terpana mendengar kata-kata Jung Woo yang memanggilnya ibu. Kembali Jung Woo berkata, “Ibu.. terima kasih. Terima kasih telah membesarkanku. Telah menjadi kekasihku. Dan telah melahirkan seorang putri yang cantik.”
Ibu terisak mendengarnya. Ia juga berterima kasih pada Jung Woo yang telah menjadi kekasihnya, putranya juga menantunya.
Dan kita kembali pada 14 tahun yang lalu saat Soo Yeon meminjamkan payungnya pada Jung Woo yang sedang berteduh. Dan mereka berjanji untuk bertemu lagi di taman ini besok.
Kita tahu apa yang terjadi keesokan paginya, 14 tahun yang lalu. Soo Yeon seharian menunggu kedatangan Jung Woo. Tapi Jung Woo tak dapat menemui Soo Yeon karena harus menjadi wakil keluarga di pemakaman kakeknya. Soo Yeon juga bertemu dengan Hyung Joon yang dikunci di dalam ruangan untuk pertama kalinya.
Dan sama seperti 14 tahun yang
lalu, Soo Yeon menunggu kedatangan Jung Woo dengan bergumam, “Datang.. tak
datang.. datang.. tak datang...” Dan untuk membunuh waktu, ia menyanyikan lagu
favoritnya.
Namun yang terjadi berikutnya adalah Jung Woo muncul di hadapannya dengan menyodorkan payung kuning yang ia pinjam kemarin. Soo Yeon kaget karena ternyata Jung Woo datang.
Tentu saja. Bukankah Jung Woo kemarin berjanji kalau ia akan datang? Dan ia tak datang sendiri. Ia datang bersama seseorang. Soo Yeon bertanya, siapa?
Jung Woo sedikit bingung saat menjawab, “Paman kecil.” Namun ia tersenyum saat menjelaskan, “Aku juga baru pertama kali bertemu dengannya. Ternyata aku memiliki seorang paman.”
Mereka menoleh pada Hyung Joon
yang lari menghampiri mereka dan memperhatikan wajah Soo Yeon untuk kemudian
berkata pada Jung Woo, “Ia tidak cantik. Katamu, pacarmu itu sangat cantik
sekali.”
Haha.. Soo Yeon melongo mendengar
kata-kata Hyung Joon. Apalagi Jung Woo yang akhirnya hanya bertanya pada Hyung
Joon yang sudah lari bermain luncuran di taman, “Sejak kapan aku mengatakan
itu?”
Jung Woo enggan menoleh pada Soo
Yeon, tapi akhirnya ia menatap Soo Yeon karena Soo Yeon sudah berdiri di
hadapannya dan bertanya, “Kau pikir aku cantik? Aku cantik dimananya?”
Jung Woo salah tingkah tak bisa menjawab, apalagi Soo Yeon mengerjapkan matanya saat bertanya, “Mataku? Hidungku? Bibirku?”
“Cantik? Apanya yang cantik?” bentak Jung Woo mengagetkan Soo Yeon, “Wajahmu itu seperti onggokan gula putih,” Jung Woo seakan sadar kalau gula itu manis dan ia pun berganti hinaan, “seperti onggokan tepung putih.”
Tentu saja hinaan itu membuat Soo Yeon kesal. Ia pun mengacungkan payungnya untuk memukul Jung Woo, tapi Jung Woo sudah lari terlebih dahulu. Hyung Joon yang turun dari luncuran, langsung merebut payung itu dan melemparkannya pada Jung Woo.
Berdua mereka saling melempar payung, menggoda Soo Yeon. Sama seperti saat Detektif Kim mengambil jepit jemuran di rambut Soo Yeon dan mereka pun berlarian, saling menggoda.
Dan terdengar suara Jung Woo dewasa yang bertanya, “Jika kami bertemu seperti ini, apa yang akan terjadi?
Hyung Joon yang menyadari lebih dulu kalau salju pertama turun. Mereka sejenak diam, mengagumi salju itu. Bahkan Jung Woo pun juga berkata, “Cantiknya..”
Soo Yeon menoleh mendengar kata itu lagi. Dan kali ini Jung Woo tak membantah, dan tersenyum memandang Soo Yeon.
Soo Yeon pun mengejar Hyung Joon. Dan Hyung Joon pun buru-buru kabur setelah melemparkan payung itu pada Jung Woo.
Terdengar suara Soo Yeon, 14 tahun yang lalu, bertanya, “Di hari pertama salju turun. Apa yang ingin kau lakukan?”
Dan suara Jung Woo remaja yang tak pernah kita dengar, berkata, “Aku akan menemuimu. Aku hanya memiliki seorang teman.. Lee Soo Yeon.”
Dan terdengar suara Soo Yeon dewasa bertanya, “Jika kami bertemu seperti ini, apa yang akan terjadi?”
Jung Woo : “Aku yakin kalau aku masih tetap mencintaimu. Walau jika kita bertemu seperti itu, kita masih akan tetap jatuh cinta.”
Dan Soo Yeon bertanya, “Jika malam itu kita tak bertemu di taman, apakah kau pikir kita masih akan saling bertemu?”
Jung Woo menjawab kalau mereka sudah pernah bertemu sebelumnya. Namun lebih baik lagi karena saat itu hujan turun. Soo Yeon berkata kalau ia menemukan payung itu karena ibu menendang payung itu dalam tidurnya.
“Jadi semua ini terjadi karena kekasihku. Orang yang mempertemukan kita.”
source : http://www.kutudrama.com/2013/01/sinopsis-i-miss-you-episode-21-1.html and http://www.kutudrama.com/2013/01/sinopsis-i-miss-you-episode-21-2-final.html
re-posted and re-edited by : dianafitriwidiyani.blogspot.com
No comments:
Post a Comment